Seperti biasa setiap jam makan siang, aku harus menyajikan makanan untuk Mas Arman, dan tempat yang ia pilih selalu di gazebo ini. Sudah hampir empat tahun waktu berlalu, selama itu pula aku selalu menemani ia setiap jam makan siang maupun makan malam.Menyiapkan dan melayaninya saat ia makan, terkadang aku berpikir, kenapa pria di hadapanku ini tidak menikah lagi saja. Agar ada yang meladeni dan melayaninya sebagai suami.Bukaannya hilir mudik dari kantor ke resto, toh ... Resto ini juga aku yang urus. Ia hanya sekedar memantau saja, apa harus di lakukan setiap hari seperti ini?"Sebenarnya ada masalah apa, Indah?" tanya Mas Arman. Aku menyodorkan piringnya yang sudah aku isi nasi dan lauk-pauk. Sepertinya lelaki ini masih belum puas jika tak mendapat jawaban dariku.Aku menautkan alis. "Maksud Mas, apa? Aku tidak mengerti." Pura-pura bodoh adalah senjata andalanku kini saat menghindari sesuatu. Mas Arman m
Sesampainya kami di rumah sakit aku langsung berlari ke arah resepsionis, menanyakan di mana putriku di rawat. Setelah mendapatkan informasi, aku dan Mas Arman langsung berjalan menuju ruangan tersebut. Dari kejauhan aku melihat ibuku berbicara dengan seorang Dokter."Ibu, bagaimana dengan Naira?" tanyaku, sambil mengatur deru napasku yang tersengal-sengal karena jalan terlalu cepat, bahkan hampir bisa dikatakan setengah berlari."Apa kalian berdua adalah orang tua, Naira?" ujar dokter padaku, membuat aku menoleh ke arahnya.Bukannya Ibu yang menjawab pertanyaanku, justru Dokter yang mengenakan name tag Ibrahim itu yang justru bertanya balik padaku."Betul dok, saya Bundanya Naira. Bagaimana keadaan putri saya Dok?" tanyaku.Dokter Ibrahim menatap aku dan Mas Arman secara bergantian. "Sebenarnya putri kalian tidak sakit, tapi batinnya yang sakit," jawab dokter itu ambigu. Membuatku bingung, apa maksud dari perkataannya. "Maksud dokter?" "Maaf, sebe
Aku keluar membiarkan Naira dan Mas Arman berdua di dalam. Melihat kondisi putriku yang berangsur membaik, membuat hatiku lega, aku memilih duduk di bangku panjang depan kamar inap Naira seorang diri, aku ingin menghirup udara sebentar sambil mengontrol gemuruh hati ini.Ada perasaan senang dan sedih yang bercampur menjadi satu, saat melihat Naira begitu dekat dengan Mas Arman.Di sini aku duduk sendiri, karena Ibu sudah pulang lebih dulu menggunakan taksi. Aku sempat menawarkan diri untuk mengantarkan, tapi, ibuku itu menolak. Ia bilang 'kasihan Naira, nanti gadis kecilku itu nyariin aku, jika ia melihat Mamanya tak ada'.Saat sedang duduk melamun seorang diri, aku melihat pintu kamar inap nomor dua di sebelah kananku terbuka. Degh.Aku langsung tersentak, dan berdiri saat melihat siapa yang keluar dari balik pintu itu."Retno?" ucapku tanpa sadar. Ingin rasanya aku memukul mulutku sendiri, yang tak sadar memanggil nama wanita itu. Walaupun pelan, tapi sepertinya telinga wanita it
Untuk sejenak Retno terdiam sambil memegang pipinya yang memerah, mungkin ia masih syok. Tapi setelah itu, dengan cepat tangannya berayun ke arah wajahku. Membalas apa yang aku lakukan adanya.Aku menangkap tangannya, dan meremasnya kuat. Membuat Retno meringis menahan sakit. Ia salah jika mengira aku hanya akan diam saja seperti dulu."Lepaskan tangan Istriku, wanita sialan!" hardik Dito. Pria itu marah dan mendekat, membantu istrinya.Aku menyeringai kecut, dengan amarah yang masih membuncah, Kulepas tangan Retno lalu mendorong tubuhnya dengan kasar ke arah suaminya. Aku menatap kedua pasangan serasi itu dengan nyalang."Berani sekali kamu, Indah! Kamu pikir, kamu siapa, hah?! Lancang sekali kamu menampar kami berdua!" teriak Retno tak terima. Tentu saja ia tak terima di tampar di depan orang banyak, secara tidak langsung aku telah menjatuhkan harga dirinya.Dengan santai aku menepuk-nepuk tanganku seolah baru saja habis memegang sesuatu yang kotor. Dari sudut mata kulihat Dito me
Pov. DitoSial! Benar-benar sial! Setelah sekian lama tak bertemu dengan mantan istriku itu, kini ia justru tampak lebih cantik dan modis. Membuat jantungku kembali berpacu. Awalnya aku ingin menyapa, tapi entah mengapa mulutku justru mengatakan hal-hal yang justru menghinanya. Indah Savitri—wanita yang aku talak empat tahun yang lalu, kini muncul bak bidadari. Kulit kuning langsat yang bersih dan terawat, wajah putih yang bersemu merah muda membuat ia tampak awet muda dan cantik jelita. Sangat berbeda sekali dengan dirinya dulu, saat masih bersamaku. Membuat debaran di hatiku yang dulu hilang kini timbul kembali, seperti saat masa-masa kami pacaran dulu.Panasnya tamparan di pipiku ternyata tidak sepanas hatiku saat melihat ia bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya. Tidak! Aku tak rela Indah yang cantik jatuh ke tangan pria itu. Apalagi sekarang aku sudah punya putra laki-laki dari Retno, jadi tak ada salahnya rujuk dengan mantan istri. Aku yakin dengan mendek
Aku kembali ke rumah sakit menemui Retno serta putraku Bagas yang masih dirawat. Isi kepalaku di penuhi dengan wajah cantik Indah dan bagaimana cara mendapatkannya kembali. Indah yang kini sedikit berbeda dari Indah yang aku kenal dulu. Selain lebih berkelas, sikapnya pun juga lebih berani padaku. Ceklekkk!Aku membuka pintu dan menghampiri Retno yang sedang menyuapi putra kecilku yang manja. Bagas baru berumur dua tahun, tapi tubuhnya yang besar tinggi membuatnya terlihat seperti bocah berumur empat tahun. Sebagai putraku satu-satunya, anak yang begitu aku dambakan. Aku dan Retno memang sangat manjakannya. Tak kubiarkan seujung ranting kecil menggores tubuhnya. Walau akibat dari semua itu, putraku menjadi sangat manja pada kami. Ia keras kepala dan tak pernah berhenti merengek jika keinginannya tak terpenuhi. Walau terkadang keinginannya cukup menguras kantongku yang kian hari kian menipis. "Bagaimana keadaan
Sejak kepulangan Naira dari rumah sakit, aku merasa was-was. Entah kenapa, aku merasa seperti ada seseorang yang membuntuti dan mengawasi gerak-gerik kami sejak kemarin."Indah, kamu ngapain ngintip di balik jendela?" ujar Ibu mengagetkanku. Sontak aku menoleh. "Astagfirullah! Ibu ngagetin Indah, saja." Aku memang sedang mengintip dari balik jendela kamarku yang dapat mengarah langsung ke jalanan. Menurutku ini tempat yang sangat strategis untuk memantau dari dalam rumah. Aku beranjak dari jendela, dan duduk di sebuah sofa panjang yang kuletak di dekat jendela itu."Entah kenapa, sejak Naira pulang dari rumah sakit, Indah merasa ada yang mengawasi gerak-gerik Indah, Bu,""Mengawasimu? Siapa?" tanya Ibu dengan dahi yang mengkerut. Aku mengangkat bahuku tanda tak tahu. "Sudahlah Indah, jangan kamu pikirkan lagi!Mungkin itu cuma perasaanmu saja," ujar Ibu menenangkan kegelisahan hatiku
Setelah membasuh wajahku, lalu aku membubuhkan make-up sedikit agar wajahku tak tampak terlalu sembab serta lusuh. Setelah dirasa wajahku pantas, aku keluar kamar dan menemui Mas Arman yang masih sedang bermain bersama putriku. Sebenarnya aku malas menemuinya dengan keadaanku yang seperti ini, hanya saja Ibu sedari tadi selalu memaksa. "Pergilah Indah, temui Nak Arman sebentar! Tidak enak sama dia, jika kamu tidak menemuinya. Nak Arman sudah baik banget dan keluarganya juga sudah banyak membantu kita!" nasehat Ibu tadi padaku. Membuatku tak enak hati jadinya. Kuakui jika bukan berkat kebaikan Bu Narmi, mana mungkin hidupku jadi sebaik ini.Hingga akhirnya terpaksa aku menuruti keinginan Ibu, aku juga heran semenjak Naira mengakui dirinya sebagai Ayah. Mas Arman jadi sering datang ke rumah ini untuk menemui Naira. Padahal selama ini kami hanya bertemu di resto saja.Aku mengurut pelipisku, kepalaku langsung terasa nyut-nyutan sekarang. Karena melihat banya