Share

Bab 2. Pedang Direnc

"Namaku Zarif," kata Elf itu dengan tegas. Dia nampak tampan ketika dilihat dari dekat. Rambutnya lurus, panjang terurai ke belakang berwarna perak. Dia sangat tinggi, aku harus sedikit mendongak ketika melihat wajahnya. "Di mana kau menemukan pedang itu?" Dia menunjuk pedang yang sedang aku peluk.

Apa, pedang? Apa dia tahu soal pedang yang aku temukan ini? Elf itu terus memandangku dengan was-was. "Pedang ini ...," kataku ragu.

"Tidak ada waktu, kita harus bergegas sebelum Orc itu datang lagi." Zarif mulai berlari. Sedetik kemudian dia menoleh. "Ikuti aku," pintanya. Lari seorang Elf ternyata kencang. Sulit untukku mengimbangi kecepatan larinya. Apakah semua Elf berlari secepat itu? Atau aku saja yang terlalu lambat.

Aku masih ragu, apakah harus memercayai Elf ini atau tidak. Meski yang aku dengar Elf adalah kaum yang baik, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dia berprilaku jahat. Seperti manusia yang tidak bisa ditebak isi kepalanya.

Soal pedang, aku menemukannya secara tidak sengaja dan tiba-tiba saja aku teringat pada sepupuku.

Seharusnya aku mendengarkan perkataan Yasemin. "Tangkap saja kelinci, jangan berburu hewan besar seperti rusa," katanya saat mengantar kepergianku. Aku terlalu optimis dan menganggap semua hal itu mudah.

Siapa kira seekor rusa akan tetap berlari cepat meski sebuah panah menancap di perutnya. Karena tidak mau kehilangan hewan buruan, aku mengejarnya tanpa ragu meski hujan telah mulai turun.

Hujan semakin deras dan aku semakin dalam masuk ke dalam hutan. Tanah di kakiku mulai licin dan hampir membuatku jatuh.

Di depanku terdapat sungai dan rusa itu masih kebingungan menjari jalan. Setelah aku mulai mendekat rusa itu melompat dari batu ke batu tanpa jatuh hingga ke seberang sungai dan masuk ke hutan lagi.

"Jangan sombong!" teriaku pada Rusa yang sudah tidak terlihat lagi.

Aku tidak mau kalah, aku meloncat dari batu ke batu sama cepatnya dengan rusa. Bedanya adalah di batu terakhir aku tergelincir. Batu kecil itu ternyata licin.

BYURRR!

Rusa itu pasti tengah tertawa melihatku jatuh. Saat aku hendak naik ke permukaan, tiba-tiba aliran sungai mendadak membesar dan aku terbawa arus.

Aku tidak mungkin menceritakan bagian itu pada Elf bernama Zarif. Dia akan menganggap aku laki-laki ceroboh. Walaupun memang benar begitu. Elf terus berlari dengan cepat di jalan setapak dan aku mengikutinya di belakang dengan napas tersengal-sengal.

Setelah terbawa arus sungai aku tidak tahu berapa lama tidak sadarkan diri. Saat mataku terbuka semuanya sudah gelap. Setengah tubuhku dari pinggang ke bawah masih berada dalam air dan dari pinggang ke atas tersangkut diantara dua batu besar. Aku tidak ada bedanya dengan sampah yang terbawa hanyut.

Aku bersandar pada sebuah pohon besar di tepi sungai. Hujan sudah reda dan meninggalkan genangan air di atas tanah. Ranting-ranting pohon masih basah dan hal itu membuatku kesusahan untuk membuat api. Selain kedinginan badanku sepenuhnya sakit.

"Di mana aku?" aku bertanya pada diri sendiri.

Aku memeriksa ke sekeliling. Pohon-pohon berbatang besar dan sangat tinggi. Daun-daun pohon begitu rindang hingga menghalangi cahaya matahari masuk ke bawah. Di bawah sini begitu gelap, tanpa ada tanda-tanda kehidupan.

Tempat ini seperti yang orang-orang katakan. Hutan paling berbahaya dan jangan pernah datang ke sini, apalagi sendirian dan apalagi kalau belum berpengalaman. Semua itu bukan aku banget.

Hutan ini bernama Yasakli. Hutan terlarang. Kenyataan itu membuat aku lebih dingin dari sebelumnya. Tubuhku menggigil bukan hanya karena kedinginan.

"Aku harus segera pergi," kataku sambil memaksakan diri untuk berdiri. Aku berjalan-jalan menyusuri hutan guna mencari jalan pulang sebelum malam tiba.

Zarif sang Elf itu berhenti begitu saja, membuat kami bertabrakan yang langsung membuatku tersadar. "Hati-hati," katanya. Zarif menunjuk ke bawah.

Aku baru sadar kalau kami tengah berdiri di atas tebing yang tinggi. Mataku kemudian mengikuti arah yang ditunjuk Zarif.

"Pemandangan yang indah. Apa di bawah itu desa?" Aku menerka, sebab yang aku lihat hanya cahaya api dari obor yang menyala.

Zarif memberengut. "Kau tidak bisa melihatnya?" Elf itu terlihat kecewa. "Itu adalah markas Orc. Adikku Hazel dan beberapa orang dari kaum Elf, Dwarf dan manusia berada di sana," jelas Zarif. "Mereka ditawan."

Aku merinding ketika mendengar nama Orc. Aku mundur satu langkah dari Elf itu. "Bukannya kita berlari menghindari mereka, kenapa kau malah membawaku ke atas markas mereka?"

"Untuk menunjukan padamu apa yang dilakukan para Orc. Lagian ini satu-satunya jalan keluar dari hutan Yasakli." Zarif menunjuk sebuah perbukitan. "Di sana desa Zirve berada, desa manusia terdekat."

"Ya, itu desa tempat tinggalku." Aku membenarkan.

"Sekarang ceritakan, bagaimana kau mendapatkan pedang itu. Kau bercerita sambil jalan, bisa?"

Aku mengangguk. Tidak lama kemudian kami berjalan menjauhi tebing. Menyusuri jalan setapak yang menurun. "Soal pedang ini," kataku. Aku ragu, sebab ada hal yang tidak masuk akal. Tapi, saat melihat apa yang dilakukan Elf saat bertarung tadi rasanya akan terasa biasa saja bagi Zarif.

"Kenapa pedang itu?"

"Pedang itu memanggilku."

Zarif berhenti, dia menoleh ke belakang. Jangan-jangan dia mau menertawakan dan menyebutku gila. "Kau belum menyebutkan nama, siapa namamu?"

"Arkan," jawabku singkat.

"Nah, Arkan, lanjutkan ceritamu langsung ke intinya saja." Zarif kembali berjalan memimpin di depan.

Aku seperti bicara pada punggungnya. "Saat aku tersesat di hutan yang gelap ini, aku melihat cahaya berwarna kuning terang. Karena aku pikir itu cahaya matahari maka aku mengikutinya berharap ada jalan keluar."

"Terus?" selanya.

"Semakin dekat aku menyadari bahwa cahaya itu berasal dari sebuah batang pohon. Lalu, aku mendengar ada yang memanggilku yang asal suara itu dari pohon tersebut. Mungkin aku berhalusinasi."

"Lanjutkan."

Aku mengatur napasku sejenak. "Sebuah pedang menancap di batang pohon bagian bawah. Kemudian aku mencabutnya. Pedang ini berhenti bersinar saat berada di tanganku. Pedang ini juga sudah berkarat, jadi aku tidak bisa menjual pedang ini dengan harga mahal kecuali pedang ini dapat bersinar lagi."

Zarif kembali berhenti melangkah. "Kau mau menjualnya?"

"Apa ada yang salah?"

"Kau tahu itu pedang apa?"

Aku tahu ini pedang karatan, tapi untuk melunakkan hati Elf yang terlihat mau marah aku menggelengkan kepala.

"Itu pedang Direnc dan tidak sembarang orang bisa mencabut pedang itu dari pohon."

"Maksudnya?"

"Hanya orang terpilih yang bisa. Aku sendiri sedang mencarinya dan tidak berhasil menemukannya." Zarif menaruh kedua tangannya di pundakku. "Dengar–"

Tiba-tiba saja anak panah menancap di atas dada Zarif dari kejauhan terdengar lolongan seperti serigala. "Itu mereka, cepat lari."

Anak panah itu kalau meleset sedikit ke kanan mungkin sudah menancap di kepalaku. Kami berlari sekuat tenaga, kali ini aku berlari di depan. Beberapa kali Zarif menangkis anak panah dengan pedang yang dia bawa.

"Ini yang terakhir," ujarnya.

"Terakhir apa?"

"Kekuatanku. Kalau aku masih bernapas tolong gendong aku."

"Ap–" Aku terhempas ke depan diiringi sebuah ledakan besar

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Valarian
kayanya ini mau baku hantam nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status