Share

Payung

Kadang ada ketidaksengajaan yang disengajakan untuk menciptakan kenangan paling dalam pada setiap kata dan tindakan. Seperti saat ini..

Hari berjalan begitu tenang dan damai seharian. Kini hujan bukanlah suatu hal lumrah yang mesti disesali. Tatkala hujan turun, akan ada waktu yang pas untuk seseorang secara tidak sengaja memberikan kehangatan untuk siapapun yang mereka ingin hangatkan.

Sehabis hujan kemarin yang begitu hangat yang semesta ciptakan. Aku mengingat ada hal yang harus kupulangkan lagi kepadanya. Hal yang dia teriaki berharga saat perlahan dia meninggalkanku dengan keteduhan yang dia titipkan. Payungnya,  warna biru dongker dengan ukiran namanya itu harus kukembalikan.

Aku mencari-cari wajahnya sedari tadi, tapi tidak ketemu. Bel masuk sudah berbunyi, tapi masih belum ketemukan tanda-tanda kehadirannya. Aku melihat kebelakang kelas, terlihat bangkunya kosong dan hanya ada Angga di samping bangku tersebut. Ian yang selalu berada tepat di samping Angga tiba-tiba menjadi tidak ada.

Rasa penasaranku memenuhi kepalaku selama pembelajaran berlangsung. Sesekali aku kembali menatap kebelakang. Memperhatikan bangku kosong yang dari tadi tidak ada yang menduduki. Saat waktu istirahat tiba, aku langsung pergi menemui Angga mempertanyakan keberadaan Ian.

"Angga, Ian mana ya?"

"Ian sakit Al, dia demam semalam. Jadi hari ini tidak masuk."

"Demam kenapa?".

" Ya biasalah, kalau demam di Bogor ini, salah satu alasannya karena hujan-hujanan"

" Hmm begitu ya, bisa nggak kamu tolong kasih ini ke Ian. Kemarin dia pinjamkan payungnya kepadaku", tanyaku sambil memberikan paper bag yang berisikan payung.

"Baiklah, sini aku berikan"

"Eh tunggu sebentar," aku langsung jalan bergegas menuju mejaku mengambil stick note untuk memberikan ucapan terima kasih yang tidak bisa diucapkan secara langsung. Aku menuliskan dengan pulpen biruku "Terima Kasih payungnya Ian, semoga cepat sembuh"

"Ini Ngga, makasih ya, 

"Sama-sama Al, aku juga kebetulan ingin ke asrama ada yang mau diambil sekalian melihat Ian," ujar Angga, kemudian perlahan meninggalkanku.

Apa mungkin dia demam karena payungnya dipinjamkan kepadaku ya? Tanyaku dalam hati begitu saja. Tiba-tiba aku mencemaskannya, sedikit merasa bersalah karena dia demam setelah meminjamkan payung berharganya kepadaku. Jadinya dia tidak punya payung untuk mengatasi hujan Bogor yang selalu turun ini.

Sehari tanpa Ian sudah terasa berbeda. Padahal aku baru pertama bertemu dengannya kemarin. Tapi dia sudah membuatku memikirkannya tanpa sengaja. Aku kembali menunggu teman yang piket dan mengantarkan buku kelas ke ruangan tata usaha ditemani Nana.

Satu hari tanpanya menjadi hal yang cukup tidak biasa saja jadinya. Semoga dia cepat sembuh dan dapat masuk lagi besok ucapku dalam hati sendiri. Nana memperhatikan aku yang dari tadi lesu dan banyak diam daripada hari kemarin.

Nana menarik lengan bajuku. Menghentikan langkahku yang hampir masuk kedalam selokan kecil di dekat ruang tata usaha. Nana memperhatikan tingkahku.

"Al kenapa, sakit juga?," 

"Ahh nggak kok."

"Yaudah jangan melamun lagi Al, nanti keburu masuk ke selokan tuh"

"Hehe, iyaa Na, makasih telah menyelamatkan gue Na," ujarku sambil tersenyum kepada Nana.

"Menyelamatkan gimananya, dari tadi lo duduk disini diam"

"Ya gitu deh Na, ah lo ga paham."

Sesampai di asrama aku membaringkan badanku yang seharian terkuras memikirkan apakah Ian baik-baik saja atau tidak. Perlahan-lahan lamunanku mengantarkan aku tidur tanpa mengganti seragam sekolah dulu. Aku hanyut dalam pikiranku tentang Ian. Sampai membuat Ian tiba-tiba masuk dalam mimpiku. Entah ini hal yang terlalu lebay, tapi ya dia sudah menjalar dipikiranku tanpa bisa kukendalikan. Mungkin ini hanya perasaan tidak enak karena persoalan payung kemarin.

Tiba-tiba mimpi tadi terhenti ketika pembina asrama membangunkan karena sudah maghrib dan kondisiku yang belum mengganti seragam. Kesal sekali rasanya mimpiku dipotong tiba-tiba. Tapi mungkin kalau tidak dibangunkan, aku akan tidur semalaman melewatkan banyak hal dengan baju seragamku yang sudah sangat kusut terbawa tidur.

Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah lebih awal. Agar bisa membuka kelas lebih cepat. Sesampai di sekolah aku langsung menuju ruang tata usaha, tapi kunci kelas yang kuletakkan kemarin sudah tidak ada. Aku mengintip pintu kelas dari ruang tata usaha. Memastikan apakah sudah terbuka atau tidak.

Ternyata pintu kelas sudah terbuka, setelah sampai di kelas aku penasaran siapa yang telah pagi-pagi datang lebih awal dari pada biasanya. Kutemukan tas yang tidak asing ada di bangku Ian. Itu tas dia, tas Ian. Tapi orangnya tidak ada.

Apakah Ian sudah sembuh ya, kuperiksa dimana dia berada, setelah meletakkan tas, aku kembali keluar mencarinya. Ternyata aku berpapasan lagi di pintu masuk kelas. Dia sepertinya suka muncul tiba-tiba ketika ada pintu yang menjadi pembatasnya.

"Ian", sapaku terkejut karena tiba-tiba dia muncul begitu saja seperti pertama kali bertemu dengannya.

"Hai, mau kemana Al?"

"Tidak kemana-mana, hanya saja ingin mencari tau siapa tersangka yang datang lebih awal ke sekolah, ternyata itu kamu. Apakah kamu sudah sembuh Ian"?

"Sudah kok Al, aku hanya sakit sekilas saja, jadi satu hari cukup untukku beristirahat. Owh ya payungnya sudah kuterima dari Angga kemarin. Makasih ya"

"Maaf ya Ian, gara-gara kamu pinjamkan payungmu, kamu tidak punya payung lagi jadinya, hingga membuatmu kena demam saat hujan kemarin"

"Kenapa harus minta maaf, ada-ada aja kamu AL, Aku juga sakit menikmati waktu istirahat dan tidur seharianku kemarin kok, jadi tidak ada penyesalan.

Perlahan-lahan teman di kelas mulai berdatangan. Kami melanjutkan aktifitas belajar seperti biasa. Ian sepertinya masih belum pulih banget. Dia ke sekolah memakai sweeter dongkernya yang cukup tebal, dan terkadang aku juga mendengar suara batuknya sesekali.

Saat waktu istirahat berlangsung aku berniat ingin membelikan Ian minuman panas sebagai ganti rasa terima kasihku karena dia telah meminjamkanku payung kemarin. Aku meletakkan minuman itu di atas mejanya dengan stick note bertulisan "Balasan atas payung penyelamatmu kemarin"

Hari perlahan merambat menuju sore. Pembelajaran di sekolah cukup berlangsung lama. Saat ini langit terasa begitu cerah dan tidak ada hujan sepanjang hari dari pagi. Semuanya bersiap-siap pulang dan beberapa teman masih bercengkrama di tepi-tepi balkon lantai 2. Cerita-cerita masa SMP memang peralihan dari SD yang dulu selalu asik dengan main-mainan anak kecil. Saat di SMP permainan itu mulai ditinggalkan, sekarang berada dalam masa-masa bercengkerama penuh cerita. Entah itu cerita yang bahagia ataupun sedih, tapi ketika melihat teman-teman lain yang asik berjalan dan bercerita dengan teman di sampingnya selalu ada mimik bahagia yang membuat tawa.

Masa-masa SMP adalah masa dimana si anak kecil yang suka rewel dan menangis perlahan sudah mulai tumbuh besar dan punya banyak teman. Teman bagi mereka sekarang tidak hanya teman bermain saja, tapi teman yang ada ketika cerita mereka dimulai. Mulai mencari teman-teman dekat yang selalu kemana-mana dengan dia. Pergi sekolah maupun pulang sekolah hampir pemeran ceritanya selalu sama.

Setelah menunggu beberapa menit, teman-teman yang piket akhirnya selesai juga. Ian ikut piket karena sekarang jadwalnya. Jadi setelah semuanya selesai. Ian mengunci pintu kelas dan membawa buku kelas yang ada di meja Bu Fira keluar kemudian memberikannya kepadaku.

"Ini Al, buku kelasnya, biar sekalian aku antar ke ruang tata usaha," ujar Ian sambil memberikan buku kelasnya ke tanganku.

Aku tidak menjawabnya, Ian langsung jalan duluan dua langkah lebih dulu dari posisiku. Aku hanya memandangi lantai sesekali memandang punggung Ian yang cukup tegap. Suasana diam sebentar saja bersama kami, sampai suatu ketika Ian memecahkan suasana yang hening ini.

"Aline, kamu masih di sini kan?," tanya Ian dengan pertanyaan konyol sekali. Padahal dia sudah tahu aku berada di belakangnya. Sepertinya dia memang memiliki karakter yang aneh tiba-tiba.

"Iya masih di sini Ian, kan aku dari tadi tepat  berada di belakangmu. Itupun masih kamu tanyakan"

"Aku pikir kamu sudah terbang ke dalam duniamu, karena dari tadi diam saja"

"Duniaku dan duniamu kan sama Ian"

"Lalu apa yang membuatmu melamun dan diam seperti ini?, tenang saja aku bukan pemangsa seperti keluarga simba, tidak perlu takut Al,"

"Keluarga simba, hahaha., Siapa yang bisa menjamin kalau kamu bukan salah satu dari mereka?", jawabku meladeni gurauan dia yang aneh itu. Entah apa yang aku pikirkan sampai mau membalas gurauannya tadi. Mungkin aku hanya ingin memecahkan suasana kaku di sepanjang jalan menuju ruang tata usaha dengan dia.

"Hahaha, kamu lucu sekali Aline, jadi sekarang aku dianggap simba oleh orang di sampingku ya", jawab Ian sambil tertawa puas mendengar jawabanku. 

"Aline kau memang penuh misteri ya, tak kusangka dirimu banyak bicara".

"Sepertinya yang penuh misteri itu lebih tepatnya untukmu Ian, bukan aku", jawabku menolak tuduhannya.

Kami berdua menikmati perbincangan singkat yang tidak disengaja itu. Perjalanan menuju ruang tata usaha sekolah sudah selesai. Sudah waktunya berpisah dengan Ian. Dia melambaikan tangannya setelah arah kami pulang berbeda.

Aku merasa ada hal asing yang tidak pernah terjadi dalam hidupku. Untuk mengobrol dengan waktu yang cukup panjang dan pembahasan yang di luar dugaan itu sepertinya baru pertama kali kualami. Selama ini aku cukup menjaga jarak dengan laki-laki. Ketika tidak ada hal yang penting aku tidak mau berkomunikasi dengan mereka. Sebagian orang menyebutku gadis pemalu sejak kecil.

Laki-laki yang paling banyak kuajak bicara semenjak aku kecil hanya satu orang yaitu ayahku. Tidak pernah ada orang lain rasanya yang menempati posisi seperti ayah. Aku bisa dibilang anak rumahan temanku juga semuanya perempuan. Ketika ada laki-laki yang mengisengiku dulu. Ayah selalu jadi penyelamat, hingga tak ada satupun dari teman SD ku dulu yang berani mengganggu lagi.

Tapi kali ini rasanya berbeda saja. Aku seperti telah merasakan perubahan selama beberapa hari semenjak kelas 2 ini. Lebih tepatnya setelah aku mulai mengenal Ian. Rasanya aku sedikit banyak berbicara dengannya yang dulunya tidak pernah kulakukan dengan teman laki-laki lain. 

Ian seperti tokoh cerita baru dalam kehidupanku. Dia baru saja muncul tapi sudah menjadi tokoh utama dalam beberapa hari ini. Terkadang aku juga memikirkannya tanpa disengaja. Ketika Ian sakit kemarin aku juga mencemaskannya. Karenanya aku  mulai menyadari bahwa sekarang aku sudah lumayan  tidak minder lagi untuk mengobrol dengan laki-laki.

Pemikiran ini segera aku hilangkan daripada membua pusing mempertanyakan kenapa hal ini lebih terasa menyenangkan dari kisah sebelumnya. Aku sudah kembali ke asrama kemudian langsung mengganti baju seragamku dengan baju harian. Lalu menikmati waktu istirahat pulang sekolah dengan membaca novel yang belum kuselesaikan.

*******************

Terimakasih yang sudah mau membaca cerita ini, 

Maaf untuk segala kekurangan penulisan, maklum penulis pemula yang akan terus belajar dan memperbaiki agar menuju kata sempurna

Bantu cerita ini dengan cara vote dan comment ya, jangan lupa.

With Love, Aponi line❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status