Sedikit demi sedikit pria itu berjalan mendekati ujung tepian atap. Baru saja ia dipecat dari kerjaannya. Terbayang sudah bagaimana ia akan gagal membayar utang keluarganya. Dengan kekasihnya yang abusif lebih baik dia meninggal saja. “Aku akhiri saja hidup ini.”
“Hei! Seenaknya saja numpang bunuh diri di gedungku.” Maria mendekati pria yang hendak melompat itu. “Turun!”
“Ceritalah kepadaku, aku akan mendengarkannya.” Perintahnya.
Pria menampakkan wajahnya. Muka lebam penuh dengan bekas pukulan. Pria tersebut duduk di pinggiran atap. Maria mendekatinya dan menuntunnya untuk menjauh dari pinggiran atap. Sekilas dilihat olehnya di bagian leher pria itu bekas sundutan rokok ada di mana-mana.
“Sepertinya kamu habis saja mengalami hari yang buruk. Bagaimana kalau kamu cerita sekarang?” tanyanya.
Pria itu terdiam, matanya tampak kosong. Tanpa Maria duga pria itu berlari ke arah pinggiran atap. Dikejarnya dan Maria berhasil menjegalnya untuk jatuh ke lantai. “Hei! Kamu kira membunuh dirimu menyelesaikan masalah?”
“Tenangkan dirimu anak muda.” Maria mendudukkan kembali pria itu. Karena keributan itu, para pengawalnya segera muncul keluar dari balik pintu menuju atap. Mereka bergerak untuk mengamankan pria itu.
“Tidak usah. Biar aku yang urus.” Maria tersenyum. Dipanggulnya pria itu tadi dengan panggulan pemadam kebakaran. “Tolong buatkan aku dua teh hangat dan taruh di kantorku.”
Pengawalnya segera pergi. Maria membawa pria tersebut ke ruangannya di gedung ini. Dua gelas teh hangat sudah tersedia di atas mejanya. Dibaringkannya pria tersebut di sofa di depan televisi ruangannya. Dikuncinya pintu ruangannya dan Maria segera mengamankan benda tajam apapun yang bisa melukai di ruangannya.
“Aku ... gagal. Hidupku semua gagal.” Pria itu berkata. “Aku kehilangan pekerjaanku, kekasihku yang abusif, utang keluargaku begitu banyak.”
“Apa pekerjaanmu sebelumnya?” tanya Maria.
“Aku ... membunuh orang. Aku tangan kanan dari Herman Wolkstraum, mafia dari Jerman.” Jawab pria itu.
“Pembunuh bayaran? Lalu kenapa kamu bisa dibuang?” tanya Maria lagi. “Sangat disayangkan sekali orang sekelas Herman kehilangan tangan kanannya.”
“Aku tidak bisa membunuh dirimu!” Pria tersebut mengeluarkan pisaunya dan hendak menusuk Maria. Maria menghindarinya dan tersenyum.
“Kenapa Herman memburuku? Bukankah kita ini masih dalam satu aliansi Gerbang Surga?” tanya Maria. “Rebutan wilayah operasional bisnis kah? Bukannya bisnis penipuan pusat telepon dan pinjaman daring dari organisasimu sudah membuat Herman dan koleganya kaya?”
Pria itu maju dan mengayunkan pisaunya berkali-kali. Maria bisa menghindarinya dan menuju ke tempat ia menyembunyikan pistolnya. Pria itu merusak pintu ruangan ini sehingga mereka berdua tidak bisa keluar.
“Menyerahlah. Aku punya pistol.” Maria mengarahkannya ke arah pria itu.
“Aku tidak bisa. Herman akan mengancam membunuh keponakanku bila aku gagal. Aku tidak akan bisa keluar dari organisasi terkutuk ini.” Pria itu berlari hendak menyerang Maria.
Maria menembak dua kali tapi pria itu berhasil menghindarinya. Ketika sudah dekat dijegalnya pria itu. Maria terkejut karena pria yang ia hadapi tiba-tiba menjadi kuat. Padahal tadi waktu ia panggul, pria di hadapannya ini terasa lemah.
“Ah sial kamu si Hantu Abu-Abu! Kukira hanya rumor saja Herman memiliki anak buah seperti ini. Kenapa mantan pasukan khusus sepertimu bisa bekerja untuk mafia.” Maria tertangkap. Ia dibanting oleh pria tadi ke atas mejanya.
Pria tersebut hendak menggorok lehernya. Lutut kaki kanannya berada dalam posisi strategis. Ia tendang bagian kemaluan pria itu. Lalu dibenturkannya kepalanya kepada pria itu saat dia meringis kesakitan. Maria mengambil pistolnya lagi dan menembak pisau pria itu.
BRAK!
Pisaunya hancur dan melukai tangan pria itu. “Matilah! Aku mohon! Herman saat ini menyandra keponakanku.”
“Bohong.” Kata Maria.
“Tidak! Kalau aku tidak berbohong aku sudah dari tadi pagi akan menembakmu mati dari jauh dari gedung sebelah. Alasanku ke sini sebenarnya meminta tolong kepadamu untuk menyelamatkan keponakanku.” Jawab pria itu.
“Mmmm. Benar juga. Seharian ini aku berkeliaran tanpa pengawal. Seharusnya untuk profesional sepertimu bisa menghabisiku dengan gampang.” Jawab Maria.
“Tolong lakukan sesuatu. Hanya kamu rival dari Herman yang punya kekuatan sama dengannya.” Pinta pria itu. “Selebihnya kamu bebas mau apakan aku. Aku tidak berniat kembali untuk bekerja dengan pria itu.”
“Kamu tidak memikirkan kalau aku akan melaporkan kejadian ini pada Herman?” tanya Maria.
“Kalau itu terjadi. Rekanku yang ada di bawah tanah gedung ini akan meledakkan gedung ini.” jawab pria itu. “Rogoh sakuku dan ambil ponselku. Saat ini mereka pasti sedang menanyakan bagaimana proses aku membunuhmu.”
Maria mendekat dan mengambil ponsel dari saku pria itu. Ada beberapa pesan yang bertanya soal kondisinya. Maria mendengus kesal dan mengembalikan ponsel pria itu. “Jadi apa rencanamu. Soal membunuhku kamu gagal.”
“Aku akan ke bawah sana dengan bukti kalau kamu sudah terbunuh. Setelah rekanku melepas peledak dari gedung ini. Kamu bisa sergap kami di parkiran bawah tanah.” Jawab pria itu.
“Mmmm. Oke, kalau kamu berbohong. Aku akan membunuhmu di bawah sana.” Kata Maria dan melepaskan jasnya. Dia mengambil pistolnya dan menembak tangannya sendiri di atas jas itu. Dengan begitu jasnya bisa jadi barang bukti kalau dia sudah terbunuh.
Kemudian dia memakai jasnya itu lagi mengoleskan darah ke bibir dan dadanya. “Foto aku, ini bisa kamu gunakan sebagai bukti juga. Cepat, sakit tahu tanganku bolong.”
Pria itu memfoto Maria yang berpura-pura tewas. Selesai mengambil gambarnya Maria dengan cepat mengobati lukanya. Untungnya tembakan yang ia pilih tadi tembakan bersih. Tidak mengenai tulangnya.
“Aku akan ke rumah sakit. Lakukan tugasmu. Aku mempercayaimu.” Ujar Maria dan membuka pintu darurat. “Lewat sini ada tembusan menuju lift ke bawah tanah.”
Maria memasuki ruang pintu darurat tersebut dan menuju ke lantai 1. Pria itu menunggu lift di ruangan pintu darurat itu kembali barulah ia menggunakannya. Maria menghubungi pengawalnya untuk memberitahukan apa yang terjadi. Dia juga memerintahkan beberapa pengawalnya untuk bersiap untuk menyergap di parkiran bawah tanah.
Pria itu kini tiba di parkiran bawah tanah. Selangkah dia keluar dari lift dan menuju tempat rekannya bersembunyi. Dilemparkannya jas yang berlumuran darah itu ke dalam koper yang disediakan rekannya.
“Tugas selesai. Saatnya pulang. Lepas peledaknya,” perintah pria itu.
Empat orang rekannya keluar dan berhasil melepas peledak yang ada di sana. Ketika mereka hendak naik ke dalam mobil mereka. Mereka semua tertembak dan terbunuh. Menyisakan pria itu sendirian.
Maria muncul dengan tangannya yang sudah diperban bersama anak buahnya. “Perkenalkan namamu Hantu Abu-Abu. Sayang sekali aku sudah dapat informasi bahwa keponakanmu sudah dibunuh oleh Herman.”
Maria menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan foto keponakan dari pria tersebut tewas bersimbah darah. Anak kecil itu tergeletak begitu saja di dekat tong sampah dekat gedung milik Herman.
“Namaku Ratha. Itu saja. Kini keponakanku meninggal, aku tidak punya alasan untuk hidup lagi.” Ratha menjawab. Dia mengambil pistol rekannya dan bersiap untuk menembak kepalanya sendiri.
“Tidak boleh. Jadikan aku alasanmu untuk hidup. Kamu tidak ingin membalas dendammu kepada Herman? Jadilah bawahanku, aku akan membantumu untuk balas dendam.” Maria mengulurkan tangannya untuk meraih Ratha.
“Baik.” jawab Ratha dengan singkat.
Melihat Ratha dan Agnes berhasil keluar dari laboratorium yang hancur. Herman mengambil radio komunikasinya dan menyuruh mereka berdua untuk ke arah helipad evakuasi. “Kalian berdua ke sini.”“Siap.” Balas Agnes dan menggendong Ratha yang terkapar.“Aku bisa berjalan sendiri.” Ratha menjatuhkan diri dari gendongan Agnes dan berusaha berdiri.“Tidak usah dipaksakan.” Kata Agnes, dia mengambil radio komunikasinya. “Ada yang bisa membantuku membawanya?”Para anggota medis laboratorium datang membawa tandu. Ratha dinaikkan ke atas sana dan mereka menuju helipad evakuasi. Di sana helikopter mereka bersiap untuk berangkat, Herman sedang berbicara dengan anak buahnya untuk mengatasi kejadian yang baru saja mereka buat.“Buat saja kalau ini bangunannya hancur karena ledakan bahan kimia. Jangan sampai pemerintah tahu. Presiden Adler juga jika bertanya apa yang terjadi jawab saja begitu.” Perintah Herman.“Baik.” jawab anak buahnya. Mereka kini menuju Kuba di mana di sana ada area rahasia perte
Hari ini Ratha diminta Herman untuk ke laboratorium. Ratha sudah tahu pasti ini berkaitan dengan virus yang ada di dalam dirinya. Setelah berpamitan kepada Lavrinda, dari rumahnya Ratha menuju ke provinsi sebelah tempat laboratorium berada.Perjalanan ke laboratorium itu panjang dan sunyi, memberikan Ratha banyak waktu untuk merenung. Ia tahu bahwa di dalam tubuhnya terdapat Virus Adam, sebuah virus awal yang akan mengendalikan virus mayat hidup yang sedang dikembangkan oleh Herman, bos organisasi tempat Ratha berada. Ratha telah menerima nasibnya untuk dijadikan percobaan bagi organisasinya, karena dia merasa berutang budi kepada mereka yang telah memberinya kehidupan yang bagus.Saat tiba di laboratorium, suasana di sana terasa mencekam. Ratha berjalan melalui koridor-koridor dingin yang diterangi oleh lampu neon, hingga akhirnya tiba di ruang operasi di mana Herman telah menunggunya.“Selamat datang, Ratha,” sambut Herman dengan senyum dingin. “Kami sudah siap untuk tahap berikutny
“Pikiranmu agak kosong, apa yang terjadi?” tanya Ratha saat Elaina menemuinya langsung.“Apakah ada kumbang di sekitar sini? Jika ia bisakah ke tempat yang steril?” balas wanita itu.“Di kantor yang ini tidak ada CCTV. Jadi aman saja.” jawab Ratha.Mereka duduk di meja yang dikelilingi oleh dinding kaca, pemandangan kota yang sibuk terlihat di luar. Sejenak, keduanya terdiam, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan yang sulit ini."Aku mendengar kabar tentang Lavrinda," Elaina memulai, matanya menatap lurus ke arah Ratha. "Selamat atas kehamilannya."Ratha terkejut sejenak, namun kemudian dia tersenyum tipis. "Terima kasih, Elaina. Aku tahu ini bukan kabar yang mudah untukmu."Elaina mengangguk, berusaha menahan gejolak emosi di dalam dirinya. "Aku senang untuk kalian berdua. Meski awalnya sulit, aku mencoba untuk menerima kenyataan ini.""Elaina, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai hubungan kita dulu. Apa yang terjadi antara kita tidak akan pernah aku
Elaina dan timnya bersiap untuk menyerang markas Jose. Semuanya sudah terkoordinasi, persiapan mereka sudah seperti rencana dan berjalan dengan mulus. Elaina meniup peluitnya dan memberikan aba-aba untuk menyerang secara bersamaan.Dari udara bantuan dari BKDN berupa helikopter penyerbu menembakkan tiga buah roket untuk menghancurkan gerbang markas kartel Jose. Kemudian mereka menembaki garasi Jose yang berisi mobil-mobil dimodifikasi dengan senapan mesin.“Ayo serbu! Kita balaskan dendam rekan organisasi kita yang telah dibunuh oleh kartel ini!” perintah Elaina.Pasukan darat bergerak cepat, memanfaatkan kekacauan yang disebabkan oleh serangan udara. Elaina memimpin timnya dengan penuh percaya diri, gerakannya cepat dan pasti. Mereka memasuki kompleks markas melalui celah-celah yang ditinggalkan oleh roket. Dengan senapan di tangan, mereka maju melalui asap dan reruntuhan, mata mereka terfokus pada tujuan utama: menghancurkan kartel Jose.Pertempuran berlangsung sengit. Tembakan terd
“Pagi,” Ratha mematikan alaramnya dan memeluk tubuh Lavrinda. Dipeluknya erat dan diciumnya leher istrinya itu. Lavrinda tertawa kecil-kecilan dan menjadi agresif.“Kamu mau melakukannya? Aku ingin cepat hamil.” Lavrinda berkata.“He? Tidak, aku hanya ingin membangunkanmu.” Ratha membalas.“Tapi aku mau!” Lavrinda bangun dan menaiki tubuh Ratha.“Kalau kamu memaksa. Lakukan sesukamu, hari ini kita tidak ada jadwal hingga siang hari.” Ratha mengalah dan menuruti keinginan istrinya.“Siang hari ini kita ada acara makan siang bersama para pejabat negara ya. Mereka meminta informasi penting dari kita soal urusan organisasi kita.” Kata Lavrinda. “Masih ada waktu bagi kita untuk bermain.”Lavrinda mencium bibir Ratha dengan ganas. Pria tersebut terdiam dan membiarkan kekasihnya melakukan semuanya. Lavrinda mengambil obat perangsang dan meminumkannya secara paksa pada kekasihnya yang dicintai itu.“Jangan kasar-kasar.” Pinta Ratha.“Kamu sudah tahu jawabanku kan?” tanya Lavrinda. “Tentu saja
Elaina mempersiapkan barang-barangnya bersama Mai. Mai membantunya menaikkan peralatan ke dalam mobil van mereka. “Kehormatan bagiku bisa bertugas langsung bersama legenda organisasi."“Maaf karena aku menggunakan inisial nomormu, 05.” Tambahnya.“Ya, tidak apa-apa. Ke sini Mai, kita akan membuat rencananya dan mereview ulang rencananya.” Elaina menyuruh Mai untuk mendekat ke papan tulis putih yang ada di ruangan persenjataan ini.“Nama target kita Jose Luizzo beserta keluarganya. Sang ayah Jose, merupakan kartel rival kita di sini. Menggunakan anaknya sebagai kampanye anti narkoba dia kemudian menjual narkoba dilabeli obat sehat kepada masyarakat.” Kata Elaina.“Cukup menarik. Menipu masyarakat dahulu, lalu membunuh mereka perlahan dengan narkoba.” Kata Mai.“Biro Keamanan Dalam Negeri meminta bantuan organisasi kita untuk melenyapkannya. Karena kita sedang bekerja sama dengannya. Mereka menginginkan Jose hidup-hidup, tapi perintah dari Bos Herman kita adalah membunuhnya. Jadi bagaim