Share

Bab 9

Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.

Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.

Tok! Tok!

Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar.

"Masuk!"

Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.

Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja.

"Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.

Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu."

"Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan badai atau gunung meletus, saat kau memanggilku, aku akan berlari padamu tanpa ragu."

"Jadi, apa yang kau bawakan untukku, Kevin?"

"Ya ampun, Karel! Bertahun-tahun tak bertemu, pada pertemuan pertama kita kau bahkan tak menawariku secangkir teh. Ter-la-lu!"

Kevin mengempaskan punggung pada sandaran sofa.

Karel tersenyum tipis, kemudian bangkit menuju sebuah mini bar. Ia membuatkan secangkir teh untuk Kevin.

"Kau tuan rumah yang buruk," ujar Karel. "Aku baru saja tiba di kota ini, tapi kau malah memintaku membuatkan teh untukmu. Dunia terbalik!"

Kevin menulikan telinga terhadap sindiran Karel. Ia menghidu aroma teh sambil memejamkan mata.

"Kau menambahkan tanaman herbal?"

"Aku bisa menelanjangi isi pikiranmu. Sialnya, aku tak pernah tega untuk mengecewakanmu."

Karel menjawab acuh tak acuh.

Kevin terkekeh. "Kau memang sahabat terbaikku. Aku tidak akan pernah menyesal jika seumur hidup harus menjadi budakmu."

"Tidak usah merayu! Cepat habiskan tehmu dan laporkan padaku hasil penyelidikanmu!"

Pffft!

Kevin menyemburkan teh di mulutnya sambil melotot. Ia geleng-geleng kepala sesaat, kemudian tenggelam dalam kenikmatan menyesap teh herbal yang disuguhkan Karel.

Ia tidak akan menyia-nyiakan setiap tetes yang tersisa.

Konon, Karel berhasil menemukan tanaman herbal yang berkhasiat untuk meremajakan sel-sel tubuh.

Kalau saja ia dapat mengonsumsinya secara rutin, ia tidak perlu khawatir soal akan menjadi tua.

Sambil melanjutkan pekerjaannya yang terjeda, Karel sabar menanti sampai Kevin menaruh kembali cangkir yang sudah kosong di atas meja.

"Aku seperti terlahir kembali!" seru Kevin, menggerak-gerakkan otot bahu.

Setiap saraf di tubuhnya seakan dialiri energi baru.

Kevin meraih amplop cokelat yang tergeletak di atas meja, menyerahkannya pada Karel.

"Tuan De Groot dan putrinya akan menghadiri pesta bangsawan di Kota Novus."

Sebuah seringai misterius terbit di wajah Karel. Ia jadi lebih bersemangat membuka amplop yang dibawa Kevin.

"Tidak buruk! Kau masih bisa diandalkan, meskipun sangat sibuk."

"Apa kau mau aku memberikan peringatan untuk mereka?"

"Tidak perlu. Siapkan saja hadiah kecil untuk menyambut kepulangan mereka di perbatasan kota!"

"Aku mengerti."

"Kau boleh pergi sekarang!"

"Hah!"

"Waktu dua hari itu tidak lama. Bukankah kau harus memikirkan dan melakukan persiapan untuk menyambut Tuan De Groot?"

Kevin tak bisa berkata-kata.

Dua hari berlalu bagai dua menit.

Di sebuah kamar Hotel Flamboyan, seorang lelaki berkata dengan nada tinggi, "Xela, kemasi barang-barangmu sekarang! Kita pulang!"

"Ayah, hari sudah malam. Tidak bisakah kita pulang besok pagi saja?" rengek Xela, menatap penuh harapan di sela rasa takutnya pada sang ayah.

"Apa kau menginginkan kita jatuh miskin? Aku ada pertemuan penting besok pagi," tolak Tuan De Groot.

"Tapi, Ayah—"

"Kalau kau terus membantah, aku tidak akan segan-segan mengurungmu lagi!"

Xela terdiam. Memori otaknya memutar ulang kenangan pada masa dua belas tahun yang silam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status