Share

Bab 4. Makhluk Paling Jelek

Aku masih memikirkan mimpiku semalam. Mimpi yang seolah kejadian nyata. Pria itu ... aku merasa kalau pria itu bukan orang asing. Apa mungkin kalau dia adalah ... gak mungkin. Paman Aftal sering mengatakan kalau ayahku sudah meninggal. Meski tidak dijelaskan meninggal karena apa dan di makamkan di mana.

Pagi ini berjalan seperti biasa. Kami bertiga berkumpul di dapur untuk sarapan. Yasemin memasak sup dan roti kering. Sebenarnya aku sedikit trauma dengan roti kering gara-gara hari kemarin. Perutku hampir meledak.

"Jadi, apa saja yang terjadi kemarin?" tanya Yasemin yang duduk berseberangan denganku sambil tersenyum ceria.

"Ceritanya panjang," balasku sambil makan sup dengan lahap. Aku sangat lapar.

Paman Aftal mendengus. "Kau pergi seharian, tapi tidak membawa hewan buruan satupun. Dasar tidak berguna."

"Ayah!" timpal Yasemin.

"Kau hanya membawa pedang berkarat yang tidak berguna," lanjutnya.

"Soal pedang, tolong kembalikan padaku." Aku memohon.

"Enak saja. Sekarang itu milikku."

Aku membiarkan keheningan bergulir diantara kami. Suara sendok dan mangkuk menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan.

Kemudian aku teringat akan mimpiku semalam. Makanya aku memberanikan untuk bertanya. "Paman! Apa ayahku benar-benar sudah meninggal?"

Paman Aftal menghentikan makannya. Dia menatapku seperti aku menatap tikus yang mencuri makanan di gudang. "Sejak dulu sudah aku katakan, ayahmu sudah mati," katanya dengan tegas.

"Meninggal karena apa?" tanyaku lagi.

Paman Aftal membanting sendok ke atas mangkuk supnya. "Kau menghilangkan selera makanku." Kemudian dia berdiri. "Jangan pernah membahas laki-laki brengsek itu di rumahku, mengerti!" teriaknya.

"Tapi aku berhak tahu soal ayahku." Aku memaksa.

"Kau!" Paman Aftal menunjukku. "Semakin lama semakin mirip dengannya."

"Ayah, kenapa tidak ceritakan saja pada, Arkan kalau Ayah tahu sesuatu," timpal Yasemin.

"Kau, jangan selalu membelanya Yasemin."

"Kau tahu tentang, ayahku?" tanyaku pada perempuan yang berpakaian serba putih dan harum bunga melati.

Yasemin menggelengkan kepalanya membuat rambutnya yang tergerai bergelombang seperti ombak. Kadang dia terlihat seperti ibuku.

"Arkan! Bersihkan gudang dan kembali ke toko secepatnya," kata Paman Aftar sebelum dia pergi.

Paman Aftal pasti menyembunyikan sesuatu tentang ayahku. Mungkin saja ayahku seorang petualang dan nasib sial menempa dirinya, dikurung di sebuah goa dengan tangan dirantai pada batu besar. Bisa saja mimpi itu adalah petunjuk.

Aku bekerja kurang konsentrasi akhirnya semua pekerjaan terlihat kacau. Pamanku mengomentari setiap pekerjaanku sambil berteriak-teriak.

Sekarang aku merasa dikejar Orc bersama Elf adalah hal yang menyenangkan. Apakah aku harus bertanya pada Zarif tentang mimpiku?

Setelah lelah bekerja aku menyempatkan diri untuk berkunjung pada rumah Isley pada sore hari. Elf itu masih terbaring di tempat tidur, tapi matanya terbuka lebar. Aku ingin menghampirinya dengan berlari dan memeluknya, berharap bisa sedikit ketularan ketampanannya.

Aku tidak jadi melakukannya, tatapan galak Zarif menyelamatkan aku dari aib yang memalukan. "Bagaimana keadaanmu, Bung?" tanyaku.

"Di mana pedangmu?" tanyanya. Dia tidak merindukanku melainkan merindukan pedangku.

"Aku simpan di rumah. Membawa pedang sambil berkeliling desa terasa seperti bandit gunung." Aku mencoba bergurau, tapi Zarif sama sekali tidak tersenyum. Aku duduk di kursi dekat dengan tempat tidur.

"Seharusnya kau membawanya kemanapun kau pergi." Zarif merubah posisi menjadi duduk bersandar sambil menahan rasa sakit di dadanya. "Besok pagi kita berangkat."

"Kita?"

"Ya, kita harus pergi menolong orang-orang yang ditawan."

"Hanya kita berdua? Tidak. Terima kasih." Aku bangkit dari kursi. "Aku tidak mau lagi terpental saat kau meledakan sesuatu, aku tidak mau lagi menggendongmu dan tidak mau lagi makan roti kering khas Elf."

"Tentu saja tidak. Aku sudah meminta bantuan pada kaumku. Kami akan menyerbu markas musuh."

"Kalau begitu, silahkan lakukan saja sendiri, jangan bawa-bawa anak yang tidak bisa bertarung sepertiku. Aku yakin Elf akan menang."

"Kami membutuhkan pedangmu."

"Kalau begitu bawa saja?"

Zarif mendesah. "Kau masih saja tidak mengerti. Pedang Direnc telah memilihmu. Hanya kau yang mampu menggunakannya."

"Kenapa pedang itu harus memilihku?"

"Kau tanyakan sendiri pada dirimu," jawab Zarif.

Apa mungkin seorang pedang salah pilih orang? Atau ada sangkut pautnya dengan mimpiku.

"Zarif, semalam aku bermimpi ...." Aku masih ragu menceritakannya.

"Lebih baik kau bawa pedangmu. Aku akan mengajarkanmu memakai pedang," katanya.

"Sejujurnya, pedang itu telah disita oleh pamanku, sebab kemarin aku tidak membawa hewan buruan satupun. Itu juga karena aku mengendong seseorang yang terluka parah."

Zarif mengambil sesuatu di tas kecilnya. Lalu melemparkannya padaku. "Tukarkan koin emas itu dengan pedang pada pamanmu."

Aku membukanya. Setidaknya ada belasan keping emas di kantung kecil ini. "Aku rasa pamanku akan lebih menyukai ini dari pada pedang karatan."

Tidak terasa malam sudah gelap. Orang-orang sudah masuk ke dalam rumah dan menyalakan cahaya. Hari ini hujan hanya sebentar sehingga tidak ada genangan air dan tanah lengket serta licin di perjalanan pulang.

Perjalanan dari rumah Isley ke rumahku tidak terlalu jauh. Sebelum sampai aku melewati toko Aftal. Toko yang menjual daging, hasil berkebun dan makanan buatan rumahan lainnya. Toko itu masih buka dan pamanku sudah menyalakan cahaya sehingga terlihat terang dari jauh. Pamanku pasti di sana. Aku akan memberikan emas ini padanya.

Pintu toko terbuka lebar, tumben. Biasanya Paman selalu mengomel kalau pintu itu terbuka, apalagi saat hujan, hewan seperti ular terkadang suka menerobos masuk.

Di dalam toko lebih aneh lagi, semua nampak berantakan. Kursi, meja, semua barang-barang berserakan. Jangan bilang ada bandit gunung yang mengobrak-abrik toko.

"Paman! Paman Aftal!" Aku berteriak sambil berkeliling toko. Tidak ada jawaban. Aku pergi ke gudang, isinya lebih berantakan lagi. Ini pasti ada yang tidak beres. "Yasemin!" Aku berlari menuju rumah.

Kondisi rumah tidak kalah berantakannya. Aku semakin khawatir pada sepupuku dan, ya, pamanku, walaupun hanya sedikit. "Yasemin!" Aku berteriak.

Tidak ada jawaban dari Yasemin, hanya terdengar suara sesuatu yang dibanting di lantai atas. "Kamar Yasemin." Aku menerka dan kemudian berlari menaiki tangga.

"Yasemin!" teriakku lagi saat tiba di atas. Terdengar suara geraman dan selama ini aku yakin Yasemin tidak pernah menggeram seperti itu. "Yasemi—" tiba-tiba saja sebuah kapak melayang di sebelah kepalaku dan aku terlambat untuk menjerit.

Setelah kapak melayang, sang pemilik datang untuk mengambil kembali miliknya. Sang pemilik tidak lain dan tidak bukan adalah Orc makhluk paling jelek yang pernah aku temui. Bagaimana bisa makhluk ini ada di rumahku.

Setidaknya ada empat Orc muncul di hadapanku. Mereka terlihat senang saat melihatku. Aku menjerit dan berlari keluar. "Tangkap," katanya. Aku baru tahu kalau Orc bisa bicara bahasa manusia walaupun suaranya tidak jelas dan serak seperti orang habis menelan katak bulat-bulat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Valarian
pengen tau Zarif si elf kerjanya apa ya? PNS kah?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status