Share

Bab 3. Pria Dalam Mimpi

Bangsa Elf mungkin tidak tahu caranya memberi aba-aba atau mereka tidak tahu cara meminta temannya untuk menyingkir selagi mereka akan meledakan sesuatu.

Aku terhempas begitu Zarif meledakan tanah yang ada di belakang kami. Aku terhempas ke depan serta mendarat dengan sempurna pada genangan air sisa hujan.

Kabar baiknya aku selamat dan keluar dari hutan Yasakli. Kabar buruknya sang Elf masih bernapas dengan luka pada dada yang terkena anak panah. Meski tidak bilang, iya, untuk menggendongnya, mana mungkin aku membiarkan Zarif tergeletak begitu saja, aku terpaksa harus menolong Elf yang telah menyelamatkan nyawaku.

"Sudah pagi," kataku nelangsa. Langit berwarna jingga kemerahan tanda sudah fajar. Artinya aku sudah melewati satu hari di hutan. Yasemin pasti khawatir dan marah. Paman Aftal pasti mengusirku dari rumah sebab aku pulang tanpa membawa hasil, kecuali daging Elf masuk dalam hitungan.

"Bagaimana mungkin aku bisa membawa Zarif. Setidaknya berat badan Elf ini dua kali lipat dari berat badanku."

Tinggal melewati bukit dan kami akan sampai ke desa. Namun tidak semudah itu. Aku belum sempat makan sejak semalam. Perutku lapar dan Zarif begitu berat. Setidaknya aku harus makan sesuatu sebelum memulai perjalanan.

Sebuah tas kecil dari kulit menggantung di bahu Zarif dan aku sangat tergoda untuk memeriksanya, berharap bisa menemukan makanan di dalamnya.

Setelah aku geledah di dalamnya terdapat pisau kecil, sebuah tali, benda kecil yang terbuat dari kaca, dan dua roti kering yang dibungkus oleh sebuah daun. Roti kering khas Elf, bisakah manusia sepertiku memakannya? Tentu saja.

Aku membuka bungkus roti itu dan bersiap-siap menyantapnya. Sebuah tangan kemudian menahan tanganku. "Makan sedikit, manusia," Zarif memperingati dan kembali tidak sadarkan diri.

Apa maksudnya roti ini berbahaya bagi manusia atau Zarif semata-mata hanya pelit saja. Aku putuskan untuk memakannya satu gigit kecil. Setelah roti itu masuk ke mulut, tidak ada yang aneh. Mungkin Zarif hanya pelit saja.

Aku makan hingga setengah bagian dari roti itu dan tidak lama kemudian ususku terasa membelit dan perutku seperti mau meledak. Mungkin ini maksudnya Zarif.

"Gak lucu kalau aku mati gara-gara roti," erangku.

Beberapa saat kemudian aku merasa ada yang aneh. Tinggi badanku hanya 168cm dan berat tubuhku kurang-lebih 50kg termasuk kategori laki-laki kurus, tapi setelah efek sakit itu hilang tubuhku rasanya berotot. Setidaknya aku merasa sekuat Orc yang semalam hendak membunuhku.

Aku menggendong Zarif di belakang punggung dan melanjutkan perjalanan pulang. Dada Zarif terus mengeluarkan darah, artinya dia harus cepat ditolong. Berkat roti kering Elf aku mampu menggendong Zarif dan sampai ke desa lebih cepat.

Yasemin ternyata menunggu di jalan keluar dari hutan. "Syukurlah kamu pulang, Arkan," katanya. Yasemin melihat sesuatu di balik punggungku. "Itu tidak terlihat seperti hewan buruan?"

"Dia, Elf," kataku.

Yasemin terperanjat. "Apa? Kau berburu, Elf?"

"Yasemin, orang ini berat," ucapku mungkin efek roti kering Elf sudah mau habis. Di jalan aku sudah memakan semuanya. "Antar aku ke rumah, Isley."

Yasemin mengangguk.

Untungnya rumah Isley sang tabib wanita tidak jauh dari sana. Setibanya di rumah kayu milik Isley aku membaringkan Zarif di tempat tidur. "Siapa orang ini?" tanya sang tabib.

"Orang yang menyelamatkan nyawaku," kataku. Anak panah masih menancap di dada atas Zarif.

"Lukanya sangat parah," kata Isley sambil memeriksa tubuh Zarif. "Arkan, untung saja anak panah ini tidak kamu cabut, kalau di cabut pasti Elf ini sudah mati."

"Kau tahu kalau dia ...."

"Elf? Tentu saja ini bukan kali pertamaku bertemu dengan mereka. Sekarang kau bisa pulang. Kau sendiri butuh istirahat."

Isley memang benar, tubuhku terasa lemas berkali-kali lipat. Yasemin bahkan membantuku berjalan sampai rumah. "Intinya aku bersyukur pada Dewa bahwa kamu masih bisa pulang dan selamat," kata Yasemin setelah aku sampai di kamarku.

"Aku akan tidur sebentar, bangunkan aku ketika makan malam," pintaku.

Yasemin mengangguk dan keluar dari kamarku.

Di luar kamar aku mendengar langkah kaki seseorang. "Anak pemalas itu sudah pulang dan aku tidak melihat dia membawa hewan buruan satupun."

"Seharusnya kita bersyukur bahwa Arkan bisa pulang dengan selamat. Biarkan dia istirahat dulu," kata Yasemin yang membelaku.

"Seenaknya dia istirahat di rumahku. Padahal dia sendiri sudah gagal," kata Paman Aftar setengah berteriak.

"Arkan masih keluarga Ayah. Kasihanilah dia. Arkan jadi begitu juga gara-gara Ayah."

"Huh!"

Kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi. Badanku terlampau lemas dan mengantuk hingga aku akhirnya terlelap tidur.

Aku bermimpi. Aku tengah melangkah di kegelapan dengan pedang yang menyala di tanganku. Aku menyusuri sebuah goa yang kecil. Semakin lama goa itu membesar dan terdapat sebuah cahaya.

Goa itu membawaku ke sebuah ruangan yang besar dan udaranya terasa panas. "Perhatikan langkahmu," kata sebuah suara. Aku menunduk dan terlihat lava mendidih di bawah sana, sedangkan jalan semakin menyempit. "Aku sudah lama menunggumu," kata suara itu lagi.

Aku memindai sekeliling dan terlihatlah sesosok manusia berada di tengah-tengah ruangan itu. Duduk bersandar pada sebuah batu. Pria itu berambut panjang dan hitam, bertubuh tinggi dan berotot. Dia tidak mengenakan baju, hanya celana pendek sampai lutut.

"Siapa, kau?" tanyaku.

Pria itu tersenyum. "Kemarilah, Nak!" serunya.

Aku mendekat dan menyadari bahwa pria itu bukan hanya bersandar, tapi juga tengah dirantai.

"Arkan, senang melihatmu di sini. Aku sampai-sampai ingin melompat jungkir balik saking senangnya, sayangnya ...." Pria itu menunjukan rantai yang berwarna emas yang membelenggunya.

"Kau mengenalku?"

"Tentu saja, memangnya kau tidak?"

"Aku tidak mengenalmu."

Pria itu tertawa terbahak-bahak. "Kau polos sekali seperti ibumu."

"Kau mengenal ibuku?"

"Laura adalah perempuan paling cantik di dunia ini yang pernah aku temui. Maaf aku tidak bisa menghadiri pemakamannya karena ini." Pria itu mengangkat tangannya. "Aku bahkan menangis sejadi-jadinya hingga air mataku menetes ke lava di bawah ini yang hanya berbunyi, ces!"

"Terima kasih sudah menangisi ibuku."

"Sebentar lagi, tubuhku yang akan jatuh ke lava itu dan mungkin bunyinya tidak akan 'ces' seperti air mataku." Pria itu tersenyum, matanya bercahaya kegirangan. "Untung kau datang. Kau bisa menolongku sebelum itu terjadi." Pria itu menunjuk pedang di tanganku. "Hanya pedang itu yang bisa menolongku."

Tiba-tiba pria itu menghilang begitu juga dengan rantai emas dan batu besar dibelakangnya. Aku mendengar suara di sebelahku. Mataku terbuka dan sesosok tidak menyenangkan sedang menggeledah barang-barangku.

"Kau benar-benar tidak berguna, Arkan," celetuk Aftal. Kemudian dia mengangkat pedangku.

"Jangan bawa itu, Paman," ujarku.

"Kau hanya pulang membawa pedang karatan ini. Untung saja berat, mungkin harganya lumayan tinggi bila dijual."

"Jangan jual pedangku."

"Sekarang ini pedangku. Anggap saja ini sebagai ganti hewan buruan yang kau janjikan."

"Tapi?"

Paman Aftal tidak menggubrisku, dia membawa pedangku ke luar kamar dengan susah payah seolah membawa benda yang sangat berat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status