Share

6

Ratha duduk di samping Lavrinda yang kini bersiap-siap untuk bernegosiasi. Adler, wakil presiden negara ini membuka semua penyamarannya dan menyuruh pengawalnya untuk berjaga di luar. “Memang daerah ini yang terbaik. Sangat strategis sekali untuk bisnis kita.”

“Kamu minta dana berapa? Tidak berniat untuk ekspansi ke luar provinsi ini?” tanya Adler.

“Kalau Anda bisa menjamin aparat dan pemerintahan daerahnya bisa disuap tidak apa-apa. Jika tidak, satu kesalahan sedikit pemerintah pusat akan menciumnya.” Jawab Lavrinda. “Lima ratus juta sudah cukup untuk ekspansi ke provinsi sebelah. Tetapi Anda harus menempatkan orang Anda di sana untuk menjamin kita bisa menguasai aparatnya.”

“Di sana ada kartel saingan ayahmu. Kartel Nx9 pimpinan Alejandro alias B.G.” jawab Adler. “Polisi dan pemerintah di sana sudah disuap oleh mereka. Seharusnya kamu ajak mereka untuk bergabung dengan ayahmu.”

“Aku punya rencana lain. Rencana ini bisa menaikkan imej Anda di mata publik. Bagaimana Anda memerintahkan tentara pusat untuk menghabisi kartel di sana? Setelah kekosongan kekuasaan terjadi. Barulah kami masuk,” balas Lavrinda. “Dengan menghabisi kartel di sana dan membuat Anda seolah-olah mendesak presiden untuk menumpas habis kartel di sana. Masyarakat pasti akan berpikir Anda pro keadilan.”

“Mengamankan suaraku untuk pemilu 2 tahun lagi ya.” Kata Adler.

“Gandeng ayahku juga dan ajak ayahku untuk membersihkan kartel sebelah. Menggunakan tentara bayaran kami juga agar imej kami naik di mata publik.” Tambah Lavrinda.

“Akan kubahas dengan ayahmu nanti.” Balas Adler. “Aku setuju.”

“Ini duplikat kartu akses pesananmu. Militer yang berjaga di gedung Hijau akan aku alihkan semuanya untuk upacara hari kemerdekaan. Hanya akan ada beberapa satpam biasa yang bisa kamu bunuh bila perlu untuk menghindari kecurigaan.” Adler mengeluarkan sebuah kartu. “Ini uang muka lima ratus jutanya untuk pesananku. Kamu sudah menyediakan gadis muda dan cantik kan di ruanganku di sini?”

“Tentu saja. Semuanya masih di bawah umur dan segar.” Kata Ratha.

“Sisanya akan aku kasih tranfser pakai bank biasanya.” Ucap Adler. “Aduh hampir lupa. Kalian harus memperbarui orang kalian di kementrian keuangan. Mata-mata kalian di kementrian keuangan kabarnya sedang diintrogasi oleh Biro Keamanan Dalam Negeri.”

“Pemerintah pusat benar-benar benci dengan kami ya.” Kata Lavrinda. “Padahal berkat kami daerah terpencil ini bisa berkembang pesat. Coba kalau tidak ada ayahku dan teman-temannya. Tempat ini masih menjadi tempat terlupakan dengan populasi yang berkurang drastis akibat kelaparan dan penyakit.”

“Kalian harus memperkuat pengaruh kalian. Makanya dari itu aku sarankan untuk ekspansi. Di Negara Kermenchik ini ada 14 provinsi, kalian hanya berpengaruh di satu provinsi. 5 lainnya masih dipengaruhi mafia rival kalian, sisanya masih pro pemerintah.” Ucap Alder.

Adler berdiri dan memakai penyamarannya kembali. “Sekarang aku ijin pergi untuk menikmati pesananku. Sampai ketemu lagi Lavrinda, Ratha.”

Adler diantarkan Ratha menuju ke ruangannya. Para pengawalnya mengikutinya dan berjaga di luar ruangan itu. Adler kemudian memerintahkan para pengawalnya untuk bersantai selama dia bermain di sini.

Ratha membawakan 2 gelas rum bagi mereka dan duduk di dekat mereka di bar pribadi lantai 3. “Untuk pengawal tamu kami gratis.”

“Terima kasih. Setidaknya ini membantu kami melewatkan waktu selama dia bersenang-senang di sini.” Jawab salah satu pengawalnya. “Namaku Pedro, kamu Ratha kan? Dari posturmu seperti kamu juga mantan anggota.”

“Tentu. Menjadi aparat tidak menghasilkan banyak uang. Aku terlilit banyak hutang dan Bos Herman menawariku pekerjaan ini.” balas Ratha. “Kalian juga sama?”

“Yap. Bayaran dari tugas tambahan begini mengisi kantong kami. Berkat ini juga aku dan keluargaku bisa tinggal di rumah mewah bukan di asrama aparat lagi.” jawab Pedro. “Sejak dari awal negeri ini memang terkutuk sih. Membiarkan banyak mafia dan kartel bebas.”

“Yah begitulah.” Kata Ratha.

“Kamu dulu bertugas di bagian apa?” tanya Pedro.

“Satuan Anti Terorisme 5905.” Jawab Ratha. “Sekarang tidak ada divisi itu sepertinya. Karena semua teman-temanku dan semua anggota divisi itu tewas dikhianati oleh negara.”

“Kok bisa?” tanya Pedro.

“Presiden Montengro ternyata memiliki hubungan dengan teroris!” jawab Ratha. “Mau aku ceritakan secara penuh?”

“Kapan-kapan saja. Kita juga sudah tahu bagaimana presiden sialan itu mengacak-acak negeri kita dengan ide komunisnya.” Jawab Pedro. “Berkat dia rumah keluargaku disita negara dan kami harus tinggal di apartemen komunal yang buruk sekali.”

“Kamu tidak mau minum juga?” tanya Pedro.

“Tidak. Nanti kekasihku akan memarahiku jika aku minum.” Jawab Ratha. “Karena acara kami hari ini lumayan padat sekali.”

“Bagaimana kamu bisa mendapatkan kekasih orang kaya kawan?” tanya Pedro lagi.

“Keberuntungan saja aku rasa.” Jawab Ratha. Dia mengecek jam tangannya dan saatnya dia kembali menemui Lavrinda. “Saatnya kembali, aku pergi dulu. Semoga selalu diberkati dan beruntung hidupmu Pedro.”

Ratha kembali menemui Lavrinda yang sedang menghitung uang. Dengan segera dia membantunya supaya cepat selesai pekerjaannya. Lavrinda mencatatnya dan memasukkan kembali ke dalam koper. “Antarkan aku ke bank.”

“Baik. Mau jalan sendiri ke parkiran atau digendong lagi?” tanya Ratha.

“Aku jalan sendiri saja. Aku baru ingat tubuhmu masih terluka dan belum benar pulih.” Jawab Lavrinda. “Sehabis dari bank nanti kita mampir sebentar untuk makan siang di restoran biasanya.”

“Lalu ke kantor pusat toko kosmetik. Aku ada rapat dengan bawahanku. Kamu tunggu saja di sana ya, cuma sebentar kok.” Tambahnya dan meregangkan badan. Diambilnya koper tadi dan mengajak Ratha untuk pergi.

“Menurutmu bagaimana soal ekspansi sayang?” tanya Ratha kepada Lavrinda.

“Agak susah karena kita tidak punya kader yang bagus untuk pemimpin cabang baru. Yang tangguh dan bisa bertahan hingga langkah fondasi kita di sana jadi kuat.” Jawab Lavrinda.

“Coba ambil dari generasi muda bagaimana? Atau kita buka tes bagi yang mau menjadi pemimpin cabang?” tawar Ratha.

Lavrinda menghentikan langkahnya dan menyentuh pipi Ratha. Karena perbedaan tinggi mereka, Lavrinda berjinjit, “Kamu masih belum pulih. Mengetes kemampuan pemimpin cabang pasti ayah memerlukanmu. Bagaimana nanti kamu kalah karena lukamu belum pulih?”

“Ahahaha, aku tidak pernah terkalahkan di sini. Hanya sekali kayaknya,” balas Ratha. “Bagaimana kalau temanku dulu di tentara khusus? Kudengar dia sedang dilanda krisis finansial. Kita bisa paksa dia untuk bergabung dengan kita.”

“Soal loyalitas?” tanya Lavrinda dan melanjutkan langkah lagi.

“Pasti dia setuju dan loyal. Sama denganku, kami dikhianati oleh negara juga. Secara resmi data kependudukan dia di sini sudah meninggal dalam bertugas. Istrinya juga menikah lagi membuatnya terkena tekanan psikis kuat.” Jawab Ratha.

“Laporkan itu pada Papa.” Ucap Lavrinda.

Sang sopir yang menunggu di pos satpam begitu melihat mereka langsung sigap menyiapkan kendaraan tadi. Ratha membukakan pintu dahulu bagi Lavrinda. “Silakan tuan putriku.”

Lavrinda tersenyum. “Duduk di sebelah sini kekasihku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status