Saat kau dekat, berhasil membuat aku terpikat.
Sore ini adalah waktu yang pas bagi Ralin untuk berlari mengelilingi lapangan membakar kalori nasi goreng tadi pagi. Dengan sigap, Ralin mengenakan sepatu olahraganya dengan membawa hanphone dan berlari mengelilingi lapangan basket di dekat rumahnya. Putaran pertama masih terasa ringan, putaran kedua tubuhnya mulai memanas keringatnya bercucuran dan bajunya mulai basah.
Putaran ketiga Ralin mulai merasakan napasnya tersengal, dia memilih duduk di pinggir lapangan. Tiba-tiba hanphonenya berdering, notifikasi line dari Arga. Entah kenapa akhir-akhir ini Arga semakin intens menghubungi Ralin. Dengan cepat Ralin membuka notifikasi itu dan bertanya kepadanya.
"Kamu enggak mau cari uang sediri ta Lin?"
Ralin menyerngitkan dahinya, dia tidak memahami maksud Arga. Lalu dia membalas pesannya dengan bertanya apa maksud Arga. Selang lima menit kemudian Arga kembali membalas dengan memberikan gambar sebotol plastik. Dia menceritakan Arga dulu menjual beberapa minuman dan puding susu dari botol plastik itu. Hembusan angin memberikan kesegaran pada tubuh Ralin, dia merasa sedikit lega karena keringatnya mulai mengering. Pesan line bersama Arga berakhir dengan kesepakatan saling rapat di gazebo kampus besok siang jam dua belas.
Ralin mengguyur tubuhnya dengan air dingin setelah benar-benar kering dan selesai berolahraga. Pikirannya penuh dengan Arga, bayangan wajah dan senyumnya tercetak jelas di otak Ralin. Arga begitu mempesona, entah apa yang bisa membuat Ralin terpikat, yang jelas Arga itu unik. Dia misterius, tidak bisa ditebak kapan datang dan perginya, tidak bisa diketahui apa isi hatinya. Ralin mencoba berpikir keras, jika Arga mengajaknya berbisnis, kenapa harus dia? Sedangkan Ralin sendiri tidak memiliki skill khusus dalam memasak.
Dia memang bisa memasak, tapi tidak terlalu ahli untuk memasak sesuatu yang berbeda untuk dijual di bazar. Glagat dan tingkah laku Arga juga tidak memberikan kesan dia ingin melakukan 'PDKT' dengannya. Belum lagi urusan skripsi, kenapa harus Ralin yang dimintai bantuan? Bukannya ada puluhan mahasiswa SDM yang satu kelas dengannya? Dari sekian banyak kenapa meminta kepada Ralin yang notabenenya anak Keuangan. Tapi Ralin bukannya terpaksa mau membantu Arga, hanya saja ada rasa kejanggalan dibalik ini semua, apakah Arga mulai tertarik dengannya?
Saat mata Ralin terpejam mencuci rambutnya, Ralin kembali teringat bagaimana Arga menatap Mika Anggrita tanpa berkedip. Sudahlah, pupus rasa GR yang mengatakan Arga mulai menyukainya. Ralin keluar kamar mandi dengan wajah yang masam, ibunya menatapnya bingung kepada putri bungsunya.
"Ada apa dengan wajah masam seperti itu? Kaya orang punya hutang banyak saja."
Ralin tersenyum sedikit terhibur dengan ucapan ibunya dia mengatakan, "Tidak bu, hanya saja mungkin beberapa hari ke depan rumah kita akan menjadi basecamp untuk pembuatan makanan yang akan dijual di bazar."
Ibu Ralin tersenyum mengiyakan, dan tentu saja ibunya teringat kepada laki-laki tinggi dan tampan serta maskulin yang dulu pernah menjadi kelompok kewirausahaan Ralin. Dulu lelaki itu yang rajin ke rumah membantu membuat ice cream. Siapa lagi kalau bukan Arga.
"Oh, jangan-jangan buka bazar lagi sama Arga ya?" tanya ibu Ralin dengan tatapan sedikit menggoda. Sejak semester empat dulu memang ibu Ralin sangat tertarik dengan Arga, bahkan mendoakan putrinya untuk mendapatkan Arga sebagai teman hidupnya. Ralin juga mengingat saat semester empat, bagaimana ibunya yang berbinar saat Arga ke rumah dan berbisik, "Nah kalau cari cowok itu seperti ini lo, tampan dan tinggi."
Selera Ralin sebenarnya bukan lelaki tipikal Arga yang manly dan maskulin, dia lebih menyukai lelaki dengan wajah baby face serta kacamata bundar yang menghiasi wajahnya, persis seperti Ershad cinta pertamanya saat masih dibangku SMP. Sayangnya kisah cintanya dengan Ershad berujung naas yang tidak bisa lagi dibuka untuk dikenang.
Handphone Ralin kembali berdering, notifikasi dari i*******m bahwa Arga mengreply storynya lagi, "Sip semangat olahraga terus selagi masih muda."
Ralin mendesah pelan, yang pertama dia rasakan saat ini adalah risih, dimana-mana ada notifikasi Arga. Entah kenapa Ralin jengah melihat nama Arga, mungkin rasa cemburu dan jengkel masih menghiasi hatinya. Berulang kali kalimat 'Kenapa sih dia harus hubungi aku kalau dia suka sama Mika?' terus teriang di kepala Ralin. Sungguh dia sangat kesal namun tidak bisa marah. Ralin bukan tipe perempuan yang akan mengejar laki-laki jika tau siapa perempuan yang dia sukai. Justru Ralin akan pergi menjauh ketika tau jika Arga menyukai Mika. Untuk apa berjuang kepada laki-laki yang jelas-jelas tidak menyukainya sedikit pun.
"Ralin, ayo makan." Ibunya telah menyiapkan sop ayam segar dengan perkedel dan dadar jagung. Masakan khas Indonesia yang begitu nikmat.
"Iya Bu."
Di tengah makan malam yang begitu khidmat, ibu Ralin menanyakan tentang Arga, yang beberapa menit yang lalu diperbincangkan.
"Kamu enggak suka sama Arga?" tanya ibu Ralin.
Besar harapan ibu Ralin untuk memiliki mantu seperti Arga, tampan, tinggi, dan sopan. Memang Arga terlihat baik di mata ibu Ralin, tapi jika saja Arga tidak tertarik dengan Ralin, apa Ralin bisa memaksa Arga?
"Suka Bu, tapi ... sepertinya dia menyukai teman sekelasnya bernama Mika. Dia gadis cantik dan juga anggun, tidak seperti aku yang jauh dari kata feminim."
Ibu Ralin tertawa kecil, putrinya sudah besar rupanya, sudah mengerti bagaimana menjadi wanita, wajar saja jika Ralin tumbuh sebagai gadis yang agak tomboy, dia menyukai olahraga dan bela diri. Itu semua karena Ralin tumbuh besar diantara kedua kakak laki-laki dan ayahnya. Ibu Ralin memang tidak pernah mengajarkan berdandan. Semasa kecil Ralin selalu kabur dan lari jika diberi bedak.
Bahkan hingga kini, semua baju Ralin adalah kaus oversize dan celana jeans. Terkadang jika dia ke kampus menggunakan rok panjang karena dipaksa oleh ibunya.
"Gimana soal skripsi kamu? Sudah menemukan judul?" tanya ibu Ralin. Soal pendidikan pasti nomor satu.
"Sudah, Ralin mengambil topik mengenai saham."
Ibu Ralin mengangguk mengerti lalu kembali menyendokkan sup ayam ke mangkuk Ralin dan menyuruh putrinya makan lagi.
"Kamu jangan pakai diet lagi. Sudah cukup. Segitu saja badanmu. Berat 65 kilo dengan tinggi 155 cm itu bukan masalah. Yang terpenting kamu sehat dan jangan dipaksakan untuk diet, nanti sakit."
Ralin mendesah pelan, kemarin sepertinya ibunya mengatakan dia terlalu gendut dan harus diet ketat, tapi saat di meja makan malah menyuruh Ralin makan yang banyak, terkadang Ralin sendiri tidak bisa memahami bagaimana ibunya.
"Iya bu."
Jawaban itu saja yang bisa Ralin ucapkan, karena bagaimanapun dia juga mengerti, ibunya pasti khawatir jika Ralin jatuh sakit saat diet. Tapi entah kenapa mengingat teman sekampusnya yang memiliki tubuh langsing, Ralin menjadi sangat iri. Dia terlihat berbeda, meski tubuhnya tidak terlalu gemuk sekali, tapi bisa dipastikan dia satu-satunya gadis gemuk di kelasnya.
Aku kira kita memiliki waktu yang lama. Tapi ternyata sangat singkat, sampai aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal.Ralin memutar-mutar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Dia sangat gelisah menunggu Arga karena sejak sejam yang lalu dia belum juga memberi kabar keberadaannya. Mereka telah berjanji untuk bertemu pagi ini bersama dengan kelompok kewirausahaan dulu. Ralin melangkah keluar dari kelasnya, dan berjalan menuju Gazebo bersama Monica, dan Maria. Satu teman lainnya bernama April ijin untuk tidak bisa mengikuti diskusi karena belajar menari. Baru saja sampai di depan lorong G9 Arga muncul dan menunjukan gigi putihnya. Ralin hanya menghela napas karena ternyata dia menunggu seseorang yang sejak tadi sudah ada disini namun di gedung yang berbeda."Ral, tunggu dulu. Kamu tau cara ngisi penilaian di sistem online?" tanya Arga."Penilaian sistem online? Seperti apa? Sistem non akademik?" tanya Ralin."Ya, dosen penasihatku tidak bisa,
Meninggalkan aku secara perlahan bagimu tidak menyakitkan, kamu salah. Semakin lama kamu pergi, semakin berat bagiku untuk berpaling.Sejak semalam Monica dan Ralin telah menyiapkan semua bahan untuk persiapan membuat makanan hari ini, mereka telah menentukan akan membuat cilok dan tahu fantasy dengan minuman soda gembira. Dengan mata berbinar dan semangat penuh kobaran api, Ralin mengambil tepung dan semua bahan, dia menyiapkannya dibantu dengan Monica."Mon, kemana ya anak-anak kenapa belum datang ya?" tanya Ralin.Monica hanya menghela napas kesal, dia sudah tau kedua anak itu pasti akan datang terlambat. Ralin tersenyum, jantungnya sudah dag dig dug tak karuan karena menunggu kedatangan Arga.Bunyi motor khas Yamaha X Ride membuat Ralin tersenyum senang, sudah pasti itu motor Arga yang datang. Ralin menuju kamar, mengenakan hijab dan baju lengan panjangnya lalu melangkah membuka pintu. Tak lupa dia menggunakan make up tipis, sejak kemarin Ral
Kamu hadir, tapi tidak menetap. Sama saja berbohong.Arga tampak begitu tampan dengan kemeja kotak-kotak kuning dan celana jeans. Rambutnya tersisir rapi dan aroma parfumnya tercium maskulin. Ralin masih terpaku dengan ketampanan Arga, bahkan tak berkedip."Jadi gimana? Kamu mau naik motor sama aku apa naik mobil?" tanya Arga.Hari ini bazar akan dimulai, semua peralatan masak dan makanan yang akan dijual sudah siap masuk ke dalam mobil. Hati kecil Ralin berteriak menginginkan naik motor berboncengan dengan Arga, tapi disisi lain, dia juga ingin menemani Monica naik mobil."Naik mobil aja, temenin Monica," jawab ibu Ralin.Ralin dengan Monica dan Arga saling pandang, sesuatu yang tidak bisa diartikan. Ralin akhirnya berpamitan dan masuk ke dalam mobil, menemani Monica dan memangku peralatan masak untuk bazar."Kamu pengen naik motor ya sama Arga?" tanya Monica sambil tersenyum menggoda Ralin. Sudah pasti jawaban Ralin hanya anggukan
Kemarin dan sekarang, bedanya ada dan tiada dirimu.Bazar masih sepi, belum banyak pengunjung tapi waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Arga turun dari kursi setelah memasang lampu dan hiasan. Dia lalu menuju masjid kampus yang letaknya di dekat fakultas IPA."Aku ke masjid dulu ya, mau siap-siap salat Jumat."Maria mengangguk dan menyetujui permintaan Arga. Dia lalu kembali menata cilok untuk berjualan. Merasa sudah banyak murid berdatangan, Maria memilih menujual dagangan kita. Ralin masih fokus menata tahu fantasy dan menaruhnya pada mangkuk mika.
Cinta hadir tanpa diminta.Semakin malam bazar semakin ramai, panggung telah dipersiapkan untuk band. Pengunjung semakin ramai, namun sayangnya produk jualan mereka masih banyak. Ralin mengemasi tahu fantasy yang belum digoreng, masih ada sisa sekitar lima puluh buah, tidak mungkin jika membiarkan makanan terbuka, takut basi."Arga, anterin aku pulang dong. Ini tahu fantasynya dipulangin aja deh, biar masuk ke kulkas."Arga mengangguk, menyanggupi permintaan Ralin dan mengantarkannya pulang membawa satu kotak berisi tahu fantasy."Oke."Keduanya pulang, beberapa mahasiswa menggoda Ralin karena sekarang dekat dengan Arga, sekila Ralin melirik Arga, lelaki di sampingnya juga mengulas senyum. Entah senyum apa yang Arga maksud, namun hal itu membuat Ralin semakin berharap, dia memiliki perasaan yang sama.Seperti biasa, Arga bersikap manly, membuka footstep membiarkan Ralin naik. Manis, perilakunya sangat baik, membuat R
Jodoh, bukan hanya seseorang yang memberi janji, mendekat tanpa sekat. Tapi mendekat lalu akad.Pegal, sekujur tubuh Ralin sakit semua. Lelah, tubuhnya mengalami nyeri otot karena kelelahan. Jam menunjukkan pukul empat lebih, sudah waktunya dia salat subuh. Memaksakan diri untuk bangun, Ralin bangkit berdiri mengambil wudhu, tak luma dia sematkan doa menyebut nama Arga di sela sujudnya."Loh kok tidur lagi?" tanya ibu Ralin.Ralin hanya mengangguk lemah, dia kembali naik ke atas kasur dan meringkuk, badannya panas, tubuhnya kesakitan. Benar-benar payah, batin Ralin. Hanya bekerja keras selama dua hari saja membuatnya ambruk. Ralinmenutup mata, sebelumnya dia membayangkan wajah Arga yang tersenyum.Satu pukulan keras di pantat Ralin membuatnya bangun, dia meringis tertawa karena ibunya membangunkannya."Anak gadis abis subuh kok tidur, ayo bangun! Antar ibu ke pasar sekarang," ucap i
"Mencintai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, itu menyakitkan."Sebulan telah berlalu, tak ada kabar lagi dari Arga. Tidak pula ada lagi chat darinya, WhatsApp Ralin hanya dipenuhi canda tawa sahabatnya tanpa kehadiran Arga.Rasa rindu menggebu menguasai hati Ralin. Tidak seharusnya cinta tumbuh cepat begini. Bayangan wajah Arga memenuhi pikiran Ralin, dia tidak fokus mengerjakan skripsinya. Hari ini Ralin memutuskan memberanikan diri menghubungi Arga terlebih dulu. Meski satu kampus, bukan berarti mudah bertemu dengannya. Entah kemana sosoknya, Ralin tidak lagi melihat Arga.Dia merogoh sakunya, mengambil ponselnya, mengetikkan chat untuk Arga, singkat, sederhana namun sanggup membuatnya berdegup kencang. Aliran darahnya mengalir deras, tangannya mulai dingin karena gugup.Satu menit ...Dua menit ...Tiga menit ...Tidak ada balasan dari Arga, namun pesannya telah terbaca. Ralin menyerngitkan dahi. Kenapa tid
Kau memberikan harapan, tapi semua hanyalah permainan."Udah selesai makannya? Pulang yuk." Arga mengulurkan tangannya. Bukan untuk membantu Ralin bangkit dari duduk tapi menjabat tangan Ralin, mengucapkan rasa terima kasih karena telah membantunya."Makasih ya Lin. Untung aku punya kamu, tanpa kamu aku enggak tau harus bagaimana.""Iya, sama-sama. Ini buat bayar makannya." Ralin mengeluarkan uang lembaran biru, namun Arga menggeleng, menolak pemberian Ralin.Sorot mata Arga seolah mengucapkan perpisahan, namun Ralin enggan berpisah saat urusan mereka telah usai, bukan ini yang Ralin mau."Kalau ada kesulitan, revisi atau apapun, langsung hubungi aku aja."Mencoba menawarkan bantuan adalah satu-satunya cara Ralin untuk bisa membuatnya dengan Arga dekat. Mungkin dengan cara seperti ini Ralin bisa mendapatkan Arga. Tidak salah kan jika berjuang mendapatkan hati seseorang dengan masuk ke dalam kehidupannya? Membantu sebisa