Share

Lavrinda Tersayang
Lavrinda Tersayang
Penulis: Woodsly

1

Sedikit demi sedikit pria itu berjalan mendekati ujung tepian atap. Baru saja ia dipecat dari kerjaannya. Terbayang sudah bagaimana ia akan gagal membayar utang keluarganya. Dengan kekasihnya yang abusif lebih baik dia meninggal saja. “Aku akhiri saja hidup ini.”

“Hei! Seenaknya saja numpang bunuh diri di gedungku.” Maria mendekati pria yang hendak melompat itu. “Turun!”

“Ceritalah kepadaku, aku akan mendengarkannya.” Perintahnya.

Pria menampakkan wajahnya. Muka lebam penuh dengan bekas pukulan. Pria tersebut duduk di pinggiran atap. Maria mendekatinya dan menuntunnya untuk menjauh dari pinggiran atap. Sekilas dilihat olehnya di bagian leher pria itu bekas sundutan rokok ada di mana-mana.

“Sepertinya kamu habis saja mengalami hari yang buruk. Bagaimana kalau kamu cerita sekarang?” tanyanya.

Pria itu terdiam, matanya tampak kosong. Tanpa Maria duga pria itu berlari ke arah pinggiran atap. Dikejarnya dan Maria berhasil menjegalnya untuk jatuh ke lantai. “Hei! Kamu kira membunuh dirimu menyelesaikan masalah?”

“Tenangkan dirimu anak muda.” Maria mendudukkan kembali pria itu. Karena keributan itu, para pengawalnya segera muncul keluar dari balik pintu menuju atap. Mereka bergerak untuk mengamankan pria itu.

“Tidak usah. Biar aku yang urus.” Maria tersenyum. Dipanggulnya pria itu tadi dengan panggulan pemadam kebakaran. “Tolong buatkan aku dua teh hangat dan taruh di kantorku.”

Pengawalnya segera pergi. Maria membawa pria tersebut ke ruangannya di gedung ini. Dua gelas teh hangat sudah tersedia di atas mejanya. Dibaringkannya pria tersebut di sofa di depan televisi ruangannya. Dikuncinya pintu ruangannya dan Maria segera mengamankan benda tajam apapun yang bisa melukai di ruangannya.

“Aku ... gagal. Hidupku semua gagal.” Pria itu berkata. “Aku kehilangan pekerjaanku, kekasihku yang abusif, utang keluargaku begitu banyak.”

“Apa pekerjaanmu sebelumnya?” tanya Maria.

“Aku ... membunuh orang. Aku tangan kanan dari Herman Wolkstraum, mafia dari Jerman.” Jawab pria itu.

“Pembunuh bayaran? Lalu kenapa kamu bisa dibuang?” tanya Maria lagi. “Sangat disayangkan sekali orang sekelas Herman kehilangan tangan kanannya.”

“Aku tidak bisa membunuh dirimu!” Pria tersebut mengeluarkan pisaunya dan hendak menusuk Maria. Maria menghindarinya dan tersenyum.

“Kenapa Herman memburuku? Bukankah kita ini masih dalam satu aliansi Gerbang Surga?” tanya Maria. “Rebutan wilayah operasional bisnis kah? Bukannya bisnis penipuan pusat telepon dan pinjaman daring dari organisasimu sudah membuat Herman dan koleganya kaya?”

Pria itu maju dan mengayunkan pisaunya berkali-kali. Maria bisa menghindarinya dan menuju ke tempat ia menyembunyikan pistolnya. Pria itu merusak pintu ruangan ini sehingga mereka berdua tidak bisa keluar.

“Menyerahlah. Aku punya pistol.” Maria mengarahkannya ke arah pria itu.

“Aku tidak bisa. Herman akan mengancam membunuh keponakanku bila aku gagal. Aku tidak akan bisa keluar dari organisasi terkutuk ini.” Pria itu berlari hendak menyerang Maria.

Maria menembak dua kali tapi pria itu berhasil menghindarinya. Ketika sudah dekat dijegalnya pria itu. Maria terkejut karena pria yang ia hadapi tiba-tiba menjadi kuat. Padahal tadi waktu ia panggul, pria di hadapannya ini terasa lemah.

“Ah sial kamu si Hantu Abu-Abu! Kukira hanya rumor saja Herman memiliki anak buah seperti ini. Kenapa mantan pasukan khusus sepertimu bisa bekerja untuk mafia.” Maria tertangkap. Ia dibanting oleh pria tadi ke atas mejanya.

Pria tersebut hendak menggorok lehernya. Lutut kaki kanannya berada dalam posisi strategis. Ia tendang bagian kemaluan pria itu. Lalu dibenturkannya kepalanya kepada pria itu saat dia meringis kesakitan. Maria mengambil pistolnya lagi dan menembak pisau pria itu.

BRAK!

Pisaunya hancur dan melukai tangan pria itu. “Matilah! Aku mohon! Herman saat ini menyandra keponakanku.”

“Bohong.” Kata Maria.

“Tidak! Kalau aku tidak berbohong aku sudah dari tadi pagi akan menembakmu mati dari jauh dari gedung sebelah. Alasanku ke sini sebenarnya meminta tolong kepadamu untuk menyelamatkan keponakanku.” Jawab pria itu.

“Mmmm. Benar juga. Seharian ini aku berkeliaran tanpa pengawal. Seharusnya untuk profesional sepertimu bisa menghabisiku dengan gampang.” Jawab Maria.

“Tolong lakukan sesuatu. Hanya kamu rival dari Herman yang punya kekuatan sama dengannya.” Pinta pria itu. “Selebihnya kamu bebas mau apakan aku. Aku tidak berniat kembali untuk bekerja dengan pria itu.”

“Kamu tidak memikirkan kalau aku akan melaporkan kejadian ini pada Herman?” tanya Maria.

“Kalau itu terjadi. Rekanku yang ada di bawah tanah gedung ini akan meledakkan gedung ini.” jawab pria itu. “Rogoh sakuku dan ambil ponselku. Saat ini mereka pasti sedang menanyakan bagaimana proses aku membunuhmu.”

Maria mendekat dan mengambil ponsel dari saku pria itu. Ada beberapa pesan yang bertanya soal kondisinya. Maria mendengus kesal dan mengembalikan ponsel pria itu. “Jadi apa rencanamu. Soal membunuhku kamu gagal.”

“Aku akan ke bawah sana dengan bukti kalau kamu sudah terbunuh. Setelah rekanku melepas peledak dari gedung ini. Kamu bisa sergap kami di parkiran bawah tanah.” Jawab pria itu.

“Mmmm. Oke, kalau kamu berbohong. Aku akan membunuhmu di bawah sana.” Kata Maria dan melepaskan jasnya. Dia mengambil pistolnya dan menembak tangannya sendiri di atas jas itu. Dengan begitu jasnya bisa jadi barang bukti kalau dia sudah terbunuh.

Kemudian dia memakai jasnya itu lagi mengoleskan darah ke bibir dan dadanya. “Foto aku, ini bisa kamu gunakan sebagai bukti juga. Cepat, sakit tahu tanganku bolong.”

Pria itu memfoto Maria yang berpura-pura tewas. Selesai mengambil gambarnya Maria dengan cepat mengobati lukanya. Untungnya tembakan yang ia pilih tadi tembakan bersih. Tidak mengenai tulangnya.

“Aku akan ke rumah sakit. Lakukan tugasmu. Aku mempercayaimu.” Ujar Maria dan membuka pintu darurat. “Lewat sini ada tembusan menuju lift ke bawah tanah.”

Maria memasuki ruang pintu darurat tersebut dan menuju ke lantai 1. Pria itu menunggu lift di ruangan pintu darurat itu kembali barulah ia menggunakannya. Maria menghubungi pengawalnya untuk memberitahukan apa yang terjadi. Dia juga memerintahkan beberapa pengawalnya untuk bersiap untuk menyergap di parkiran bawah tanah.

Pria itu kini tiba di parkiran bawah tanah. Selangkah dia keluar dari lift dan menuju tempat rekannya bersembunyi. Dilemparkannya jas yang berlumuran darah itu ke dalam koper yang disediakan rekannya.

“Tugas selesai. Saatnya pulang. Lepas peledaknya,” perintah pria itu.

Empat orang rekannya keluar dan berhasil melepas peledak yang ada di sana. Ketika mereka hendak naik ke dalam mobil mereka. Mereka semua tertembak dan terbunuh. Menyisakan pria itu sendirian.

Maria muncul dengan tangannya yang sudah diperban bersama anak buahnya. “Perkenalkan namamu Hantu Abu-Abu. Sayang sekali aku sudah dapat informasi bahwa keponakanmu sudah dibunuh oleh Herman.”

Maria menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan foto keponakan dari pria tersebut tewas bersimbah darah. Anak kecil itu tergeletak begitu saja di dekat tong sampah dekat gedung milik Herman.

“Namaku Ratha. Itu saja. Kini keponakanku meninggal, aku tidak punya alasan untuk hidup lagi.” Ratha menjawab. Dia mengambil pistol rekannya dan bersiap untuk menembak kepalanya sendiri.

“Tidak boleh. Jadikan aku alasanmu untuk hidup. Kamu tidak ingin membalas dendammu kepada Herman? Jadilah bawahanku, aku akan membantumu untuk balas dendam.” Maria mengulurkan tangannya untuk meraih Ratha.

“Baik.” jawab Ratha dengan singkat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status