MasukUdara malam terasa berat, lembap, dan penuh listrik. Di tengah bengkel tersembunyi yang penuh roda-roda gigi, kabel-kabel berserakan, dan bau logam yang tajam, berdiri Shin Tian. Ia berdiri terpaku, matanya menyapu siluet mesin waktu yang menjulang seperti raksasa logam dalam kabut tipis uap panas. Mesin itu tak hanya sekadar alat ciptaannya—itu adalah puncak dari semua malam tanpa tidur, goresan luka karena eksperimen gagal, dan mimpi-mimpi yang ia rawat dalam diam.
Ia menarik napas dalam-dalam. Udara masuk ke paru-parunya, dingin dan penuh aroma besi.
Akhirnya...
Namun jauh di dalam relung hatinya yang paling dalam, kehampaan menggeliat. Bukan kehampaan karena kelelahan atau keraguan. Tapi karena sosok yang tak pernah memberinya tatapan bangga—ayahnya. Kepala Keluarga Shin. Seorang pria berwajah batu dan suara sekeras baja tempa.
"Jika kau tidak menjadi kultivator, kau bukan siapa-siapa di keluarga ini." Kata-kata itu masih terngiang jelas, seperti cambuk yang tak kasat mata tapi meninggalkan bekas.
Shin Tian mengepalkan tangan. Ujung kukunya menusuk telapak.
"Bukan saatnya untuk tenggelam dalam perasaan," gumamnya, memaksa dirinya kembali fokus. Ia menatap ke arah aliran sungai yang deras mengalir tak jauh dari jendela bengkel. Gemuruh air mengisi telinganya, seolah dunia tengah bernapas bersamanya.
"Tenaga dari turbin air masih belum cukup... aku butuh lebih," katanya lirih.
Tiba-tiba—
DUUUAAAARRRR!
Langit mengerang. Cahaya putih menyilaukan membelah langit dan menerangi seluruh bengkel sejenak, memperlihatkan bayangan mesin waktu yang bergetar oleh dentuman petir yang baru saja menyambar jauh di kejauhan. Getarannya merambat hingga ke kaki Shin Tian.
Matanya membelalak. Bibirnya ternganga, lalu perlahan tertarik membentuk senyum kecil—penuh antusiasme, bahkan sedikit kegilaan.
"Petir," bisiknya, hampir tak percaya. "Kenapa aku tidak memikirkannya sejak awal?! Energi petir... itu jawabannya!"
Tangannya langsung meraih buku catatannya, mencoret-coret ide dengan pensil yang gemetar karena adrenalin.
"Aku hanya butuh penangkap... sesuatu yang bisa mengubah petir jadi energi listrik." Ia berbicara seolah pada dirinya sendiri, pikirannya berpacu lebih cepat dari kata-katanya. Tapi satu bayangan menghalangi—tempat yang cukup tinggi untuk memancing sambaran petir.
Dan saat itu, satu nama muncul di benaknya seperti kilat menyambar langit.
"Menara Lonceng."
Ia menelan ludah. Menara itu menjulang di ujung pemukiman Keluarga Shin, bangunan keramat yang dijaga ketat. Larangan memasuki tanpa izin adalah hukum yang tidak tertulis, tapi mutlak. Ayahnya menyebut menara itu sebagai “tulang punggung kehormatan keluarga.” Melanggar berarti mengkhianati garis darah.
Tapi Shin Tian hanya berdiri lebih tegak.
“Kalau aku harus melanggarnya demi membuktikan diri… maka biarlah begitu.”
Langkahnya menyusuri lorong-lorong belakang pemukiman seperti bayangan. Sepatu botnya nyaris tak bersuara di atas tanah becek. Cahaya obor yang berjaga-jaga di kejauhan memantul di dinding batu, sesekali menampilkan siluetnya yang ramping tapi teguh.
Ia tahu para penjaga muda sering terlena di malam hujan begini. Dengan mengandalkan celah waktu itu, ia menyelinap ke dalam gudang senjata. Udara di dalamnya lembap dan sarat debu tua yang mengendap di setiap sudut. Bau logam karatan bercampur bau kayu lapuk menusuk hidungnya.
Matanya mencari cepat di antara rak-rak yang berderit. Dan di sudut ruangan, matanya menangkap kilatan logam. Sebuah tombak besi—panjang, kokoh, dengan ujung yang masih tajam meski usianya tua.
“Ini dia,” desisnya sambil meraih tombak itu. Logam dingin menyentuh telapak tangannya, membuat jari-jarinya sedikit kaku.
Di samping tombak itu, ia mengambil gulungan kawat tembaga hasil eksperimen lamanya. Ia mengangguk kecil. Semuanya siap.
Langit sudah kelam saat ia tiba di kaki Menara Lonceng. Angin menderu seperti lolongan serigala, menusuk pori-pori lewat jubahnya yang basah diterpa rintik hujan.
Ia menengadah.
Menara menjulang seperti raksasa batu, tak bergerak namun menyimpan ancaman.
“Ayo, Tian,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Jangan ragu sekarang.”
Tangan dan kakinya mulai memanjat, mencengkeram celah kayu dan batu yang dingin dan licin. Hujan mengguyur wajahnya, menciptakan garis-garis dingin di kulitnya. Napasnya memburu, dada sesak karena ketinggian dan rasa takut yang coba ditepis. Tapi ia tak berhenti.
Setelah perjuangan panjang yang membuat tubuhnya nyaris mati rasa, ia tiba di puncak. Angin di sini lebih buas, mencambuk wajah dan telinganya tanpa ampun. Tapi pandangannya tetap terarah—ke langit.
Ia mengikat tombak besi di ujung menara, tangannya gemetar tapi mantap. Jemarinya membungkus kawat tembaga di sekeliling tombak, satu lilitan demi satu lilitan, seperti menyulam benang harapan.
Setelah semuanya selesai, ia berdiri tegak. Jubahnya berkibar liar. Petir kembali menyambar kejauhan, menyinari wajahnya yang basah dan bersinar oleh semangat membara.
“Aku akan tunjukkan padamu, Ayah... bahwa aku bisa mengukir takdirku sendiri.”
Ia menatap langit dengan mata penuh tekad. Kini, bukan hanya kilat yang menunggu waktu untuk menyambar—Shin Tian pun demikian.
Udara dingin musim semi menyusup ke pori-pori Shin Tian ketika kesadarannya kembali perlahan. Helaan napas pertamanya terasa seperti menarik dunia baru—meski ia tahu, ini dunia lamanya. Aroma tanah basah bercampur serpihan wangi bambu dan sisa hujan menari memasuki hidungnya. Embun tipis menempel di rambut dan alisnya, seakan alam sendiri sedang memeriksa apakah ia benar-benar kembali, atau hanya bayang-bayang yang tersesat di antara lipatan waktu.Ia berbaring di atas lantai batu yang dinginnya membekukan tulang. Saat pandangannya mengarah ke atas, bentuk raksasa menjulang menutup langit... menara tua yang tubuhnya diselimuti lumut, dan di puncaknya tergantung sebuah lonceng perunggu raksasa, diam tetapi sekaligus mengancam.Sebelum kesadarannya benar-benar kembali, terdengar...DONG! DONG! DONG!Suara lonceng itu menggema di seluruh dadanya seperti palu yang memaku jiwanya kembali ke dunia nyata. Detak waktu meneguhkan keberadaannya.Mata Shin Tian terbelalak. Bibirnya bergetar.
Dimensi Arkheion – Dunia Di Antara Waktu.Shin Tian membuka matanya. Ia berdiri di atas permukaan kristal yang memantulkan bintang-bintang di bawah kakinya. Di sekelilingnya, ribuan jam melayang di udara, berdetak dengan ritme berbeda. Setiap detak menciptakan gelombang waktu yang melengkung di sekitar tubuhnya.“Jadi ini… Arkheion,” bisiknya.Dari kejauhan, cahaya putih muncul—seorang wanita berjubah panjang hitam berjalan perlahan, rambutnya hitam, mata birunya jernih seperti cermin. Shin Tian terdiam. Ia mengenali wajah itu dari mimpi, dari kenangan samar yang tersisa di dalam darahnya.“Shin Ling…”Sosok itu tersenyum. “Kau akhirnya datang, Tian.” Suaranya lembut, namun bergema di setiap arah, seolah berbicara langsung ke masa lalu dan masa depan sekaligus. “Aku menunggumu selama delapan abad.”Shin Tian maju satu langkah. “Kau membuka eksperimen ini demi mencegah kehancuran. Tapi yang terjadi justru menciptakan Hydra Concord dan dunia bayangan.”Shin Lin menunduk. “Aku tahu. Kesa
Hujan turun deras di atas Shanghai, menampar kaca-kaca gedung ShinCorp dengan ritme kacau seperti detak jantung dunia yang panik. Di tengah gemuruh petir dan kilatan lampu kota yang tak pernah tidur, dua sosok melangkah keluar dari pintu rahasia di bawah tanah—Abigail dan Shin Tian.Helikopter taktis dengan rotor siluman menunggu di puncak menara sebelah. Mereka bergerak cepat, menembus badai, menyembunyikan diri di bawah frekuensi radar Hydra Concord. Abigail duduk di kursi belakang, jari-jarinya menekan earpiece kecil di telinga.“Semua sistem pelacak di ShinCorp telah dibersihkan. Tapi mereka akan menemukan jejak elektromagnetik Mesin Tempus dalam waktu kurang dari dua jam.”“Cukup waktu untuk kabur dari Shanghai,” sahut Shin Tian datar, menatap keluar jendela ke arah samudra yang gelap.Ia diam sejenak, lalu berbisik rendah, “Arkheion… kau tahu di mana tepatnya?”Abigail menatapnya dengan mata tajam. “Bukan sekadar tahu. Aku pernah melihat peta fragmennya dalam mimpi—atau mungkin…
Suara alarm masih meraung, memenuhi ruang bawah tanah ShinCorp dengan cahaya merah berdenyut. Mesin Tempus di tengah ruangan berputar semakin cepat, seolah merespons ancaman yang bahkan belum terlihat oleh mata telanjang.Abigail berdiri tegang di samping panel kendali, jemarinya bergerak cepat di atas permukaan holo, mencoba menstabilkan medan waktu. Shin Tian, dengan tatapan tajam, berjalan perlahan mengitari silinder energi itu, merasakan arus qi yang saling bertabrakan seperti dua sungai liar.“Apa yang kau lakukan?” Shin Tian menatap Abigail dengan nada waspada.“Mesin ini… bereaksi padamu,” jawab Abigail tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Saat kau mendekat, frekuensinya melonjak dan memicu temporal breach—celah waktu. Itu artinya darah kita memiliki keterkaitan.”Shin Tian menatap kristal ungu Chrono Essence yang berputar di pusat mesin, lalu kembali pada Abigail. “Bukan hanya keterkaitan. Darahmu… beresonansi dengan garis keturunan Shin Lin. Itu berarti—”“Aku adalah rein
Langit di atas Kota Shanghai saat itu berwarna kelabu—awan-awan menggantung berat seakan menekan puncak-puncak gedung pencakar langit yang diselimuti kabut elektronik. Di dalam ruang rapat eksklusif lantai 99 gedung pusat ShinCorp, sebuah pertemuan rahasia tengah berlangsung.Lantai kaca transparan memantulkan siluet lima orang berpakaian formal, duduk melingkar di depan layar melayang. Di tengah layar, wajah Shin Tian membeku dalam potret digital yang baru saja diambil dari kamera keamanan apartemen Abigail. Data biometrik dan sinyal qi anomali tertulis di sampingnya.Seorang pria tua dengan rambut putih keperakan menyipitkan mata. “Energinya… bukan dari dunia ini. Resonansi spiritualnya identik dengan pola-pola kuno dalam Kitab Darah Shin.”“Dan ia mengklaim sebagai sahabat Shin Lin,” ujar seorang wanita dengan suara dingin, mengenakan seragam militer bertuliskan ‘Divisi X : Dimensional Time Warfare’.“Ini bukan sekadar klaim,” jawab yang lain, “data DNA-nya cocok dengan garis darah
Mobil Porsche berwarna silver itu meluncur pelan menembus malam kota yang basah oleh gerimis. Lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela, menciptakan garis-garis cahaya yang seperti menggores waktu. Di dalam mobil, suasana terasa hening namun tegang.Abigail sesekali melirik ke pria aneh yang duduk di sampingnya. Jubah koyaknya kini dibalut mantel tebal yang ia berikan, tapi tatapan matanya… tatapan itu seperti milik orang yang telah melihat dunia terbakar dan bangkit dari abu.“Kau yakin tak perlu ke rumah sakit?” tanya Abigail dengan nada ragu.“Aku tidak terluka. Hanya… terguncang,” jawab Shin Tian pelan, suaranya dalam dan tenang. “Dunia ini… berbeda dari yang aku kenal. Tapi kau… dan nama yang kau bawa… itu menarik perhatianku.”Abigail mengernyit. “Kau masih belum menjelaskan apa maksudmu dengan ‘datang dari masa Shin Lin’. Kau bicara seolah itu bukan sejarah.”Shin Tian menoleh ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang seolah menusuk langit.“Karena bagiku… itu bukan sejara







