MasukAngin pagi melintas seperti hembusan napas terakhir dari rumah besar keluarga Shu. Udara itu membawa bau lembab yang menusuk hidung, bercampur abu tipis yang beterbangan dari bangunan yang pernah berdiri megah—kini tinggal kerangka hitam yang mencakar langit kelabu. Di pasir puing dan kayu yang terbelah, seorang pemuda bertopeng berdiri tegak. Ia tidak menoleh sedikit pun. Tidak ada alasan untuk melihat ke belakang; masa lalunya sudah terkubur bersama genangan darah yang membeku tiga hari lalu.
Nama Shu Jin telah mati untuk saat ini.
Kaisar Pedang sudah memerintahkannya... jika ingin hidup, ia harus terlahir kembali sebagai seseorang yang bukan dirinya sampai ia berhasil menguasai ilmu pedang terhebat sepanjang masa.
Pemuda itu—belum lagi terbiasa dengan wajah barunya—menunduk pada kilauan samar dari pecahan pedang tua yang tergeletak. Permukaan logam yang retak memantulkan sosok asing... topeng artefak membentuk rahang lebih tegas, garis wajah lebih keras, dan mata yang memantulkan dingin besi. Bibir tipis itu tampak seperti tidak pernah mengenal senyum atau kelembutan.
“Mulai sekarang…” bisiknya. Suaranya sendiri terdengar asing—lebih rendah, serak, seolah keluar dari tenggorokan seseorang yang kembali dari kematian.
“Aku adalah… Qing Jian.”
Nama itu lahir begitu saja, seperti pedang yang ditarik perlahan dari sarungnya—bersih, tajam, tidak meninggalkan jejak. Nama yang mudah dilupakan oleh dunia… dan itulah yang ia perlukan untuk saat ini sebelum ia kembali ke nama aslinya nanti.
Tanpa ragu, ia bergerak cepat. Jemarinya yang bergetar halus mengumpulkan serpihan pakaian yang masih layak pakai, mengikat rambutnya ke belakang dengan simpul kencang, menghapus setiap ciri yang bisa menyinggung asal-usul keluarga Shu. Pedang Dewa Ilahi ia sembunyikan dalam ruang dimensi kecil—hadiah dari Kaisar Pedang Abadi. Pedang itu seperti denyut jantung kedua; terasa berat, namun juga meyakinkan bahwa ia belum kehilangan segalanya.
Dengan langkah tenang namun mantap, pemuda bertopeng itu meninggalkan reruntuhan yang pernah ia sebut rumah. Tempat yang dulu dipenuhi tawa ayahnya, aroma obat ibunya, dan suara langkah adik-adik yang berebut latihan pedang. Kini semuanya hanya tersisa dalam bentuk abu dan memori yang pahit—direnggut oleh tangan tunangannya sendiri, Wu Chao-Xing, bersama Pangeran Ketiga Zhao Shin.
*****
Lin’an masih terbungkus kabut tipis saat Qing Jian memasuki jalan utama. Kabut itu memeluk atap-atap rumah seperti tirai sutra pucat. Meski hari baru dimulai, kota sudah bergerak: pintu-pintu toko dibuka, kain digulung ke samping, dan teriakan para pedagang mulai mendominasi udara.
“Sayur segar! Baru dipetik dari ladang!”
“Kain sutra Lin’an! Kualitas terbaik!”Aroma roti panggang bercampur bau ikan asin, suara roda gerobak berderit, dan langkah ratusan kaki manusia membentuk hiruk-pikuk kehidupan.
Namun bagi Qing Jian, semua warna itu telah memudar.
Setiap senyum yang ia lihat hanyalah bayangan kesedihan yang tidak lagi menyentuh hatinya. Setiap tawa seperti gema jauh dari dunia yang sudah tidak ia miliki. Kehidupan manusia biasa terasa terlalu rapuh, terlalu jauh. Di dadanya, panas dendam masih membara tapi ia harus menekan dendam ini terlebih dahulu jika tidak ingin mati dengan sia-sia.
Ia meraba peta usang yang ia temukan di perpustakaan keluarga Shu: tanda tinta hitam memanjang ke arah Pegunungan Yunhua. Di balik deretan tebing itu terdapat Sekte Racun Hitam—tersembunyi di balik rawa beracun, kabut hijau mematikan, dan cerita-cerita kelam yang membuat para cultivator biasa mengurungkan langkah.
Satu nama yang ia cari tercetak di sudut peta, ditulis dengan huruf kecil namun tajam:
Ang Tok Mo Kui – Yi Xue.
Penerus racun generasi ketiga. Wanita yang bisa membunuh cultivator tingkat tinggi hanya dengan satu ciuman. Satu hal yang paling menyulitkannya—Yi Xue dikenal sangat membenci laki-laki.Tantangan yang tepat untuk seseorang seperti dirinya… seseorang yang sudah “mati” dan terlahir sebagai sosok baru.
Qing Jian mempercepat langkah. Tubuhnya meledak dalam loncatan ringan, meninggalkan batas kota dengan kecepatan yang tak mungkin ditangkap mata manusia biasa. Meski qi di tubuhnya belum pulih sepenuhnya pasca tragedi tiga hari lalu, darah naga purba yang mengalir membuat stamina dan kekuatannya kembali jauh lebih cepat daripada manusia normal.
Hutan-hutan panjang ia lintasi seperti bayangan yang menggeser di antara pepohonan. Batu-batu besar yang menghalangi jalan ia lewati dengan sentuhan ringan pada ujung kaki. Udara malam menggigit kulit, namun dingin itu justru membuat pikirannya semakin tajam.
Jalan berbatu yang berliku, akar-akar pepohonan yang menjulur seperti tangan-tangan tua, hingga tebing curam yang tampak mustahil dilalui manusia biasa—semuanya ia tinggalkan hanya dalam satu malam perjalanan.
Di ujung malam itu, saat kabut hijau mulai terlihat di cakrawala…
Qing Jian tahu...
Perjalanannya menuju Sekte Racun Hitam baru saja dimulai.*****
Ketika matahari terbit di ufuk timur, Qing Jian sudah berdiri di hadapan pegunungan yang tampak seperti ular raksasa yang melingkar ke langit.
Kabut hijau menggantung rendah, berputar seperti asap dari kuali racun.
Aroma getir menusuk hidungnya.
Tanah terasa lembab, seperti baru saja diguyur hujan racun. Burung-burung menghindari kawasan itu sehingga suasana sangat sunyi mencekam.Di kaki gunung, terdapat tugu batu kecil bertuliskan...
[DILARANG MASUK – RACUN YUNHUA]
Tulisan itu tampak baru—dan di bawahnya terlihat beberapa tulang manusia yang menghitam karena korosi.
“Ini benar-benar wilayah racun tingkat tinggi,” gumam Qing Jian. “Kalau aku manusia biasa… aku sudah mati sebelum masuk sepuluh langkah, tapi apa tidak berbahaya jika aku masuk semakin dalam ke dalam pegunungan ini?”
Angin pagi melintas seperti hembusan napas terakhir dari rumah besar keluarga Shu. Udara itu membawa bau lembab yang menusuk hidung, bercampur abu tipis yang beterbangan dari bangunan yang pernah berdiri megah—kini tinggal kerangka hitam yang mencakar langit kelabu. Di pasir puing dan kayu yang terbelah, seorang pemuda bertopeng berdiri tegak. Ia tidak menoleh sedikit pun. Tidak ada alasan untuk melihat ke belakang; masa lalunya sudah terkubur bersama genangan darah yang membeku tiga hari lalu.Nama Shu Jin telah mati untuk saat ini.Kaisar Pedang sudah memerintahkannya... jika ingin hidup, ia harus terlahir kembali sebagai seseorang yang bukan dirinya sampai ia berhasil menguasai ilmu pedang terhebat sepanjang masa.Pemuda itu—belum lagi terbiasa dengan wajah barunya—menunduk pada kilauan samar dari pecahan pedang tua yang tergeletak. Permukaan logam yang retak memantulkan sosok asing... topeng artefak membentuk rahang lebih tegas, garis wajah lebih keras, dan mata yang memantulkan d
“Locianpwe… aku berhasil!” Suara Shu Jin menggema di antara tugu-tugu batu raksasa itu. Napasnya masih terengah, namun sorot matanya memancarkan cahaya baru—cahaya seseorang yang baru saja kembali dari kematian.Tugu nisan Kaisar Pedang Abadi yang menjulang tinggi memancarkan kilatan cahaya api. Dari dalamnya, suara yang dalam dan menggetarkan kembali terdengar.“HA-HA-HA! Aku tidak salah menilaimu, anak muda!” Suara Luo Fei terdengar bukan sekadar puas, tapi bangga—sebuah kebanggaan yang jarang dimiliki seorang kaisar pedang abadi. “Kau benar-benar jenius pedang yang hanya muncul sekali dalam ribuan tahun. Sebagai hadiah… Pedang Dewa Ilahi itu akan menjadi pedangmu mulai sekarang!”Cahaya kehijauan dari pedang di tangan Shu Jin berdenyut, seakan menyambut pemiliknya yang baru.“Kau bisa memanggil pedang itu kapan saja,” lanjut Luo Fei. “Ketika pedang itu kau arahkan ke langit… kau bisa kembali ke Makam Dewa Pedang dan meneruskan pelajaranmu. Aku akan menurunkan Jurus Pedang Naga S
“Bangun!”Suara itu menggelegar seperti guntur yang meledak tepat di samping telinga Shu Jin. Suara Kaisar Pedang Abadi… suara yang sejak tiga hari terakhir tak kunjung memberi tanda kehidupan.Tiga hari.Shu Jin bahkan tidak tahu bagaimana ia mampu bertahan selama itu—bersujud di tanah lembab, dingin menusuk tulang, perut melilit kosong. Bibirnya pecah, kulitnya kering, tetapi ia tidak bergerak sedikit pun dari posisinya.Maka ketika suara itu datang, meski lemah dan nyaris kehabisan tenaga, ia berhasil menegakkan tubuhnya.“Terima kasih… Locianpwe,” ucapnya dengan suara serak, namun mata yang redup itu bersinar penuh tekad.Dari dalam tugu nisan raksasa itu, suara Kaisar Pedang Abadi terdengar lebih jernih, lebih hidup—seakan ia akhirnya mengakui keteguhan hati Shu Jin.“Keluarga Shu,” ujar Luo Fei pelan namun menggetarkan, “telah melahirkan banyak Dewa Pedang terhebat. Untuk menghormati garis keturunan itu… aku akan memberimu satu kesempatan.”Kata-kata itu membuat jantung Shu Jin
PLAAAK!Suara tamparan itu menghantam udara dengan keras, memantul di antara pilar-pilar paviliun yang berlumuran darah. Tepukan telapak tangan Wu Chao-Xing begitu kuat hingga kepala Shu Jin terpelanting ke samping. Debu dan serpihan tanah beterbangan dari pipinya ketika wajahnya menghantam tanah.Sayup-sayup pandangannya terbuka. Suara-suaranya kembali, namun tidak membawa kelegaan—hanya kengerian yang membakar dadanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah genangan darah pekat milik keluarganya yang mulai mengering di tanah. Bau amis yang menyengat masuk ke hidungnya, membuat perutnya teraduk-aduk.Kesadaran yang baru kembali seketika menusuk jantungnya seperti pedang.Wu Chao-Xing menyeringai tepat di depannya, rambut hitamnya berkilau tertiup angin. Mata wanita itu berkilat puas.“Sekarang kau lihat, Shu Jin…” katanya sambil tertawa terbahak-bahak, suaranya memantul seperti gema iblis. “Keluarga kebanggaanmu… sudah musnah!”Tawa itu mengiris telinga Shu Jin, merontokkan sisa-
Shu Jin seketika duduk tegak, rasa lelah dan sakitnya seolah lenyap ditelan gelombang kecemasan. “Apa yang sedang terjadi? Katakan!”“Nona Wu… dia... datang menemui Tuan Besar. Dia datang bersama begitu banyak Tetua Keluarga Wu yang berilmu tinggi! Sepertinya Tuan Besar marah besar dengan pembatalan sepihak pertunangan Tuan Muda! Tuan Besar juga sudah tahu semua yang dilakukan Nona Wu terhadapmu, Tuan Muda!”“Tuan Muda harus menghentikan Nona Wu sebelum semuanya terlambat! Sudah lama Keluarga Wu hendak menghancurkan Keluarga Shu yang menjadi keluarga nomor satu di Kota Lin’an ini agar keluarga mereka bisa naik,” jelas Lian Hua.“Maksudmu... semua kejadian ini adalah rencana besar dari Chao-Xing, iblis betina itu? Ia mencuri Darah Pedang Spiritual Keluarga Shu, mempermalukanku di hadapan seluruh cultivator ierutama di depan Patriark Wang Chengtian saat seleksi di Sekte Pedang Surgawi?” tanya Shu Jin.Tanpa menunggu jawaban Lian Hua, Shu Jin langsung berlari keluar ke halaman utama temp
"Argh!" Shu Jin terbatuk keras, tubuhnya terpental beberapa langkah sebelum jatuh berlutut di tanah berbatu.Sebuah pukulan yang tak terduga dari kekasihnya, Wu Chao-Xing dengan telak mendarat tepat di perutnya, tepat di bawah pusar—dantian, inti kekuatan spiritual seorang cultivator.Rasa sakit yang menusuk menjalar dari pusat tubuhnya, membuatnya menggigil. Napasnya memburu, tangannya refleks meraba perutnya, seolah berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi kenyataan lebih kejam dari yang bisa ia bayangkan.Dantian-nya… hancur.Mata Shu Jin melebar tak percaya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat ia mendongak menatap Wu Chao-Xing. "Xing'er… apa yang telah kau lakukan...?"Namun, gadis yang selama ini ia anggap sebagai belahan jiwanya kini berdiri dengan tatapan yang berbeda."Shu Jin!" Wu Chao-Xing mendengus, melipat tangannya dengan ekspresi jijik. "Aku sudah bersabar selama tiga tahun ini hanya demi hari ini!"Shu Jin terhuyung, matanya masih mencari secercah harapan bahwa ini







