Saat terbangun, Lily menyadari jika dia sedang ada di rumah sakit. Tubuhnya tidak ada yang terasa sakit, hanya terasa lemas luar biasa. Punggung tangannya sudah tertancap infus, hal itu mengingatkan saat dirinya pingsan setelah berhubungan ranjang dengan Max.
Seketika dia terbangun, takut jika semalam dia benar-benar diperkosa oleh pria berambut pirang kemarin."Kau sudah bangun?" Suara berat itu mengejutkan Lily. Dia menoleh ke arah samping, menemukan Max sedang duduk menatapnya dari atas sofa."Max? Bagaimana bisa..." Lily menyipitkan matanya, berusaha mengingat saat-saat terakhir dia sebelum pingsan.Seingatnya saat pingsan, bukan Max yang keluar dari mobil. Lantas kenapa tiba-tiba Max sudah ada bersamanya di rumah sakit?"Aku sedang naik taksi saat aku perjalanan pulang dan tidak sengaja hampir menabrak mu yang berlari ke jalanan," jelas Max. Lalu dia berdiri dan menghampiri Lily dengan tatapan serius."Katakan, Lily. Apa yang sebenarnya terjadi? Kau terSatu bulan setelahnya, di apartemen Eddie.Bruk!Eddie mendorong Olivia hingga punggungnya terbentur dengan tembok. Olivia meringis kesakitan, merasakan punggungnya terasa ngilu saat berbenturan dengan tembok cukup keras."Apa katamu? Hamil?" bisik Eddie dengan kesal. Kedua tangannya mencengkeram bahu Olivia dengan erat. Tatapannya tajam dan rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang sangat terlihat."Kamu pikir aku bodoh? Kamu pergi ke Paris selama kurang lebih satu bulan lalu sebulan kemudian kamu datang mengadu padaku kalau kamu hamil?" Eddie tertawa pahit, terlihat kilatan amarah di sorot matanya. "Kamu ngaco!""Kita hanya berhubungan badan selama satu kali setelah kepulangan mu dari Paris, itupun aku mengeluarkan milikku saat pelepasan. Katakan Olivia... benih siapa yang berada di rahimmu? Tidak mungkin itu milik Max kan?" Jika Olivia mengandung anak Max, tidak mungkin dia malah datang kemari sambil berkata kalau dia hamil anak Eddie.Sambil men
"Ternyata Finley yang membukakan jalan untuk istrimu di sini, Max. Pria itu memiliki koneksi yang besar dengan mengandalkan latar belakang keluarganya." James menyodorkan minuman soda ke gelas Max.Keduanya berada di kediaman James setelah menemukan informasi tentang Finley yang diminta Max.Max menatap minuman itu dengan pandangan menerawang, perkataan Lily saat di rumah sakit kemarin masih terngiang-ngiang dalam benaknya."Tentang pria berambut pirang, aku rasa bawahan ku sudah menemukan tentangnya. Terpantau di rekaman pengawas di lorong apartemen, ada pria berambut pirang yang mengejar istrimu dan dia bagian dari keluarga Blanchet." James mendekatkan wajahnya ke arah Max yang duduk berseberangan dengannya. "Menariknya rekan kerja Lily ada yang berasal dari keluarga Blanchet. Entah ini ada hubungannya atau tidak, aku belum mendapat info lanjutannya."Kening Max mengerut dalam. "Rekan kerja?"James menatap Max dengan tatapan mengejek. "Dia itu istrimu atau buka
Tiga tahun kemudian.Lily telah menyelesaikan pendidikan sekolah desain selama dua tahun lalu mencoba mendirikan sebuah brand fashion bersama Vina yang mengerti tentang bisnis.Brand fashion tersebut bernama Elvi merupakan singkatan dari nama Lily dan Vina. Hanya dalam waktu satu tahun setelah Elvi didirikan, Elvi dapat bersaing dengan fashion brand terkenal lainnya yang berada di Paris.Vina berjuang mati-matian saat mendirikan perusahaan bersama Lily. Tadinya orang-orang meremehkan karena produk awal yang Lily buat dinilai tidak mampu bersaing dengan produk brand-brand lainnya. Tapi Vina tidak menyerah, dia mengerahkan uang dan waktunya untuk promosi produk-produk Elvi agar terus laku di pasaran. Tak lupa dia dan Lily terus mengamati tren yang diinginkan di pasaran.Tepat dua bulan yang lalu, tiba-tiba produk Elvi meledak di pasaran dan nama mereka menjadi perbincangan banyak orang. Itu karena mereka telah berhasil membuat kerja sama dengan artis dunia ya
Untungnya, setelah mengatakan itu Finley langsung tak sadarkan diri. Jadi Lily tak harus bersusah payah menjawab ucapan Finley.Perasaannya pada Finley hanya sebatas kagum karena kebaikan yang dilakukan Finley untuknya begitu luar biasa.Lily hanya akan merasa canggung jika dia menolak perasaan Finley namun juga tidak mau menerima cintanya karena tidak ingin terikat dengan seorang pria, setidaknya untuk saat ini saja.Lily pun mencari ponselnya di dalam tas jinjing lalu menelepon Hana untuk menyuruh seseorang membopong Finley pulang.Beberapa saat kemudian.Hana datang dengan dua pria berseragam dan bertubuh tegap.Lily menduga, dua pria itu adalah seorang bodyguard jika dilihat dari jenis seragamnya."Maaf, karena telah merepotkan. Entah kenapa akhir-akhir ini Tuan Finley menjadi seorang pemabuk, aku bahkan tidak tahu kalau Tuan pergi ke apartemen Nona," ujar Hana merasa tidak enak.Tatapan Hana muram saat melihat Finley yang masih tergeletak di lant
Di kantor Max.Hubungan Olivia dengan Eddie sudah putus semenjak Olivia hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Eddie sama sekali tak memberitahu soal kehamilan Olivia pada Max karena dia takut kalau Max akan mengetahui hubungan gelapnya bersama Olivia nanti.Selama tiga tahun setelahnya Eddie sudah memiliki kekasih sedang Olivia masih terus menempel pada Max.Eddie tak mengerti mengapa Max yang nampak tidak lagi mencintai Olivia masih terus mempertahankan wanita itu di sisinya.Apapun itu, Max tetap tidak akan menceritakan soal urusan pribadi pada Eddie. Dia hanyalah sekretaris di kantor, urusannya sebatas pekerjaan saja.Saat Olivia terlihat membuka pintu dan hendak masuk ke ruangan Max, Eddie meliriknya dari balik kaca ruangan dengan tatapan muak. Dulu dia begitu cinta mati terhadap Olivia, kini saat melihatnya saja dia begitu muak. Eddie tetap tidak bisa melihat wanita yang dia sukai berhubungan badan dengan pria asing yang tidak dikenal, b
"Untuk apa kamu tiba-tiba kesini?" Suara Max mengejutkan Olivia yang kemudian segera menolehkan kepala."Max, kamu sudah datang." Suara Olivia terdengar lega, dia menarik napas lalu kembali berkata, "Kamu darimana saja? Aku sudah menunggumu di sini selama kurang lebih sepuluh menit."Ekspresi Max nampak datar. Namun sorot matanya sangat terlihat kalau Max tidak suka melihat Olivia berada di dalam ruangannya. "Dari makam, mengunjungi makam ayahku bersama ibu." Gegas Olivia mendekati Max dan menampilkan raut wajah kecewa. "Kenapa tidak mengajakku? Aku kan-""Itu sudah berlalu." Max langsung memotong ucapan Olivia lalu acuh tak acuh berjalan ke meja kerja.Olivia menatap Max dengan tatapan kecewa namun sedetik kemudian bisa mengendalikan dirinya. Dengan langkah yang anggun Olivia kembali mendekati Max. "CEO Ernes ingin aku ikut ke pagelaran fashion show yang diadakan di Bangkok. Bagaimana menurutmu?" tanya Olivia. Dia sudah berada di depan meja Max dengan tatapan antusias, meski Max ha
Lily menikmati perayaan yang dilakukan oleh karyawannya. Dia sibuk menyesap wine sambil tertawa lepas saat melihat tingkah lucu Vina yang setengah mabuk tengah menari aneh di antara kerumunan.Para karyawan pun terlihat senang dan menikmati hidangan yang disiapkan Vina.Saat masih fokus itu, Lily tak sadar Elliot sedari tadi mengamatinya dari kejauhan.Elliot masih belum bebas karena kanan dan kirinya dipenuhi oleh para karyawan wanita. Mereka tak kenal lelah menawari Elliot minuman atau makanan bahkan berani menyuapinya.Padahal kedatangannya ke sini hanyalah untuk mendekati Lily.Kalau bukan untuk menjaga perasaan Lily, Elliot pasti sudah mengusir mereka atau enggan untuk meneruskan ikut acara.Demi penyelamatnya, Elliot rela melakukan apapun untuknya. Semenjak Lily menyelamatkannya, entah kenapa keberuntungan selalu memihak padanya. Mulai dari segi karir, kesehatan bahkan hubungan keluarga yang membaik. Elliot dengan mudah mendapatkannya.Usianya baru menginjak dua puluh dua tahun
Bukannya menjawab, Lily malah memutar bola matanya dengan malas lalu berdiri untuk keluar. Elliot adalah tipe anak muda yang sering ceplas-ceplos. Lily malas untuk meladeninya."Hei, hei, kamu mau kemana?" Elliot terlihat panik lalu ikut berdiri dan menyusul Lily. "Kenapa diam saja? Apa kamu marah?" "Tidak. Untuk apa aku marah?" Raut wajah Lily nampak santai dan dia berjalan dengan cepat di sepanjang lorong."Terus kenapa malah lari?""Aku tidak lari. Ucapanmu tadi terdengar konyol bagiku, jadi aku malas untuk menjawab" jawab Lily jujur."Konyol bagaimana? Setidaknya jelaskan padaku." Elliot terlihat tidak puas, masih ingin menuntut. Namun Lily malah membalikkan badan yang seketika membuat Elliot terhenti."Tunggu aku masuk lebih dulu baru kamu menyusul. Aku tidak ingin ada gosip yang muncul kalau kita tiba-tiba masuk bersama." Elliot ingin protes namun Lily sudah masuk terlebih dahulu yang membuat Elliot mengerutkan bibirnya. Lily memang susah untuk didekati, tapi dia tidak akan me
Di bawah gelapnya langit malam, hamparan bintang-bintang dan juga bulan sabit yang benderang, Lily dan Max duduk di antara sekian banyaknya meja kursi yang ditata rapi di atas tanah perbukitan luas.Sengaja Max mengajaknya ke tempat yang terbuka karena ingin menikmati indahnya langit malam yang gelap dan romantis.Tadi Max datang tiba-tiba, tanpa memberitahu Lily terlebih dahulu karena ingin mengejutkan wanita itu. Memang dirinya sempat merasa tidak yakin saat memikirkan akan mendatangi rumah Kenneth dan meminta izin padanya.Namun rasa cinta yang sudah lama dia pendam tak bisa lagi dia tahan. Max harus segera memberitahu Lily bahwa di hatinya sudah lama terpatri nama wanita itu dan memiliki tempat tersendiri.Max sempat membeberkan sedikit cerita saat dia membujuk Kenneth agar bisa mengajak Lily keluar. Tak dia sangka kalau Lily bereaksi dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Apa aku telah berbuat salah? Kalau iya katakan saja," kata Max saat mereka masih berada di dalam mobil."Tida
Keesokannya saat malam datang, Lily menatap ke arah jam yang bertengger di dinding ruang tengah. Perasaannya penuh harap namun juga ada keresahan yang dirasakannya. Dia ingin Max datang namun juga ragu kalau Max berani meminta izin pada papanya."Kenapa kamu masih ada di sini?" Lily menoleh, mendapati Kenneth berdiri di belakangnya."Memang kita mau kemana?" tanya Lily.Kenneth diam sejenak."Bukannya kamu ada janji dengan Max?" tanyanya kemudian.Kedua mata Lily membulat. Dia mengedarkan pandangannya ke arah belakang Kenneth. "Dia sudah datang? Dimana dia?""Di teras depan," jawab Kenneth dengan enggan.Lily menatap sang Papa dengan mata berbinar. "Apa papa mengizinkan dia untuk mengajakku keluar?"Kenneth membuang pandangannya, tak suka melihat Lily yang begitu gembira karena Max. "Yah, apa boleh buat...""Apa boleh buat gimana maksudnya?" Lily menatap mata Kenneth dengan lekat, sengaja menggoda Papanya meski sebenarnya dia sendiri sudah tahu jawabannya apa.Kedua mata Kenneth mulai
"Cukup, Max. Kamu membuatku mual." Meski nada suara Lily terdengar ketus namun sebenarnya dia sangat salah tingkah.Memang, ucapan Max tidak terduga baginya. Jika Max mengucapkan gombalan itu sewaktu mereka masih menjadi suami istri, pasti Lily akan mengadakan syukuran selama tujuh hari karena perubahan Max yang sangat drastis.Max terkekeh pelan. "Maaf, soalnya kamu keterlaluan. Aku sudah menunda beberapa jadwal meeting di kantor karena ingin berduaan lagi denganmu."Wajah Lily langsung memerah. Dia berpikir, sepertinya dia butuh obat karena tiba-tiba suhu tubuhnya yang terasa hangat. Selain itu, sepertinya dia semakin gila karena mulai menyukai gombalan Max."Sepertinya kamu butuh obat, Max. Kamu mulai sinting," kata Lily tegas. "Ya. Dan aku yakin obatnya adalah kamu.""Max..." Lily memejamkan matanya sejenak untuk menstabilkan denyut jantung yang semakin berdegup kencang. Hembusan napas yang panjang keluar dari mulut Lily lalu dia melanjutkan ucapannya, "...kalau kau meneleponku h
"Mencoba gimana? Pernikahan bukan untuk dicoba-coba, Finley." sahut Vina kesal. "Bukannya aku udah pernah bilang?"Vina beranggapan, sepertinya pria itu hanya menaruh ucapan Vina di telinga kanan lalu dikeluarkan lewat telinga kirinya."Huh, untung dia tampan. Kalau tidak, sudah kuremas itu mukanya," batin Vina mencoba menahan diri."Sedari awal aku sudah mengajakmu serius, Vina. Tapi kamu yang selalu menolak." Tatapan Finley lurus ke arah Vina yang malah memundurkan wajahnya.Pipi Vina memerah karena tak sengaja menatap bola mata Finley yang begitu indah. Ditambah wajahnya yang mulus dengan garis rahangnya tegas dan aroma maskulin yang menguar, membuat degup jantung Vina berpacu lebih kencang.Finley terus mengamati Vina yang wajahnya lebih berwarna, tidak lagi begitu pucat."Ke-kenapa terus menatapku seperti itu?" tanya Vina, tiba-tiba saja merasa gugup. Dia bahkan sampai mengalihkan pandangannya ke arah lain, takut terpesona oleh ketampanan Finley yang memang dapat menghilangkan ak
Di sisi lain, di rumah Vina.Sudah lebih dari sepuluh menit Vina hanya mampu berbaring di atas ranjang, tangannya terus memegangi perutnya yang terasa sakit. Tadi sehabis sarapan, dia merasakan perutnya melilit dan mual-mual. Lalu beberapa menit setelahnya dia benar-benar muntah.Dia pikir, itu hanyalah gejala kehamilan yang sering dia rasakan seperti awal kehamilan bulan lalu. Namun semakin lama, rasa sakit malah semakin hebat. Keringat dingin juga mulai bermunculan.Rasanya Vina seperti tidak sanggup untuk sekedar beranjak dari kasurnya.Di rumah yang sebesar itu, Vina hanya sendirian. Kebetulan seluruh keluarga sedang menghadiri acara keluarga inti di puncak dan para asisten rumah tangga juga sedang libur.Tadi dia sempat menghubungi Lily untuk datang, namun belum sempat dia menerima jawaban, ponselnya mati kehabisan baterai.Tak ada cara lain, Vina memaksakan diri beranjak dari kasur untuk berjalan ke ruang dapur. Di sana ada kotak obat-obatan yang selalu disediakan asisten rumah
Atas instruksi sang sopir, Lily berhasil mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang paling dekat. Sang sopir langsung ditangani oleh dokter dan dijadwalkan operasi untuk mengambil sisa peluru yang masuk ke dalam kaki.Sesaat kemudian, Lily dijemput oleh Kenneth dan beberapa pengawal. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Kenneth sambil meneliti tubuh Lily dengan seksama. "Tidak ada yang terluka, Kan?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa, Pa. Hanya Pak sopir yang terluka di bagian kaki karena terkena tembakan."Helaan napas berat keluar dari mulut Kenneth. "Syukurlah. Dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik."Mendengar itu, Lily menatap Kenneth dengan air muka serius. "Pa, sebenarnya apa yang terjadi?""Masuk dulu ke dalam mobil. Akan Papa ceritakan semuanya di dalam nanti," jawab Kenneth.Mereka pun masuk ke dalam mobil. Saat beberapa meter mobil sudah berjalan, Lily mendesak Kenneth untuk berbicara."Begini, Lily. Sebenarnya dari dulu Papa sudah mengetahui ada sesuatu yang
Di tengah perjalanan pulang, Lily masih memikirkan soal ucapan Inda. Sengaja dia pulang tanpa berpamitan dengan Max karena ingin menghindar dulu. Untuk saat ini, Lily sendiri tidak tahu apakah bisa menahan diri jika bertemu dengan Max lagi. Pesona yang dipancarkannya sekarang sangat berbeda dengan dulu.Kalau dulu Max nampak dingin, tak tersentuh dan juga kaku. Kalau sekarang, Max terlihat lebih hangat dan juga terang-terangan terus menggoda Lily. Bagi Lily itu tentu saja bahaya. Mereka adalah pasangan mantan suami-istri, bukan suami-istri yang saling mencintai.Ponselnya yang sudah dia charge sebelumnya terus berdering. Lily melihat layar ponsel sejenak lalu mengabaikan dering tersebut.Panggilan telepon itu datang dari Max. Lily ingin menghindarinya sejenak sampai dia sudah siap.Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali berdenting singkat. Sebuah pesan dari Vina masuk.[Aku tahu kamu sibuk, tapi bisakah kamu datang ke rumah untuk menemaniku? Aku sangat sedang butuh seseorang seka
Lamunan Lily buyar saat Max menurunkan Lily di depan bath tub. Selimut langsung terlepas karena Lily tidak memeganginya. Otomatis, Lily memegangi tubuhnya dengan kedua tangan.Max kembali tertawa lalu meraih dagu Lily dengan lembut."Ngapain ditutupin? Aku udah melihat semuanya, Lily. Sekujur tubuhmu itu rasanya... sangat manis."Ucapan Max terdengar sangat lembut dan mesra. Apalagi sorot matanya yang nampak berkabut dan penuh gairah, membuat Lily membayangkan lagi adegan saat mereka bermesraan di atas ranjang. Seharusnya Lily segera menjauh karena tidak ingin terlena lagi oleh bualan manis dari mantan suaminya itu. Tapi apa daya, Lily ingin sekali lagi merasakan kehangatan yang ditawarkan oleh Max.Alhasil, saat bibir Max mendarat di bibirnya, Lily langsung membalas dan terjadi pergulatan lagi di dalam kamar mandi.Entah mereka melakukannya yang ke-berapa kali, yang jelas perlakuan Max membuat Lily menjadi candu.Inikah yang dinamakan gairah? Membuat candu dan begitu dahsyatnya hin
Pagi menjelang. Matahari masih nampak malu-malu untuk keluar, angin dingin berhembus kencang yang membuat Inda merapatkan jaketnya untuk menutupi tubuhnya yang menggigil kedinginan.Semalam hujan terus turun yang membuat jalanan masih basah, membuat Inda yang baru pulang dari kampung halaman berjalan perlahan memasuki rumah agar tidak terpeleset.Keningnya mengernyit saat melihat ada dua mobil yang terparkir rapi di depan rumah. Seingatnya, hanya Max yang seharusnya datang ke rumah untuk menemani Arsan. "Yang satu mobil milik Tuan Max dan yang satunya lagi milik siapa?" Inda bertanya dalam gumaman.Mengabaikan hal itu, Inda segera masuk agar mengetahui siapa yang datang ke rumah selain Max.Begitu masuk, Inda terkejut melihat ada seorang pria yang tertidur di atas sofa. Dari seragamnya, Inda yakin kalau dia hanyalah seorang sopir.Firasatnya menjadi tidak baik. Tempat pertama yang dia tuju adalah kamar Arsan. Inda selalu khawatir pada Arsan karena telah meninggalkannya selama sehari