Sudah hampir tiga jam aku berkeliling mencari sebuah alamat yang dengan susah payah aku dapatkan. Kepala ini sudah mulai nyut-nyutan merasakan panasnya terik matahari yang begitu membara di atas kepala. "Apa ini tempatnya?" tanyaku pada diri sendiri seakan tak percaya. Sambil menepikan mobilku. Aku mengedarkan pandangan mataku, menelisik satu-persatu rumah yang ada di lingkungan ini. Begitu kumuh dan sempit dan bau.Aku heran kenapa ada orang yang tahan tinggal di lingkungan yang lebih cocok disebut kandang hewan ketimbang rumah. Kulit halusku terasa gatal. Tanganku pun tak henti-hentinya mengibas-ngibas di depan muka untuk menghalau bau tak sedap yang masuk ke dalam penciumanku. Celakanya aku tak membawa tissue atau sapu tangan saat tiba di tempat ini tadi. Setelah bertanya pada bapak-bapak di ujung gang aku akhirnya tiba di depan sebuah kontrakan yang sangat kecil. Mobil aku tinggal di ujung gang sana. Karena gang ini begitu sempit. Bahkan satu mobil satu tidak dapat melewatinya.
Pov. Indah"Mas, hari ini habis dari resto, aku mau mampir dulu ke butik, ya? Aku mau memesan beberapa gaun untuk Naira. Karena sebentar lagi kan, ia ulang tahun," ucapku manis. Tanganku sibuk menari di atas jas Mas Arman, menyimpul dasi di lehernya agar menjadi rapi. Sejak menikah, pria tampan di hadapanku ini seolah kehilangan kemampuannya dalam memasang benda satu ini."Terserah kamu, sayang. Yang penting, nanti siang kamu harus ada di resto, kita makan bareng,""Aku kan perginya sore, Mas. Oh ... ya, kamu mau dimasakkan apa nanti siang?" Setelah memasang dasi Mas Arman dengan rapi, aku beranjak. Mengambil tasku yang ada di atas nakas."Mas mau cah kangkung, sama cumi saos tiram, dan gurame bakar!" jawabnya cepat. Aku tersenyum."Siap bos!" Aku menaikkan satu tanganku ke atas pelipis, bergaya seolah memberi hormat pada komandan militer. Mas Arman terkekeh dan merangkul tanganku, mengajakku keluar. Hari ini kami berangkat kerja tidak menggunakan satu mobil seperti biasa. Karena aku
"Tidak ada! Tidak ada yang aku rencanakan. Aku hanya ingin menebus kesalahanku di masa lalu, itu saja. Aku ingin dekat dengan putriku, walau bagaimanapun aku tetap ayah kandungnya. Walinya yang sah secara hukum dan agama!" jawab Mas Dito tegas.Aku tersentak, Mas Arman pun terdiam, tapi aku melihat kabut kesedihan di matanya. Mungkin perkataan Mas Dito tadi telah menyinggung hati kecilnya. Sebesar apapun cinta yang ia miliki untuk Naira, tidak akan bisa menggantikan posisi Mas Dito selaku ayah kandungnya.Aku semakin bingung harus menanggapi seperti apa, satu sisi suamiku yang tampak tidak suka. Tapi di sisi lain, ada Mas Dito yang ingin menemui putrinya. Apa aku berdosa jika memisahkan seorang ayah kandung dengan anaknya? Walau bagaimanapun, Naira adalah perempuan, Mas Dito adalah walinya yang sah. Nasab itu tak dapat aku pungkiri. Walaupun aku menolak keinginan Mas Dito untuk ia bertemu putrinya, bagaimana suatu saat ia membalasku? Saat
Setelah pertengkaran yang terjadi, aku memutuskan ke rumah Mama. Aku butuh tempat untuk menyendiri. Melepaskan beban yang ada di hati ini. Berada di rumah Mama adalah hal yang paling baik. Aku bukanlah tipe pria yang melampiaskan masalah dengan minum-minuman keras, atau pergi kesebuah tempat yang di penuhi wanita murahan.Mungkin dengan tidur dan sholat dapat membuat hati dan otakku tenang."Loh, Arman. Kapan kamu datang, Nak? Indah Mana?" tanya Mama. Mungkin ia heran, selama aku menikah, aku selalu datang kerumah ini bersama menantu dan cucunya itu. Tapi hari ini berbeda, aku hanya datang sendiri."Indah masih di resto, Ma. Kebetulan Resto sedang ramai," jawabku bohong. Tak apalah ... aku bohong kali ini pada Mama. Lagi pula, tak mungkin aku umbar masalah rumah tanggaku. Walau itu terhadap orang tuaku sendiri."Benarkah? Apa kamu ada masalah dengan Istrimu, Nak?" tanya Mama tepat sasaran. Mem
Setelah mengantar makan siang ke kantor Mas Arman. Aku mengendarai mobilku, langsung pulang ke rumah. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, badanku pun terasa letih. Mungkin karena kurang tidur serta banyak pikiran selama beberapa hari kami bertengkar. Jujur aku sedikit terbebani dengan sikap suamiku yang sedikit cuek padaku akhir-akhir ini. Aku tahu itu bentuk amarah Mas Arman terhadapku dan aku pun mengakui kesalahan itu. Sebagai seorang istri tak seharusnya aku mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan dirinya walaupun itu menyangkut Naira. Mas Arman memang Ayah sambung Naira tetapi kasih sayang yang ia berikan pada putriku itu jauh lebih besar dibandingkan rasa sayang Mas Dito. Lampu merah yang menyala di depanku membuatku kesal. Bahkan dinginnya AC mobil tidak bisa mereda panasnya cuaca hari ini. Udara hari ini yang begitu panas, membuat kepala ini semakin senut-senut.Sambil menunggu lampu merah menyala, aku mengedarkan
Sudah seharian aku di rumah, membuat tubuhku terasa sedikit membaik. Apa lagi aku mengonsumsi pil penambah darah dan vitamin. Hanya saja setelah tubuhku mendingan, kini berganti dengan rasa malas yang mendera. Entahlah, seharian ini aku hanya bermalas-malasan saja di rumah sambil menemani Naira."Assalamualaikum," ucap Mas Arman. Saking malasnya, aku sampai tidak menyadari suamiku yang pulang dan sudah berdiri sebelahku."Waalaikum salam," jawabku. Aku menarik tubuh ini untuk duduk, meraih tangan suamiku untuk menciumnya. "Tumben sudah sore begini, masih malas-malasan di depan tv?" tanya Mas Arman. Tentu saja ia heran, karena aku adalah tipe orang yang anti bermalas-malasan apa lagi sampai seharian. Jika tidak berkutat di dapur resto, pasti aku berkutat di dapur rumah. Bereksperimen dengan aneka bahan makanan yang tersedia. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan, atau mungkin penyebab tubuh suamiku yang sispack jadi
Sepulang dari kebun binatang aku meminta Mas Arman untuk langsung pulang ke rumah. Aku sudah tak tahan lagi, ingin pulang. Aku juga sudah menelpon Bik Ijah untuk segera masak, agar kami makan siang di rumah saja. Jarak kebun binatang ke rumah yang hanya menempuh waktu setengah jam, aku rasa cukup untuk Bik Ijah untuk menyiapkan menu masakan kesukaan Mas Arman dan Naila. Apa lagi, ada dua orang pelayan yang lain, yang dapat ia mintain bantuan.Untung saja gadis kecilku itu mengerti, jadi ia tidak merengek minta makan ayam tepung di tempat makan kesukaannya itu, KF*C."Sayang, hey ... ayo bangun! Kita sudah sampai rumah," ujar mas Arman. Ia mengusap-usap pipiku lembut. Hingga aku membuka mataku yang masih terasa lengket. Saking kantuknya membuatku tak sadar, jika aku sampai ketiduran selama perjalanan pulang."Sepertinya kamu kecapean banget ya, sayang? Sampai-sampai kamu bisa tidur nyenyak di dalam mobil," ujar Mas Arman lagi.
Semenjak tahu aku hamil, suamiku ini semakin hari semakin membuatku jatuh cinta. Gimana gak jatuh cinta, jika aku selalu dimanja. Membuatku merasa bagaikan seorang ratu di dunia nyata. Betul kata pepatah, wanita akan menjadi ratu jika bertemu pasangan yang tepat.Aku jadi teringat saat masa-masa aku mengandung Naira dulu. Jangankan perlakuan manis atau dimanja bagaikan ratu, malah umpatan dan perlakuan kasar yang aku terima. Hati ini jadi terasa sesak jika mengenang itu semua."Bunda, kok melamun?" ucapan Mas Arman menyadarkan aku. Kami sedang berada di perjalanan menuju rumah Mama, aku tersenyum menatap wajah suamiku yang sedang menyetir mobil. Kulirik putriku yang berada di kursi belakang, Naira tampak sedang asik memainkan boneka yang baru saja dibelikan ayahnya. Sempat terbesit di dalam pikiran ini. Jika anak yang ada dalam kandungan ini lahir, akankah Mas Arman tetap menyayangi Naira seperti ini, atau rasa sayangnya