Sa menyerahkan bayi itu ke tangan Laras. Laras bergegas meraih bayi itu dengan mata haru. Meskipun wajah bayi itu tampak buruk, seperti wajah yang sudah sembuh dari luka bakar yang parah hingga membentuk bekas sisik di kulitnya.
Sa dan Laras sudah lama menikah, namun selama itu mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mungkin bayi itu akan membuat Laras senang dan bisa dijadikan pancingan agar mereka segera memiliki seorang anak yang lahir dari rahim Laras sendiri.
“Kita namai dengan nama apa bayi ini?” tanya Laras yang matanya masih berkaca-kaca.
“Bagaimana jika kita panggil dia dengan nama Tanaka?” jawab Sa.
“Tanaka?”
“Iya, Tanaka.” Sa menegaskan. “Yang memiliki arti hadiah dari Tuhan.”
Laras tersenyum mendengarnya. Pancaran kebahagiaannya tertangkap di mata Sa.
“Baiklah, dia akan kita panggil Tanaka,” ucap Laras.
Laras pun bergegas membawa bayi itu ke dalam rumahnya. Sa tersenyum memandangi punggung Laras yang tampak kegirangan memilikinya.
***
Istana Kerajaan Manggala tampak berbahagia di hari itu. Putra Mahkota telah dilahirkan. Kabar itu membuat seluruh penduduk istana bersuka ria. Ratu Anin yang masih belum sadarkan diri setelah melahirkan Putra Mahkota, sekarang tangannya bergerak-gerak, perlahan matanya terbuka. Raja Tala yang sedang menggendong Putra Mahkota di sisinya tampak lega melihat istrinya sudah tersadar.
Ratu Anin memandangi Raja Tala dengan haru.
“Aku ingin melihat anakku,” pinta Ratu Anin dengan lemah.
Raja Tala terenyum lalu memperlihatkan bayi lelakinya yang tampan itu pada istrinya.
“Dia sangat tampan bukan?” ucap Raja Tala sambil tersenyum.
Air mata harus Ratu Anin menetes ketika melihat wajah bayinya itu. Ratu Anin pun dibantu duduk oleh tabib istana. Dia ingin menggendong bayi itu dan segera menyusuinya. Melihat itu Raja Tala berdiri lalu bergegas meninggalkan ruangan itu.
Di depan pintu ruangan, Raja Tala berhenti melangkah sambil mendongak ke atas langit-langit istana.
“Maafkan aku istriku,” gumam Raja Tala.
Ya, dia telah menggantikan bayi sesungguhnya yang dilahirkan oleh Ratu Anin dengan bayi lain yang baru dilahirkan oleh penduduk. Raja Tala telah membuang anak kandungnya sendiri karena memiliki wajah buruk. Itu semua terjadi karena persekutuannya dengan Baluku sang Penguasa Iblis selama ini. Raja Tala meminta Baluku untuk membantunya berperang melawan kerajaan asing. Baluku memberi syarat agar raja Tala menyerahkan seratus gadis perawan padanya setelah dia berhasil memenangkan peperangan itu. Namun ketika Baluku berhasil membantunya memenangkan peperangan itu, Raja Tala mengingkari janjinya. Dia tidak menyerahkan 100 perawan padanya.
Baluku akhirnya mengutuknya, dia akan memiliki keturunan buruk rupa hingga tujuh keturuan. Awalnya Raja Tala tidak percaya Baluku dapat mengutuknya, ternyata ketika Putra Mahkota lahir, kutukan Baluku terjadi. Bayinya lahir dengan rupa menyeramkan.
Raja Tala pun meminta Tabib Istana untuk membuat Ratu Anin tidak sadarkan diri setelah melahirkan agar dia bisa mencari bayi pengganti untuk putra mahkota. Setelah Raja Tala mendapatkan pengganti bayi buruk rupanya, dia pun memerintahkan pengabdi istana untuk membawa anak itu jauh dari kerajaan Manggala. Raja Tala pun sudah menyiapkan harta benda untuk kehidupan anaknya yang buruk rupa itu.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Pelayan istana terkejut mendapati Raja Tala masih berdiri di depan pintu. Pelayan langsung berlutut di hadapannya.
“Ampun, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu meminta hamba untuk memanggil yang mulia,” ucap Pelayan istana itu padanya.
Raja Tala pun kembali masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat Ratu Anin baru selesai menyusui bayi itu. Raja Tala duduk di sisi ranjangnya.
“Ada apa istriku?” tanya Raja Tala dengan heran.
“Apakah kau sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya Ratu Anin penasaran.
Raja Tala tersenyum padanya.
“Aku sudah bicara dengan para penasehat dan sudah mengajukan lima nama untuk Putra Mahkota. Akhirnya mereka menyetujui satu nama,” jawab Raja Tala.
“Apa namanya?” tanya Ratu Anin dengan raut bahagianya.
“Kita akan memanggil namanya dengan nama Abisena,” jawab Raja Tala.
Ratu Anin pun menatap bayi dalam gendongannya. Bayi itu tampak sudah terlelap. Dia mencium kening bayi itu dengan tersenyum.
“Hiduplah selalu Putra Mahkotaku. Kelak kerajaan ini akan jatuh ke tanganmu,” ucap Ratu Anin dengan haru.
Raja Tala memandanginya dengan tersenyum. Dia menyimpan semua kesalahannya pada istrinya. Dia akan menutupi itu semua selama-lamanya. Siapapun yang mengetahui itu dan membocorkannya pada sang ratu akan dihukumnya.
Dua Puluh Tahun KemudianTanaka sedang bertarung dengan Sa, Si, Su dan Se di dalam hutan rimba itu. Sekarang dia sudah berumur hampir dua puluh tahun. Wajahnya memakai topeng kayu yang dibuat oleh Sa untuknya, topeng yang digunakannya sehari-hari. Sementara untuk merampok, Sa sudah menyiapkan topeng khusus untuknya. Topeng kayu yang diwarnai dengan warna hitam dari arang.Tanaka melompat dengan cepat ke atas hampir sejajar dengan dahan pohon yang paling bawah. Tak lama kemudian dia berputar lalu menggunakan jurus tendangannya hingga empat sekawan itu terpelanting jauh ke belakang.“Hahaha! Aku bilang apa? Ayah dan Paman ke satu, ke dua dan ke tiga tidak akan bisa menyaingi kehebatanku!” ucap Tanaka dengan sombongnya.Sa bangkit dengan emosi. Begitupun dengan Si, Su dan Se. Mereka saling menatap dengan raut kesalnya.Si mencoba bangkit. “Sombong sekali anak itu! Dia pikir siapa yang mengajarinya ilmu bela diri?! Aku!” geram Si. Tubuh gemuknya hampir saja oleng saat menghentakkan kaki k
Tanaka menaiki kuda bersama Laras ibunya. Mereka hendak menuju ke pasar. Mereka melewati jalanan yang membelah hutan. Jalanan yang sering dilalui orang-orang untuk menuju perbatasan kerajaan Manggala.“Kau tidak kenapa-napa?” tanya Laras padanya.“Aku tidak apa-apa, Ibu. Ilmu yang diajarkan ayah dan ketiga pamanku sudah aku kuasai semuanya. Sekarang aku hebat, Ibu. Aku tak akan takut lagi pada orang-orang yang mengejek parasku,” ucap Tanaka.Laras sedih mendengarnya.“Kau harus selalu menggunakan topeng itu agar mereka tidak mengejekmu,” pinta Laras.Tanaka menghentikan kudanya. Laras heran.“Kenapa berhenti? Pasar masih jauh! Kita harus buru-buru biar ibu bisa makan makan malam untuk kalian!”“Kenapa wajahku begini, Bu?” tanya Tanaka dengan mata sayunya.Laras tampak menarik napas dan menghembuskannya mendengar itu.“Ibu kan dulu pernah bercerita kalau kau pernah keluar dari rumah sewaktu kecil lalu kau mendekati api unggun yang diyalakan ayah. Kau terjatuh hingga wajahmu mengenai ba
Tanaka dan Laras akhirnya menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat seorang prajurit datang padanya dengan menaiki kuda.“Aku mendapat pesan dari Putra Mahkota. Beliau mengatakan jika kamu ingin menjadi prajuritnya, silakan datang ke istana,” ucap Prajurit itu.Tanaka ingin meludah mendengar itu. Namun dia menahannya khawatir membuat prajuritnya panah hati melihatnya.“Ucapkan rasa terima kasihku atas tawaran Putra Mahkota. Aku akan berembuk dulu dengan keluargaku,” jawab Tanaka.“Kami tunggu di istana,” pinta prajurit itu lalu bergegas memutar arah kudanya lalu pergi meninggalkan mereka di sana.“Aku tidak mau menjadi prajurit istana, Ibu,” kesal Tanaka.“Ibu juga tidak akan mengizinkanmu,” sahut Laras. “Ayo kita pergi!”Tanaka pun mengangguk. Dia pun kembali memacukan kudanya dengan kencang menuju pasar.***Malam itu, Tanaka sedang makan malam bersama ayah, ibu dan ketiga pamannya. Mereka menikmati jagung rebus dan ayam bakar dengan lahap.“Apa malam ini ayah akan berburu lagi?” ta
Semua sudah berkumpul di hadapan pondok perundingan. Sa memberikan bambu kecil dan jarum-jarum bambu yang ujungnya sudah diolesi racun katak pada Tanaka dan ketiga sekawan.“Sekali saja mereka terkena jarum-jarum bambu ini, racun diujung jarum ini akan langsung menyebar ke tubuh mereka semuanya dengan cepat,” ucap Sa.Semua memandangi bambu kecil dan jarum-jarum yang sudah dimasukkan ke dalam kantong kain kecil.Sa melanjutkan ucapannya. “Ingat, gerakan kita jangan sampai ada yang tau,” pinta Sa.Semua mengangguk.“Tujuan kita membunuh Tuan Kepala Wilayah lalu curi pedang emas yang disimpan di bawah kasurnya, setelah itu kita harus segera pergi dari sana,” lanjut Sa.Semua mengangguk. Terdengar suara-suara tak jauh dari mereka. Tanaka langsung memasukkan jarum bambu ke dalam bambu lalu meniupnya dengan tenaga dalam. Tak lama kemudian terdengar suara rusa yang kesakitan.Sa melotot marah ke Tanaka.“Kenapa kau gunakan itu?” tanya Sa geram.“Aku ingin mencobanya ayah! Siapa tahu mereka
Tanaka berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar Tuan Kepala Wilayah. Dia melihat dua prajurit penjaga sedang berjalan ke arahnya karena heran dengan suara pertarungan di ruangan lain. Tanaka pun terpaksa meniupkan jarum-jarum bambu itu hingga dua prajurit itu langsung menggelepar mengeluarkan busa dimulutnya.Tanaka pun langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah. Tanaka terkejut mendapati Tuan Kepala Wilayah sedang turun dari atas ranjangnya.“Siapa kamu?!” teriak Tuan Kepala Wilayah. Wajahnya berkumis tebal dengan kepala botak.Tanaka pun langsung meniupkan jarum bambu beracun itu ke arah tubuh Tuan Kepala Wilayah, namun dengan sigap Tuan Kepala Wilayah menggunakan jurusnya hingga menendang jarum yang melesat cepat itu ke arah Tanaka. Jarum itu berhasil ditendangnya hingga berbalik melesat ke arah Tanaka. Tanaka terbelalak lalu dengan cepat menghilang dari sana.Tuan Kepala Wilayah tampak heran melihat lelaki bertopeng itu menghilang dari hadapannya. Dia pun mengitari kamarnya ta
Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.Tanaka menghela napas.“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahn
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang