Mag-log inRuang laboratoriumnya tak luas, tapi terasa seperti dunia lain. Lampu-lampu panel menyala lembut, memantulkan sinar ke meja kerja yang penuh dengan serpihan logam, kabel, dan skema digital yang melayang di udara. Suara mesin-mesin kecil mulai berdengung perlahan, menyatu menjadi simfoni pagi yang hanya bisa dinikmati oleh para pencipta.
Ia mengenakan sarung tangan tipis, lalu menyentuh layar digital di depannya. Jari-jarinya mulai menari, menggambar sketsa-sketsa rumit yang muncul seolah mengalir dari pikirannya langsung ke layar. Pagi masih muda, dan dunia di luar masih setengah tertidur, tapi dalam dirinya, badai ide telah menggulung sejak semalam.
“Kalau waktu menyimpan jawabannya, maka aku akan mencurinya dari masa lalu…”
Ia mendesah pelan. Udara di ruang itu terasa lebih hangat dibanding luar, tapi juga lebih tegang. Bau logam berpadu dengan aroma kopi yang dingin di sudut meja—sisa malam yang ia lewati tanpa tidur. Keringat mulai membasahi pelipis, meski matahari belum tinggi.
Mesin waktu. Bukan fiksi. Bukan mimpi. Tapi rencana. Ia tahu risikonya. Waktu adalah hukum yang tak boleh dilanggar, tapi... siapa yang peduli pada hukum kalau hidupmu sendiri tak pernah adil?
Komponen demi komponen mulai disatukan. Kabel-kabel menjuntai seperti urat nadi yang belum dialiri darah. Logam-logam dingin tersambung satu per satu, membentuk jantung bagi ciptaannya. Shin Tian menciptakan bukan hanya sebuah alat—tapi sebuah harapan. Sebuah pintu menuju kebenaran yang selama ini ditutup rapat.
“Kalau takdir menolakku… maka aku akan menulis ulang takdirku sendiri.”
Dan saat matahari pagi naik sedikit lebih tinggi, menyinari wajahnya yang penuh keringat dan tekad, Shin Tian tahu—ini bukan awal dari pelarian. Ini adalah langkah pertama menuju kebangkitan.
*****
Hari-hari berlalu dalam diam yang tegang. Malam sering datang tanpa terasa, digantikan oleh pagi yang muncul terlalu cepat. Namun, tak sekalipun Shin Tian menunjukkan tanda-tanda lelah. Di balik mata hitamnya yang selalu tajam, tersembunyi semangat yang membara—api tekad yang tak bisa dipadamkan bahkan oleh waktu.
Tangannya bergerak lincah, memutar mur, mengatur kabel, menyelaraskan kristal energi yang memancarkan kilau lembut kebiruan. Setiap sambungan ia periksa ulang, setiap kalkulasi ia hitung kembali, seolah satu kesalahan sekecil apapun bisa membunuh harapan yang selama ini ia jaga. Mesin waktu itu—karyanya yang paling gila sekaligus satu-satunya harapan—akan menjadi jembatan antara dirinya dan jawaban yang tak pernah bisa ia temukan di masa kini.
"Jika ada yang tahu bagaimana cara melepas segel sialan ini," gumamnya pelan sambil menatap telapak tangannya yang bergetar samar oleh energi yang terkekang, "mereka pasti ada di masa lalu."
Namun, bukan tanpa ragu. Kadang, saat malam merambat sunyi dan hanya denting alat-alat yang menemani, pikirannya dibayangi tanya yang sunyi—Apa yang menantiku di sisi lain? Melintasi waktu bukan perkara sederhana. Bukan hanya sekadar melihat masa silam... bisa jadi, di sana menunggu bahaya yang jauh lebih besar dari segel yang membelenggu kultivasinya kini.
Akhirnya, hari itu tiba.
Di tengah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh kilatan energi dari mesin waktu, berdirilah sebuah struktur logam raksasa, membentuk lingkaran sempurna. Sinar biru dan putih menyembur dari tengahnya, berputar perlahan seperti pusaran air yang hidup—menggoda, memanggil, dan mengguncang udara di sekelilingnya. Angin hangat mengalir deras dari pusat mesin, menyapu wajah Shin Tian seperti sentuhan dari dunia lain.
Ia berdiri tegak di hadapannya. Pakaiannya berkibar, rambutnya ikut menari di antara aliran energi yang berdesir. Matanya menatap tak berkedip, memantulkan cahaya berdenyut yang seakan menanyainya sekali lagi: Kau yakin ingin melakukan ini?
Shin Tian menarik napas dalam-dalam. Udara hangat bercampur dengan rasa logam dan sedikit ozon—aroma khas dari energi mentah yang belum dijinakkan. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena harapan. Karena di balik pusaran waktu itu, mungkin... hanya mungkin... ada seseorang, atau sesuatu, yang bisa mengubah takdirnya.
Dia teringat pada masa-masa gelap, ketika dia hanya bisa duduk diam di bawah langit malam, menggenggam harapan yang terasa rapuh. Tapi kini, di titik ini, semuanya berbeda.
"Aku tak akan menyerah," ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. "Jika kebenaran tersembunyi di masa lalu, maka aku akan menemukannya."
Udara dingin musim semi menyusup ke pori-pori Shin Tian ketika kesadarannya kembali perlahan. Helaan napas pertamanya terasa seperti menarik dunia baru—meski ia tahu, ini dunia lamanya. Aroma tanah basah bercampur serpihan wangi bambu dan sisa hujan menari memasuki hidungnya. Embun tipis menempel di rambut dan alisnya, seakan alam sendiri sedang memeriksa apakah ia benar-benar kembali, atau hanya bayang-bayang yang tersesat di antara lipatan waktu.Ia berbaring di atas lantai batu yang dinginnya membekukan tulang. Saat pandangannya mengarah ke atas, bentuk raksasa menjulang menutup langit... menara tua yang tubuhnya diselimuti lumut, dan di puncaknya tergantung sebuah lonceng perunggu raksasa, diam tetapi sekaligus mengancam.Sebelum kesadarannya benar-benar kembali, terdengar...DONG! DONG! DONG!Suara lonceng itu menggema di seluruh dadanya seperti palu yang memaku jiwanya kembali ke dunia nyata. Detak waktu meneguhkan keberadaannya.Mata Shin Tian terbelalak. Bibirnya bergetar.
Dimensi Arkheion – Dunia Di Antara Waktu.Shin Tian membuka matanya. Ia berdiri di atas permukaan kristal yang memantulkan bintang-bintang di bawah kakinya. Di sekelilingnya, ribuan jam melayang di udara, berdetak dengan ritme berbeda. Setiap detak menciptakan gelombang waktu yang melengkung di sekitar tubuhnya.“Jadi ini… Arkheion,” bisiknya.Dari kejauhan, cahaya putih muncul—seorang wanita berjubah panjang hitam berjalan perlahan, rambutnya hitam, mata birunya jernih seperti cermin. Shin Tian terdiam. Ia mengenali wajah itu dari mimpi, dari kenangan samar yang tersisa di dalam darahnya.“Shin Ling…”Sosok itu tersenyum. “Kau akhirnya datang, Tian.” Suaranya lembut, namun bergema di setiap arah, seolah berbicara langsung ke masa lalu dan masa depan sekaligus. “Aku menunggumu selama delapan abad.”Shin Tian maju satu langkah. “Kau membuka eksperimen ini demi mencegah kehancuran. Tapi yang terjadi justru menciptakan Hydra Concord dan dunia bayangan.”Shin Lin menunduk. “Aku tahu. Kesa
Hujan turun deras di atas Shanghai, menampar kaca-kaca gedung ShinCorp dengan ritme kacau seperti detak jantung dunia yang panik. Di tengah gemuruh petir dan kilatan lampu kota yang tak pernah tidur, dua sosok melangkah keluar dari pintu rahasia di bawah tanah—Abigail dan Shin Tian.Helikopter taktis dengan rotor siluman menunggu di puncak menara sebelah. Mereka bergerak cepat, menembus badai, menyembunyikan diri di bawah frekuensi radar Hydra Concord. Abigail duduk di kursi belakang, jari-jarinya menekan earpiece kecil di telinga.“Semua sistem pelacak di ShinCorp telah dibersihkan. Tapi mereka akan menemukan jejak elektromagnetik Mesin Tempus dalam waktu kurang dari dua jam.”“Cukup waktu untuk kabur dari Shanghai,” sahut Shin Tian datar, menatap keluar jendela ke arah samudra yang gelap.Ia diam sejenak, lalu berbisik rendah, “Arkheion… kau tahu di mana tepatnya?”Abigail menatapnya dengan mata tajam. “Bukan sekadar tahu. Aku pernah melihat peta fragmennya dalam mimpi—atau mungkin…
Suara alarm masih meraung, memenuhi ruang bawah tanah ShinCorp dengan cahaya merah berdenyut. Mesin Tempus di tengah ruangan berputar semakin cepat, seolah merespons ancaman yang bahkan belum terlihat oleh mata telanjang.Abigail berdiri tegang di samping panel kendali, jemarinya bergerak cepat di atas permukaan holo, mencoba menstabilkan medan waktu. Shin Tian, dengan tatapan tajam, berjalan perlahan mengitari silinder energi itu, merasakan arus qi yang saling bertabrakan seperti dua sungai liar.“Apa yang kau lakukan?” Shin Tian menatap Abigail dengan nada waspada.“Mesin ini… bereaksi padamu,” jawab Abigail tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Saat kau mendekat, frekuensinya melonjak dan memicu temporal breach—celah waktu. Itu artinya darah kita memiliki keterkaitan.”Shin Tian menatap kristal ungu Chrono Essence yang berputar di pusat mesin, lalu kembali pada Abigail. “Bukan hanya keterkaitan. Darahmu… beresonansi dengan garis keturunan Shin Lin. Itu berarti—”“Aku adalah rein
Langit di atas Kota Shanghai saat itu berwarna kelabu—awan-awan menggantung berat seakan menekan puncak-puncak gedung pencakar langit yang diselimuti kabut elektronik. Di dalam ruang rapat eksklusif lantai 99 gedung pusat ShinCorp, sebuah pertemuan rahasia tengah berlangsung.Lantai kaca transparan memantulkan siluet lima orang berpakaian formal, duduk melingkar di depan layar melayang. Di tengah layar, wajah Shin Tian membeku dalam potret digital yang baru saja diambil dari kamera keamanan apartemen Abigail. Data biometrik dan sinyal qi anomali tertulis di sampingnya.Seorang pria tua dengan rambut putih keperakan menyipitkan mata. “Energinya… bukan dari dunia ini. Resonansi spiritualnya identik dengan pola-pola kuno dalam Kitab Darah Shin.”“Dan ia mengklaim sebagai sahabat Shin Lin,” ujar seorang wanita dengan suara dingin, mengenakan seragam militer bertuliskan ‘Divisi X : Dimensional Time Warfare’.“Ini bukan sekadar klaim,” jawab yang lain, “data DNA-nya cocok dengan garis darah
Mobil Porsche berwarna silver itu meluncur pelan menembus malam kota yang basah oleh gerimis. Lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela, menciptakan garis-garis cahaya yang seperti menggores waktu. Di dalam mobil, suasana terasa hening namun tegang.Abigail sesekali melirik ke pria aneh yang duduk di sampingnya. Jubah koyaknya kini dibalut mantel tebal yang ia berikan, tapi tatapan matanya… tatapan itu seperti milik orang yang telah melihat dunia terbakar dan bangkit dari abu.“Kau yakin tak perlu ke rumah sakit?” tanya Abigail dengan nada ragu.“Aku tidak terluka. Hanya… terguncang,” jawab Shin Tian pelan, suaranya dalam dan tenang. “Dunia ini… berbeda dari yang aku kenal. Tapi kau… dan nama yang kau bawa… itu menarik perhatianku.”Abigail mengernyit. “Kau masih belum menjelaskan apa maksudmu dengan ‘datang dari masa Shin Lin’. Kau bicara seolah itu bukan sejarah.”Shin Tian menoleh ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang seolah menusuk langit.“Karena bagiku… itu bukan sejara







