Share

Putar Balik

Menjadikanmu yang pertama adalah bahagia yang kusederhanakan...

Jalan-jalan dulu kelima tahun lalu...

Pagi itu, membersihkan tempat tidur dengan begitu rapi, sampai tidak ada kerutan di lapisan atasnya adalah pekerjaan paling luar biasa yang  dilakukan oleh seorang Aline  Clarissa Putri. Setelah memutuskan masuk ke sekolah asrama yang jauh dari Bunda aku menjadi seseorang yang mau tidak mau pasti harus menjadi mandiri. Kebiasaan manja yang tidak dapat digantungkan kepada siapapun disini membuat diriku disiplin disengaja, ya begitulah kira-kira. 

Disudut kota Bogor yang selalu dikenal dengan sebutan kota hujan ini, aku sudah berdiri tegak pada pukul 3 pagi untuk mengawali aktifitas. Hampir 15 menit sudah kuhabiskan waktu demi sehelai seprai yang ingin terlhat rapi. Keperfeksionisan yang sudah mendarah dari lahir ini kadang memang menyebalkan tapi juga menguntungkan. Untuk waktu yang sangat sepagi ini, sudah banyak orang yang bangun dan berlalu lalang di sepanjang koridor asrama. Mau tidak mau telingaku pasti peka dengan suara ember dan langkah kaki mereka yang tidak berhenti. Bahkan suara pintu mereka saja sudah menjadi bel yang cukup keras membangunkan kehidupan satu lorong ini. Kadang aku heran itu pintu atau lonceng atau mungkin hanya karena tangan jail mereka yang ingin mengerjai semua orang yang sedang tertidur lelap.

Kasur sudah kurapikan, beberapa teman sekamarku sudah turun dari ranjang mereka. Ada beberapa orang lagi yang masih tertidur pulas sambil memeluk boneka beruangnya. Nyaman sekali dia tidur, apakah dia tidak terganggu dengan suara yang dari tadi sudah menggerutu di telinga ini. Oke lupakan dia yang tertidur pulas tadi, kini aku akan pergi mandi di pagi buta, bahkan bulan masih sangat tegas berdiri di kepalaku. 

Takkan ada kata tidak mengantri hilang dari peradaban asrama. Untuk segala hal yang dilakukan pasti antrian akan menjadi awal dari sebuah pencapaian disini. Sambil menungggu antrian untuk mandi kubalurkan handuk disekujur leher untuk menepis dingin yang dari tadi sudah merayu kulit ini. Walau Bogor sudah menjadi tempat dan sekaligus rumah dari kecil tetap saja,  masih belum cukup udara untuk membuatku bersahabat. Bulu remangku yang selalu berdiri bukan karena ada hal-hal mistis yang ditakuti. Tetapi karena dinginnya yang  membekukan segala lapisan kulit, bahkan yang sudah tertutupi baju pun tidak sungkan merasakannya.

Bulan sangat indah, bulatannya penuh sekali dan sangat sempurna untuk dinikmati. Apakah dia tersenyum kepadaku?, imajinasiku mulai berputar-putar kembali. Menatap langit malam tanpa henti, seolah membayangkan aku akan melihat bintang jatuh dalam kenyataanku hari ini. Karena selama ini bintang jatuh hanya dari ilusi film-film yang kutonton. Sebelum menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, baru pernyataan itu bisa kupercaya.

*******

Suasana baru di awal tahun pembelajaran di kelas 2 SMP menjadi tema hari pertama sekolah. Untuk tahun kedua ini akan menjadi fase yang cukup imbang baik di segala tugas sekolah maupun aktivitas tambahan di luar kelas. 

"Al, ayok ke kelas, kita sekelas btw tadi udah gw liat  papan pengumuman di ruang tata usaha"

"Gercep banget neng, tadi gw telat karena di asrama ngantri ambil sarapan Na"

Nana adalah teman pertamaku di asrama ini. Kita sama-sama dititipkan  untuk menjadi anak yang disiplin. Tapi sepertinya aku masih jauh dari kata itu, dan bedanya aku dan Nana, dia sudah disiplin dan rajin dari lahir sepertinya sedangkan aku masih sangat dekat dengan kata manja. Nana yang tipikal kutu buku, pendiam, dan baik banget aku merasa orang paling beruntung bisa bertemu dengannya. Itulah first impression tentang Nana.

Kami mulai bercengkrama setelah sampai di kelas membahas waktu liburan yang berakhir kemarin. Sialnya aku kebelet pipis di detik-detik terakhir bel akan berbunyi. Dengan cepat segera kulangkahkan kaki menuju toilet. Tapi langkahku tiba-tiba berhenti mendadak karena kehadiran seorang cowok yang ingin masuk ke kelas sedangkan aku ingin keluar.

"Hai, ini kelas 2.3 ?" (suaranya terdengar pelan tiba-tiba langsung jelas di telingaku)

"Iyah disini, masuk aja", aku langsung mengambil sisi kiri dia tanpa permisi dan berlari menuju toilet.

Tidak berapa lama kemudian, setelah perkenalan pertama dengan wali kelas kami Buk Fira. Susunan pengurus kelas mulai ditentukan. Bu Fira menanyakan siapa yang ingin mencalonkan diri menjadi ketua kelas, bendahara, dan sekretaris. Tentu saja aku amat sangat tidak begitu tertarik dengan hal itu, kualihkan kepalaku kepada hal-hal yang dirasa tidak akan membuat guru melirikku. Tapi ternyata upaya itu bahkan menghantarkan pada hal tersebut. 

Buk Fira merupakan wali kelasku di tahun sebelumnya, karena pada tahun tersebut aku menjadi sekretaris secara spontan Buk Fira menulis namaku tanpa aba-aba di daftar kandidat pengurus kelas. Tidak lama kemudian, saat Buk Fira bertanya siapa yang ingin menjadi ketua kelas. Seseorang meneriakkan sebuah nama dari barisan belakang kelas.

"Ian nih buk, dia mau jadi ketua kelas" teriak Angga yang merupakan temen sekelasku di tahun sebelumnya.

"Rian, kamu mau jadi ketua kelas?"

Seketika laki-laki yang menyembunyikan wajahnya dengan buku tadi bersuara membantah saran Angga. Dia memperbaiki posisi duduknya sehabis bersantai tadi. Suaranya tidak asing terasa bagiku. Kucoba melirik kembali ke arah Angga dan laki-laki tadi.

"Jangan buk, bisa tentram kalau saya menjadi ketua kelas buk"

"Bahasa kau Ian, tidak terima saran, tapi promosi tetap jalan. Memang banyak gaya lah anak satu ni" Balas Angga menanggapi jawaban Ian yang terdengar lucu dengan logat bataknya yang tidak kalah lupa untuk selalu terbawa

"Okay ketua kelas kita Rian ya, bendahara Sekar, kalau sekretaris ada yang mau mencalonkan"?.

Aku mulai kembali memalingkan badanku agar tidak terpilih lagi. Karena cukup pada tahun pertama sebelumnya saja aku menjadi sekretaris. Tidak lagi untuk sekarang. Nana menyenggolku perlahan, memberikan kode agar aku saja yang jadi sekretaris. Sepertinya Nana sudah tahu aku pernah jadi sekretaris tahun kemarin.

"Aline, kamu saja ya yang jadi sekretaris",

"Janganlah bu, sepertinya saya tidak bisa bu"

"Ah tidak apa-apa, tahun kemarin kamu juga jadi sekretaris kan, pasti sudah ada pengalaman. Jadi ibu akan lebih nyaman kalau yang jadi sekretarisnya itu kamu Aline"

"Baiklah bu" aku menerima dengan nada pasrah, karena tidak mampu lagi mengelak dari keinginan Bu Fira yang sudah memaparkan pengalamanku itu.

Keputusan sudah ditetapkan, tidak bisa dibatalkan lagi. Baiklah selamat datang di kehidupan yang akan ditemani kunci kelas dan buku kelas selama setahun ini. Menjadi sekretaris akan membuatku menjadi orang yang mau tidak mau harus melangkah lebih cepat untuk pergi sekolah. Karena sebagai sekretaris aku yang bertugas membuka pintu kelas seusaha mungkin itu aku dan menunggu teman-teman lain selesai piket kelas untuk mengantarkannya ke ruang tata usaha sekolah setiap pagi dan sore hari.

Tidak lama kemudian bel istirahat pertama berbunyi. Pelajaran pertama dan pemilu kelas telah usai dilakukan. Aku menopangkan kepalaku di kedua tangan yang mengadah. Memikirkan hal-hal yang tidak mesti harus kupikirkan. Kebiasaan burukku memang muncul di waktu yang tepat sekali. Sepertinya ruang memoriku cukup luas, hingga masih sempat memikirkan hal-hal tidak berguna yang belum terjadi. Memikirkan pagi-pagiku yang akan selalu awal dari semua awal.

"Tok-tok, Tok-tok" terdengar dari suara tangan seseorang yang menghentikan lamunanku

"Hey, Aline"

"Ha, Iya ada apa?." Jawabku kaget menemukan pria tadi  yang sudah berdiri di samping mejaku

"Jangan lupa ambil buku kelas ya di ruang tata usaha"

"Iya nanti aku rencana ambil dengan Nana sebelum istirahat berakhir"

"Baiklah, semangat untuk kerja sama setahun kedepan"

"Oke, pastinya"

Tak disangka Ian akan mengeluarkan kalimat tersebut. Seolah dia tau wajahku yang cukup pasrah ditunjuk menjadi sekretaris kelas. Sepertinya dia ingin memberikan semangat untuk itu.

Setelah menunggu Nana yang ke toilet sebentar saat bel istirahat berbunyi. Aku mengajak Nana menemaniku mengambil buku kelas yang diingatkan Ian tadi. Buku-buku kelas sepertinya sudah tertata rapi di depan ruang tata usaha berdasarkan nama kelas masing-masing. Setelah menandatangani bukti pengambilan buku kelas. Aku dan Nana memanfaatkan sisa waktu istirahat untuk jajan di kantin sekolah.

"Aline, Nana" terdengar suara Tania yang meneriakkan namaku dan Nana dari sudut belakang koperasi.

"Itu Tania, ayok kita kesana Al"

"Ayok, sepertinya Arum juga ada disana menjaga dua bangku kosong untuk kita berdua"

"Kenapa baru ke kantin kalian?" tanya Tania sambil mengunyah pisang goreng yang masih memenuhi mulutnya

"Iya tadi aku menemani Aline ke ruang tata usaha mengambil buku kelas" jawab Nana

"Cepatlah isi perut kalian, sebentar lagi waktu istirahat akan habis", Jawab Arum sambil mengingatkan aku dan Nana untuk segera jajan.

Tania dan Arum merupakan teman satu lorongku di asrama. Kamar Tania tepat di sebelah kamarku. Sedangkan kamar Arum berada 2 kamar setelah kamar Tania. Jadi aku sudah cukup mengenal mereka berdua selama di asrama. Arum dan Nana juga satu kamar jadi begitulah bagaimana kami berempat mulai mengenal.

Setelah selesai mengisi perut dengan jajanan yang serba ada di kantin sekolah. Kami kembali ke kelas masing-masing. Tania dan Arum satu kelas, kami tidak sekelas dan jaraknya cukup jauh antara barat dan timurnya sekolah. Kelasku di sebelah barat, dan kelas Tania dan Arum di sebelah timur. Kemudian kami saling berpamitan setelah berjalan dari kantin sekolah.

Jam-jam sekolah berlangsung damai dan cukup cepat terasa karena telah usai. Aku membacakan daftar-daftar orang yang piket hari ini dari pembagian tugas kerja Bu Fira tadi. Seperti biasa aku akan menunggu mereka yang piket agar bisa mengantarkan kunci ke ruang tata usaha. Aku minta ditemani Nana karena hari ini pertamaku, tapi waktu tidak berkata Nana bisa menemaniku. Bu Fira memanggil Nana tiba-tiba untuk pergi ke perpustakaan untuk mengambil beberapa buku mata pelajaran wajib yang akan dibagikan dengan yang lain.

Aku menunggu yang lainnya di balkon depan kelas sambil bersenandung pelan dan menatap lingkungan sekolah dari lantai 2. Tiba-tiba Ian berada di sampingku ikut bersenandung juga. Seolah dia tau lagu apa yang sedang kusenandungkan. Aku menatapnya yang sedang melihat ke arah langit.

"Hari hujan", ungkapnya dengan penuh percaya diri

"Hujan darimana Ian, langit secerah ini"

"Tunggu sebentar lagi, pasti akan hujan Al"

Aku menggeleng- gelengkan kepalaku. Merespon perkataan dia yang sudah seperti cenayang saja. Tingkahnya sangat aneh dan konyol. Aku tidak ingin memedulikan perkataannya. Karena aku berharap semoga saja tidak hujan. Walau kota Bogor yang sudah terkenal dengan curah hujan yang sering ditemui. Melihat cuaca yang masih cerah tidak mungkin rasanya ada tanda-tanda hujan akan turun. Disatu sisi aku juga mengkhawatirkan kalau itu memang iya, karena saat ini aku sedang tidak membawa payung.

"Kalau memang menurutmu akan hujan, pulanglah dulu"

"Tidak, aku akan mengantar partnerku menyelesaikan tugasnya."

"Gapapa kok, aku saja yang mengantarkan kunci kelas sendiri nanti"

"Aku bukan menunggumu Aline, aku menunggu dan memastikan semua selesai dengan baik, karena aku ketua kelasnya"

Jawaban Ian yang cukup mengesalkan membuatku berhenti membalas perkataannya. Aku berdoa agar mereka yang piket cepat menyelesaikannya tugas mereka dan aku bisa pulang dengan cepat ke asrama dan tidak berlama-lama lagi bersama Ian yang teguh daritadi menunggu.

Doaku terkabulkan dengan cepat, mereka sudah selesai. Kemudian mereka meninggalkan aku dan Ian berdua. Lalu aku segera mengambil buku kelas di atas meja yang ingin keantarkan kembali ke ruang tata usaha. Setelah memastikan semuanya rapi, aku mengunci pintu kelas. Tiba-tiba hujan turun sesuai dengan prediksi Ian yang penuh percaya diri tadi. Hujan yang turun membuatku terdiam lalu menatap Ian yang penuh rasa bahagia ketika dia melihat hujan yang turun sesuai dengan ramalannya.

"Kan, sudahku bilang, hujan akan turun Al. Kita tidak bisa melihat satu sisi yang terlihat cerah saja Al, siapa tau ada satu sisi yang tidak kamu ketahui akan merubah segala hal yang kamu lihat tadi pada awalnya," ujar Ian dengan mantap dan kata-katanya yang terdengar seperti kutipan serius.

"Tapi darimana kamu tahu, kalau hujan akan turun?, apakah karena Bogor sering hujan, jadi mudah saja bagimu menerka kapan hujan akan turun?, tanyaku penasaran dengan tingkah dan dugaan Ian yang terbukti benar

"Tenang saja aku bukan malaikat utusan semesta yang akan tahu kapan hujan akan turun Al, tadi karena aku mampir ke kelas temanku disebelah timur sekolah. Jadi kulihat awan mendung diatas atap kelas kita" jawab Ian dengan cukup menyakinkanku yang daritadi tidak percaya omongan dia.

Tanpa sadar aku sudah sampai di ruang tata usaha melewati beberapa kelas agar tidak kena hujan bersama Ian. Setelah buku kelas dan kunci kuletakkan. Aku kembali memandangi langit dan mematung menunggu hujan sedikit mulai reda. Ian mulai membuka tas dia yang daritadi dia sandang. Seperti ingin mengeluarkan barang yang dia butuhkan.

"Ini Al, kamu bisa pakai payungku, melihat hari yang sudah sore tidak mungkin akan menunggu lebih lama lagi dan hari sudah semakin dingin", ujar Ian sambil menyodorkan payung biru dongkernya.

"Tidak ah, terima kasih Ian. Kamu saja yang pakai, aku menunggu sebentar.....", jawabku menolak dengan segan

Kemudian Ian tiba-tiba langsung meletakkan payungnya di tanganku. Tanpa menunggu aku menyelesaikan jawabanku. Dia berlari ke tengah hujan dan menumpang bersama teman laki-lakinya yang barusan lewat di depan kami.

"Jangan lupa besok kembalikan ya, itu payung ajaibku", teriak dia dari tengah hujan yang telah dia hampiri dengan buru-buru.

Aku tidak bisa menjawab perkataannya, karena dia begitu cepat menghilang bersama temannya di tengah hujan yang dari tadi mulai deras. Aku mulai membuka payung yang Ian berikan. Di tangkai payungnya terukir nama Ian dengan tulisan indah yang rapi.

Aku mulai berjalan ke asrama yang tidak cukup jauh dari sekolah. Sambil tersenyum mengingat kelakuan Ian yang di luar dugaan sekali. Tingkahnya yang aneh, dari luar tampak dingin tanpa diduga selalu meninggalkan hal yang membuat terkesan tiba-tiba.

Suara Lavender 1-

Lelaki itu anak hujan..

Dia melempar

keteduhan

Bersama

payung yang ia singgahkan

Diajaknya

berlari sendiri-sendiri

Dibawah rintik hujan yang turun

Payungnya

membawaku pulang

Tanpa tergores

rintiknya

sedikitpun

Hujan yang membeku jadi panas karena dia

*******************

Terimakasih yang sudah mau membaca cerita ini, 

Maaf untuk segala kekurangan penulisan, maklum penulis pemula yang akan terus belajar dan memperbaiki agar menuju kata sempurna

Bantu cerita ini dengan cara vote dan comment ya, jangan lupa.

With Love, Aponi line❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status