Share

Bab 5. Perjanjian dan Sumpah

Aku tahu tidak lama lagi mungkin aku akan mati dibunuh Orc jelek, bukan kematian yang aku impikan. Akan tetapi tetap saja yang aku khawatirkan adalah Yasemin. Rumah sudah berantakan dan hancur. Di sana tidak siapapun kecuali Orc yang sekarang mengejarku.

Aku berencana untuk kembali ke rumah Isley meminta bantuan Zarif. Sebab, hanya dia di desa Zirve ini yang pernah bertarung melawan Orc. Tiba-tiba saja aku terjatuh yang aku pikir hanya tersandung.

Kakiku terlilit rantai kemudian ditarik ke belakang oleh salah satu Orc. "Tolong!" teriakku sambil meronta-ronta mencakar tanah.

Orc itu tertawa. "Anak ini kurus, tidak enak dimakan," kata Orc dengan suara serak.

"Daging muda, aku suka daging muda," kata Orc yang lainnya.

Satu Orc memutar tubuhku sehingga terlentang, aku semakin meronta-ronta ketakutan. Satu Orc lain mulai mengalunkan kapaknya. Aku menutup mata karena tidak kuasa melihat kengerian. Sedetik kemudian Orc itu mengerang. Saat aku memberanikan diri untuk membuka mata, di kepala Orc yang memegang kapak sudah tertanam anak panah diantara kedua matanya.

Orc yang tersisa melepaskanku dan bersiap-siap menerima serangan yang datang. Aku menoleh dan melihat Zarif yang memanah lagi satu kepala Orc dan melesat menghantam Orc lain dengan pedangnya. Ternyata Elf itu mahir juga dalam menggunakan pedang. Kedua Orc kemudian mati oleh tebasan pedang Zarif.

"Kau melihatnya?" tanya Zarif.

"Melihat kau membunuh Orc itu?" Betapa sombongnya Elf ini. "Ya, aku melihatnya. Terima kasih sudah menolong."

"Kau masih belum membawa pedangmu, di mana pedang Direnc?"

"Ada hal yang lebih penting dari pedang Direnc. Tolong bantu aku menolong sepupuku, Yasemin."

Zarif seperti hendak memprotes.

"Rumahku di serang Orc. Aku belum melihat keluargaku. Pedang Direnc mungkin ada di sana," jelasku. Membawa-bawa pedang diantara kalimat penjelasanku terbukti ampuh menarik perhatian Zarif.

"Kalau begitu, jangan buang-buang waktu lagi." Zarif melemparkan pedangnya padaku.

"Apa ini?"

"Pedang. Gunakan itu untuk melawan Orc."

"Apa?"

"Lakukan seperti yang sudah aku contohkan." Zarif berlari begitu saja menuju rumah yang hanya berjarak kurang dari dua ratus meter tanpa menunggu aku yang hendak berkata keberatan.

Setibanya di dalam rumah kami di sambut hangat oleh Orc yang membawa pedang dan tombak. Berapa banyak sebenarnya Orc yang menggeledah rumahku.

Zarif dengan kecepatan tangannya langsung membunuh kedua Orc itu dengan panah. Kemudian Zatif memanah Orc yang hendak menuruni tangga. Kasihan Orc itu, setelah di panah di bagian dada langsung terjatuh dari tangga kemudian di dasar tangga kepalanya ditusuk belati oleh Zarif. Zarif memang Elf yang tidak berprike-Orc-an.

Dirasa sudah merasa aman aku memanggil sepupuku. "Yasemin. Kalau kamu bersembunyi, keluar sekarang. Semua sudah aman."

Kata 'Aman' seolah menjadi mantra pemanggil Orc. Masuk lagi Orc ke dalam rumah melalui pintu masuk. Karena aku yang awalnya berdiri di belakang Zarif, sedangkan musuh datang dari belakang alhasil aku menjadi sasaran dari kemarahan monster jelek itu.

Orc yang memakai pedang langsung menebasku dari atas ke bawah. Aku berhasil menangkisnya dengan pedang pemberian Zarif meski setelahnya aku terjatuh. Bukan hal yang baik.

Orc itu menghantam keras ke arah pedangku dan mengajak beradu kekuatan. Salah orang, jelas aku akan kalah.

Aku nyaris berpamitan dan mengucapkan 'Selamat tinggal dunia' kalau saja Zarif tidak menendang Orc itu.

Orc itu mundur beberapa langkah ke belakang. Zarif berteriak, "Tikam perutnya!"

Aku menurut. Aku menghunjam pedang itu sekuat tenaga. Setengah pedangku masuk ke dalam perut Orc.

"Putar pedangnya!" teriak Zarif.

Aku memutar pedang itu dan berhasil membuat Orc menjerit kesakitan.

"Cabut!"

Begitu aku mencabut pedangku Orc itu langsung tersungkur tak bernyawa. "Baik. Selanjutnya apa lagi?" Lalu aku tersadar bahwa Orc lain sudah mati, mungkin sudah dari tadi.

"Bagus, kau cepat belajar." Zarif menepuk punggungku. Elf itu berjalan ke lantai atas.

"Yasemin! Paman Aftal! Kalian ada di rumah?" Kali ini aku tidak berani mengucap kata aman.

"Keluargamu ada dua orang?"

"Iya. Aftal dan anaknya Yasemin."

"Tapi aku hanya merasakan satu orang." Zarif berderap masuk ke kamar Yasemin. Elf tampan itu menunjuk lemari kayu di sudut ruangan.

Aku membuka pintu itu cuma gagal sebab masih terkunci."Yase, ini aku, Arkan."

Pintu lemari terbuka dan keluarlah Yasemin dengan pakaian putihnya yang sudah kumal. Gadis itu memelukku. "Aku takut sekali, Arkan."

"Kau sudah aman sekarang," kataku. Yasemin menoleh pada Zarif. "Dia Zarif."

"Elf yang kemarin," bisik Yasemin. "Terima kasih."

"Zarif, ini Yasemin. Orang yang kemarin

Membantuku membawamu ke rumah tabib."

Zarif menaruh tangannya di dada kemudian menunduk. "Terima kasih, Nona Yasemin," katanya dengan sopan.

"Di mana Paman Aftal?" Aku bertanya pada Yasemin yang sudah cukup tenang.

"Ayah bersama pekerja berlari ke hutan belakang."

"Apa?" Berlari ke hutan bukan ide yang baik. Kenapa pamanku tidak berlari ke balai desa atau ke rumah warga.

"Di mana pedang Direnc?" potong Zarif.

Yasemin mengerutkan keningnya. "Direnc?"

"Pedangku yang disita ayahmu," jelasku.

"Oh, Pedang itu?"

"Ya, di mana kira-kira ayahmu menyimpannya?"

"Pedang itu telah di jual oleh Ayah pada Bamsi siang tadi."

"Sial!" Aku mengumpat.

"Siapa Bamsi?"

"Laki-laki tua yang gemar merusak pedang ataupun besi lainnya yang sudah tidak berguna lalu menjadikannya barang yang baru dengan kata lain, Bamsi adalah seorang pandai besi."

"Tunggu apa lagi, kita pergi ke sana," ujar Zarif.

"Bagaimana dengan ayahku?" tanya Yasemin.

"Zarif boleh kita bicara sebentar?"

Aku berjalan ke luar kamar dan Zarif mengikutinya dari belakang. "Zarif, bisakah kau menolong pamanku?"

"Prioritasku adalah pedang Direnc dan pemiliknya."

"Aku berjanji akan membantu menyelamatkan para sandra yang tengah ditawan di markas Orc. Di sana ada adikmu,kan? Aku tidak akan beralasan lagi dan juga aku pastikan kalau pedang Direnc akan berada di tanganku."

"Baiklah. Aku akan menolong pamanmu," jawab Zarif dengan nada yang lantang.

"Yasemin, kau akan ikut bersamaku atau bersembunyi di sini?"

"Aku akan ikut denganmu ke rumah Bamsi."

"Kalau begitu, setelah selesai aku akan pergi ke balai desa."

"Baiklah. Kita akan berkumpul di sana."

Zarif dengan cepatnya melesat ke luar melalui jendela.

"Baiklah," kataku pada Yasemin. "Saatnya kita pergi."

Aku dan Yasemin baru setengah jalan menuju rumah Bamsi. Langkah kami terhenti dengan pemandangan yang mengerikan tepat di depan kami.

Para Orc menyerang desa. Merusak rumah, menyerang siapa saja yang mereka temukan, tidak perduli laki-laki atau perempuan. Orang tua atau anak-anak.

Beberapa pria melakukan perlawan seadanya meski nyawa menjadi taruhannya.

"Kacau sekali," gumanku.

"Arkan, bagaimana ini?" Yasemin memegang tanganku dengan erat.

Aku masih membawa pedang Zarif. "Kita harus segera mengambil pedang Direnc," kataku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status