Share

Bagian 3

Saat kau dekat, berhasil membuat aku terpikat.

Sore ini adalah waktu yang pas bagi Ralin untuk berlari mengelilingi lapangan membakar kalori nasi goreng tadi pagi. Dengan sigap, Ralin mengenakan sepatu olahraganya dengan membawa hanphone dan berlari mengelilingi lapangan basket di dekat rumahnya. Putaran pertama masih terasa ringan, putaran kedua tubuhnya mulai memanas keringatnya bercucuran dan bajunya mulai basah.

Putaran ketiga Ralin mulai merasakan napasnya tersengal, dia memilih duduk di pinggir lapangan. Tiba-tiba hanphonenya berdering, notifikasi line dari Arga. Entah kenapa akhir-akhir ini Arga semakin intens menghubungi Ralin. Dengan cepat Ralin membuka notifikasi itu dan bertanya kepadanya.

"Kamu enggak mau cari uang sediri ta Lin?"

Ralin menyerngitkan dahinya, dia tidak memahami maksud Arga. Lalu dia membalas pesannya dengan bertanya apa maksud Arga. Selang lima menit kemudian Arga kembali membalas dengan memberikan gambar sebotol plastik. Dia menceritakan Arga dulu menjual beberapa minuman dan puding susu dari botol plastik itu. Hembusan angin memberikan kesegaran pada tubuh Ralin, dia merasa sedikit lega karena keringatnya mulai mengering. Pesan line bersama Arga berakhir dengan kesepakatan saling rapat di gazebo kampus besok siang jam dua belas.

Ralin mengguyur tubuhnya dengan air dingin setelah benar-benar kering dan selesai berolahraga. Pikirannya penuh dengan Arga, bayangan wajah dan senyumnya tercetak jelas di otak Ralin. Arga begitu mempesona, entah apa yang bisa membuat Ralin terpikat, yang jelas Arga itu unik. Dia misterius, tidak bisa ditebak kapan datang dan perginya, tidak bisa diketahui apa isi hatinya. Ralin mencoba berpikir keras, jika Arga mengajaknya berbisnis, kenapa harus dia? Sedangkan Ralin sendiri tidak memiliki skill khusus dalam memasak. 

Dia memang bisa memasak, tapi tidak terlalu ahli untuk memasak sesuatu yang berbeda untuk dijual di bazar. Glagat dan tingkah laku Arga juga tidak memberikan kesan dia ingin melakukan 'PDKT' dengannya. Belum lagi urusan skripsi, kenapa harus Ralin yang dimintai bantuan? Bukannya ada puluhan mahasiswa SDM yang satu kelas dengannya? Dari sekian banyak kenapa meminta kepada Ralin yang notabenenya anak Keuangan. Tapi Ralin bukannya terpaksa mau membantu Arga, hanya saja ada rasa kejanggalan dibalik ini semua, apakah Arga mulai tertarik dengannya?

Saat mata Ralin terpejam mencuci rambutnya, Ralin kembali teringat bagaimana Arga menatap Mika Anggrita tanpa berkedip. Sudahlah, pupus rasa GR yang mengatakan Arga mulai menyukainya. Ralin keluar kamar mandi dengan wajah yang masam, ibunya menatapnya bingung kepada putri bungsunya.

"Ada apa dengan wajah masam seperti itu? Kaya orang punya hutang banyak saja."

Ralin tersenyum sedikit terhibur dengan ucapan ibunya dia mengatakan, "Tidak bu, hanya saja mungkin beberapa hari ke depan rumah kita akan menjadi basecamp untuk pembuatan makanan yang akan dijual di bazar."

Ibu Ralin tersenyum mengiyakan, dan tentu saja ibunya teringat kepada laki-laki tinggi dan tampan serta maskulin yang dulu pernah menjadi kelompok kewirausahaan Ralin. Dulu lelaki itu yang rajin ke rumah membantu membuat ice cream. Siapa lagi kalau bukan Arga.

"Oh, jangan-jangan buka bazar lagi sama Arga ya?" tanya ibu Ralin dengan tatapan sedikit menggoda. Sejak semester empat dulu memang ibu Ralin sangat tertarik dengan Arga, bahkan mendoakan putrinya untuk mendapatkan Arga sebagai teman hidupnya. Ralin juga mengingat saat semester empat, bagaimana ibunya yang berbinar saat Arga ke rumah dan berbisik, "Nah kalau cari cowok itu seperti ini lo, tampan dan tinggi."

Selera Ralin sebenarnya bukan lelaki tipikal Arga yang manly dan maskulin, dia lebih menyukai lelaki dengan wajah baby face serta kacamata bundar yang menghiasi wajahnya, persis seperti Ershad cinta pertamanya saat masih dibangku SMP. Sayangnya kisah cintanya dengan Ershad berujung naas yang tidak bisa lagi dibuka untuk dikenang.

Handphone Ralin kembali berdering, notifikasi dari i*******m bahwa Arga mengreply storynya lagi, "Sip semangat olahraga terus selagi masih muda."

Ralin mendesah pelan, yang pertama dia rasakan saat ini adalah risih, dimana-mana ada notifikasi Arga. Entah kenapa Ralin jengah melihat nama Arga, mungkin rasa cemburu dan jengkel masih menghiasi hatinya. Berulang kali kalimat 'Kenapa sih dia harus hubungi aku kalau dia suka sama Mika?' terus teriang di kepala Ralin. Sungguh dia sangat kesal namun tidak bisa marah. Ralin bukan tipe perempuan yang akan mengejar laki-laki jika tau siapa perempuan yang dia sukai. Justru Ralin akan pergi menjauh ketika tau jika Arga menyukai Mika. Untuk apa berjuang kepada laki-laki yang jelas-jelas tidak menyukainya sedikit pun.

"Ralin, ayo makan." Ibunya telah menyiapkan sop ayam segar dengan perkedel dan dadar jagung. Masakan khas Indonesia yang begitu nikmat.

"Iya Bu."

Di tengah makan malam yang begitu khidmat, ibu Ralin menanyakan tentang Arga, yang beberapa menit yang lalu diperbincangkan.

"Kamu enggak suka sama Arga?" tanya ibu Ralin.

Besar harapan ibu Ralin untuk memiliki mantu seperti Arga, tampan, tinggi, dan sopan. Memang Arga terlihat baik di mata ibu Ralin, tapi jika saja Arga tidak tertarik dengan Ralin, apa Ralin bisa memaksa Arga?

"Suka Bu, tapi ... sepertinya dia menyukai teman sekelasnya bernama Mika. Dia gadis cantik dan juga anggun, tidak seperti aku yang jauh dari kata feminim."

Ibu Ralin tertawa kecil, putrinya sudah besar rupanya, sudah mengerti bagaimana menjadi wanita, wajar saja jika Ralin tumbuh sebagai gadis yang agak tomboy, dia menyukai olahraga dan bela diri. Itu semua karena Ralin tumbuh besar diantara kedua kakak laki-laki dan ayahnya. Ibu Ralin memang tidak pernah mengajarkan berdandan. Semasa kecil Ralin selalu kabur dan lari jika diberi bedak.

Bahkan hingga kini, semua baju Ralin adalah kaus oversize dan celana jeans. Terkadang jika dia ke kampus menggunakan rok panjang karena dipaksa oleh ibunya.

"Gimana soal skripsi kamu? Sudah menemukan judul?" tanya ibu Ralin. Soal pendidikan pasti nomor satu.

"Sudah, Ralin mengambil topik mengenai saham."

Ibu Ralin mengangguk mengerti lalu kembali menyendokkan sup ayam ke mangkuk Ralin dan menyuruh putrinya makan lagi.

"Kamu jangan pakai diet lagi. Sudah cukup. Segitu saja badanmu. Berat 65 kilo dengan tinggi 155 cm itu bukan masalah. Yang terpenting kamu sehat dan jangan dipaksakan untuk diet, nanti sakit."

Ralin mendesah pelan, kemarin sepertinya ibunya mengatakan dia terlalu gendut dan harus diet ketat, tapi saat di meja makan malah menyuruh Ralin makan yang banyak, terkadang Ralin sendiri tidak bisa memahami bagaimana ibunya.

"Iya bu."

Jawaban itu saja yang bisa Ralin ucapkan, karena bagaimanapun dia juga mengerti, ibunya pasti khawatir jika Ralin jatuh sakit saat diet. Tapi entah kenapa mengingat teman sekampusnya yang memiliki tubuh langsing, Ralin menjadi sangat iri. Dia terlihat berbeda, meski tubuhnya tidak terlalu gemuk sekali, tapi bisa dipastikan dia satu-satunya gadis gemuk di kelasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status