MasukKabut hijau itu bergulung seperti makhluk hidup ketika Qing Jian melangkah mendekatinya. Baunya sangat menusuk hidung—tajam, masam, dan hangus—seakan campuran jamur busuk dan logam panas. Tanah di bawah sepatunya sudah tidak terlihat, tertelan lapisan asap tebal yang merayap rendah.
Qing Jian mengatur napas, lalu mendorong Qi naga di tubuhnya. Energi kuning keemasan berdenyut, mengalir seperti gelombang panas dari pusat dadanya hingga ke seluruh kulit. Dalam sekejap, lapisan tipis pelindung terbentuk mengitari tubuhnya.
Begitu kabut racun menyentuh kulitnya—
HSSSS—
Qing Jian mengangkat alis, sedikit terkejut pada efektivitasnya.
Ia melangkah masuk lebih jauh dengan percaya diri. Setiap langkah membawa perubahan suasana—rumput yang mulanya hijau berubah menjadi ungu gelap, lalu hitam pekat. Udara menjadi lebih dingin, seperti masuk ke rongga mulut monster yang siap menelan apa pun. Angin berdesir, membawa bisikan samar yang terdengar seperti rintihan manusia… atau mungkin hanya imajinasinya.
Tiba-tiba—
SRETT!!!
Sebuah bayangan merah melintas dengan kecepatan luar biasa, memotong kabut seperti pisau.
Qing Jian menghentikan langkah. Tubuhnya otomatis menegang, napas diperlambat, tangan kanan bersiap menarik pedang yang tersembunyi.
Kabut di depannya bergeser.
Dari balik kehijauan pekat itu, seorang wanita muncul perlahan. Langkahnya begitu ringan seolah ia mengapung. Rambutnya—panjang, gelombang, dan berwarna hijau zamrud—melayang lembut mengikuti gerakan tubuhnya.
Jubah merahnya berkibar seperti kobaran api sayap feniks, memantulkan kilap halus dari embun racun yang menempel pada kainnya. Di tangan kanannya, sebuah cambuk tipis melingkar seperti ular hidup. Ujung cambuk itu meneteskan cairan hijau menyala, menetes ke tanah dan menghasilkan suara cesss kecil, menggerogoti tanah seperti asam murni.
Wajah wanita itu sangat cantik dan eksotik.
Kecantikan yang mematikan bila disentuh.
Kulitnya pucat sempurna, seperti porselen dingin tanpa retakan. Tubuhnya mempesona dengan lekuk-lekuk tubuh yang terlihat jelas. Mata hijaunya menatap lurus ke arah Qing Jian—dingin, jernih, tanpa seberkas emosi. Seolah ia sedang menatap makhluk yang sudah mati.
Qing Jian tahu tanpa keraguan.
Inilah dia yang ia cari...
Wanita Racun.
Yi Xue.Yi Xue tidak langsung berbicara. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, meneliti Qing Jian dari atas ke bawah seakan menilai kualitas sebuah barang.
“Siapa kau?”
Qing Jian menunduk sedikit, sopan tapi tidak tunduk.
Yi Xue tersenyum. Senyum tipis—indah dan tajam. Senyum yang lebih berbahaya dari cambuk di tangannya.
“Pembohong.”
Cambuknya bergetar sekali.
BRAKK—!
Tanah tepat di samping kaki Qing Jian langsung meleleh seperti lilin tersiram api. Bau daging terbakar memenuhi udara.
Yi Xue mencondongkan tubuh sedikit.
Qing Jian tetap tidak bergerak. Tidak ada getaran ketakutan di wajahnya.
“Kalau begitu,” ujarnya sambil mengangkat kepala, menatapnya langsung, “biarkan aku menunjukkan alasan ketiga.”
Yi Xue memicingkan mata. Hawa membunuh beliau meningkat, seperti tekanan air yang siap meledak.
“Alasan… yang tidak pernah ada sebelumnya?” tanyanya pelan tapi penasaran.
Qing Jian menegakkan tubuhnya. Aura Qi-nya melesat, tajam seperti bilah pedang yang baru ditempa.
“Aku datang…”
“…untuk menaklukkanmu.”
Kabut racun seperti bergejolak, berputar mengikuti aura mereka berdua. Udara menegang dengan cepatnya.
Yi Xue menatapnya tanpa berkedip selama tiga hitungan panjang. Lalu—senyum itu muncul lagi, kali ini lebih lebar.
“Menarik,” bisiknya.
Hanya dalam sekejap—
SWISSSSH!!
Cambuk racunnya melesat seperti kilat, membelah kabut dan udara dalam satu gerakan. Ujungnya meninggalkan garis hijau mematikan yang berpendar seperti racun hidup, mengarah langsung ke leher Qing Jian dengan niat membunuh tanpa ampun.
Selamat datang di karya baru Author ini. "Legenda Dewa Pedang" yang bersetting pada zaman Kerajaan Song Selatan. Semoga suka dengan Fantasi Timur ini. Bab Utama : 1/6. Bab pertama hari ini...
Aula utama Huashan perlahan tenggelam ke dalam diam.Debu runtuhan turun seperti salju kelabu. Bau logam darah bercampur dengan aroma batu pecah dan arang kayu obor yang hampir padam. Nafas para pendekar terdengar berat — tidak lagi seperti prajurit yang berdiri tegak, tetapi manusia yang baru saja menyaksikan kekuatan yang melampaui batas pemahaman mereka.Di tengah lantai yang retak,Hao Shintong masih berlutut.Bahunya gemetar pelan. Kepala tertunduk, bukan sebagai ketua sekte yang kokoh seperti tebing Huashan… melainkan sebagai seseorang yang akhirnya dipaksa menatap batas kemampuannya sendiri.Pedangnya tergeletak beberapa langkah dari tangannya.Tak ada lagi aura keagungan.Hanya kelelahan… dan pengakuan.Qing Jian berdiri tidak jauh darinya.Dua pedang di tangannya kini diam — Pedang Dewa Ilahi tenang seperti permukaan danau beku, sementara Pedang Giok Hitam berdenyut halus, mengeluarkan hawa dingin gelap yang terasa hidup. Bilahnya bergetar pelan… seolah menyerap sisa-sisa ener
Tanpa menunggu lagi puluhan murid Huashan-Pay melompat maju. Kaki-kaki menghentak lantai. Bilah pedang terangkat serempak, menyilaukan seperti kilatan embun di puncak gunung saat matahari pertama terbit.Formasi terbentuk.Getaran energi menyapu udara.Formasi yang menjadi kebanggaan sekte selama ratusan tahun.Formasi Seribu Daun Pedang Huashan.Suara logam saling beradu — cepat, bertubi-tubi, presisi. Tebasan datang dari segala arah seperti badai dedaunan tajam yang berputar di tengah angin liar.Bilah-bilah itu turun dari atas, menusuk dari samping, menyilang dari belakang.Ruang bergerak — namun Qing Jian… justru terlihat semakin diam.Langkahnya ringan, tenang, hampir seolah tak menyentuh lantai. Nafasnya mengalir pendek dan teratur. Kelopak matanya menutup setengah — ia bukan bertahan, ia menghilang.Satu tarikan angin panas berdesir.Energi merah tua melesat.Tubuhnya lenyap dari pandangan.“Phantom Ghost Blood Strike!”Tersisa hanyalah bayangan samar — garis merah tipis yang me
Suasana Aula Huashan menegang hingga terasa menusuk kulit.Asap tipis masih merayap di udara, menyisakan bau hangus dari reruntuhan pilar dan lantai batu yang retak. Bara api kecil berkeredap di sudut-sudut aula, namun hawa yang menyelimuti ruangan justru lebih dingin dari hembusan angin gunung yang masuk lewat atap yang runtuh.Ketegangan baru…lebih tajam dari tebasan pedang mana pun.Hao Bailong berdiri tegap meski tubuhnya penuh luka. Nafasnya masih berat akibat pertarungan sebelumnya, namun matanya memancarkan ketegasan yang keras — tatapan seorang pendekar tua yang tidak akan membiarkan harga dirinya diinjak.Di hadapannya, Hao Shintong — Ketua Huashan-Pay — berdiri dengan wajah dingin, dagu terangkat sedikit. Seolah kehancuran aula dan luka murid-muridnya bukan apa-apa dibandingkan satu hal...Pedang Giok Hitam.Namun ia bahkan tidak menoleh ke arah Hao Bailong.Seolah mantan ketua itu…bukan siapa-siapa lagi.Suara Hao Bailong pecah memecah hening.“Sejak kapan Pedang Giok Hitam
Debu masih menari liar di udara ketika retakan raksasa di lantai akhirnya berhenti menjalar. Aula Huashan—yang dulu megah—kini setengah runtuh, dipenuhi aroma batu terbakar, logam panas, dan darah energi yang pahit menusuk hidung. Dari celah atap yang pecah, angin malam menyusup masuk, membawa hawa dingin yang berdesis pelan, seolah berani menantang sisa panas pertarungan.Qing Jian berdiri di tengah kehancuran itu. Dadanya naik turun keras, setiap tarikan napas terasa seperti menyedot bara api. Namun matanya—tajam, jernih—belum kehilangan cahaya sedikit pun.Di hadapannya, pria tua pemegang Pedang Giok Hitam masih berdiri.Lututnya bergetar samar. Otot-ototnya menegang menahan tubuh yang hampir menyerah. Namun tatapan di balik keriput itu tetap kokoh, seperti gunung yang retak tapi belum runtuh.Aura mereka saling menekan.Pedang di tangan masing-masing berderit pelan—suara logam yang seolah ikut menahan napas, menunggu siapa yang akan bergerak lebih dulu.Qing Jian mengepalkan jariny
Pedang Giok Hitam bergetar liar di tangan pria tua itu—bukan karena tekanan, melainkan kegirangan yang telah lama terkubur.“Aku hampir lupa…” suaranya bergetar rendah, sarat gairah pertempuran, “…rasanya dilawan seperti ini.”Ia sama sekali tidak menyangka kalau Qing Jian akan sekuat ini. Tadinya ia hanya penasaran dan ingin menguji kehebatan Dewa Pedang ini, tapi sekarang pendekar pedang yang hampir diremehkannya ini malahan menjadi lawan tangguh baginya. Aura hitamnya meledak keluar...Bukan menyebar—melainkan menelan.“Jurus Kedua—Giok Hitam Menelan Cahaya!”Sekejap saja, cahaya di Aula Huashan teredam paksa. Api obor meredup, pantul giok di dinding mati, bahkan kilau energi pedang ikut menghilang. Bayangan mengental, menekan dari segala arah, seperti dinding tak kasatmata yang perlahan menyempit.Qing Jian menarik napas—lalu napas itu terasa dingin.Bukan dingin es. Bukan dingin udara.Melainkan dingin kematian—menusuk tulang, merayap ke sumsum, mencoba membekukan kehendak.Ia m
Aula Huashan berguncang keras.Lantai batu tua berderak, lalu retakannya menjalar cepat seperti urat hitam yang dipaksa muncul dari dalam bumi. Udara menegang—padat, berat, bergetar—tercekik oleh dua niat pedang yang saling mengunci tanpa memberi ruang untuk bernapas. Debu bahkan belum sempat jatuh ke lantai sebelum tersapu habis oleh gelombang energi tak kasatmata yang berputar liar di tengah aula.Ini bukan sekadar duel. Ini adalah adu kehendak dua cultivator pedang sejati.Pria tua pemilik Pedang Giok Hitam berdiri tenang di tengah pusaran itu. Rambut putihnya berkibar pelan, matanya menyipit penuh minat. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat.“Pedangmu…” katanya rendah, suaranya tenggelam di antara desingan niat pedang. “…tidak biasa.”Qing Jian tidak menjawab.Napasnya tertahan setengah denyut jantung.Lalu—ia menghilang.WUUUUSH—!!Udara di tempat Qing Jian berdiri meledak kosong, seakan tubuhnya tercabut dari ruang itu sendiri. Tidak ada bay







