"Tempat apa ini, Ayah?"
Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan Karel tercekat. Sulit sekali mengeluarkan serangkaian kata yang berseliweran di pikirannya.Berkali-kali ia menepuk pipi. Apa ia sedang bermimpi? Atau semua yang terjadi padanya dua bulan ini hanya halusinasi?Yang sebenarnya adalah dia telah mati. Benarkah begitu?Tiba-tiba Karel merasakan sekujur tubuhnya menggigil. Apa selama ini ia hanya berbicara sendiri?"Dia ... Karel. Putraku!"Karel terhuyung. "Tidak! Aku belum mati! Aku tidak mau mati! Aku masih hidup!""Karel! Hei, tenanglah!"Profesor Jansen memapah Karel seraya mengelus punggungnya. "Kau memang masih hidup!""T–tapi ... j–jasad itu ...."Karel tak sanggup meneruskan kalimatnya. Jarinya bergetar menunjuk sosok Karel yang terkurung dalam peti kaca itu."Ayo lihat lebih dekat!"Karel menurut saja ketika Profesor Jansen menuntunnya untuk melangkah maju. Sebab, untuk menolak pun, ia tak punya tenaga.Semakin lama ia mengamati sosok Karel yang terbujur kaku, kian ia merasa bahwa dirinyalah yang terbaring tak bernyawa itu.Profesor Jansen mengeluarkan selembar kartu mahasiswa dari dompetnya, lalu menyerahkan kartu itu kepada Karel.Mata Karel terbelalak membaca data diri yang tercantum pada kartu tersebut."K–Karel J.?""Ya. Karel Jansen. Dia putra tunggalku.""S–sulit dipercaya. D–dia doppelganger-ku. Aku bahkan hanya sehari lebih tua darinya."Karel tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis mengetahui kenyataan itu."Ya. Karena itu, kuharap kau tak keberatan menganggap putra kandungku sebagai adik kembarmu.""Keberatan? T–tidak, Ayah. Aku malah sangat bersyukur mendapat keluarga baru. Terima kasih, Ayah!" Karel membungkuk takzim.Dia menyentuh permukaan kaca yang berada tepat di atas wajah jenazah Karel."Seandainya kau masih hidup, aku akan menjadi orang paling beruntung di dunia, karena dianugerahi seorang saudara kembar setelah belasan tahun merasa kesepian tanpa adik ataupun kakak."Maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk merebut ayahmu."Profesor Jansen menepuk pundak Karel. "Kau tidak merebutku dari anakku. Kau datang justru untuk mewakili dirinya dalam mewujudkan semua mimpinya."Dia punya impian besar, tapi sekumpulan orang jahat telah memutus jalannya untuk menggapai impian itu.""Dia ... sengaja dibunuh?""Dia mengalami kecelakaan ketika dalam perjalanan menuju Distrik Penna, tapi sebagai ayah ... firasatku tak bisa memercayai kabar itu begitu saja."Polisi tak bisa menangkap sopir trailer yang menabrak anakku dan memutuskan untuk menutup kasusnya. Bukankah itu aneh?""Ya. Aneh!" Mata Karel berkilat marah. "Aku akan mencari orang itu untuk membalaskan dendam adikku, Yah.""Kalau begitu, belajarlah dengan sungguh-sungguh! Saat semester baru dimulai, kau akan kuliah di Fakultas Kedokteran dengan identitas Karel J.""Aku?" Karel menunjuk diri sendiri. "Menggantikan dia?""Kau tak kalah cerdas darinya. Aku akan mengajarimu dan juga mendatangkan profesor lain untuk membantumu. Anggap saja kau kehilangan ingatan setelah mengalami kecelakaan itu!""Tapi, Yah ... bukankah kematian Karel telah tersebar?"Profesor Jansen menggeleng. "Dia masih koma saat aku memutuskan untuk membawanya pulang dan merawatnya secara pribadi."Karel menatap iba pada saudara kembarnya yang tak sedarah.'Akan kucari dalang di balik kematianmu, Adikku! Akan kuburu mereka walau ke lubang semut sekalipun!'Dua belas tahun kemudian ....Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening
"Tuan, ada mobil yang mengikuti kita dari tadi," lapor sopir yang mengendarai kendaraan milik Tuan De Groot.Sorot matanya beriak cemas, melirik spion samping berulang kali."Kau pikir ini jalan pribadiku?" sentak Tuan De Groot, merasa kesal lantaran niatnya untuk memejamkan mata terganggu."Tapi ini mencurigakan, Tuan. Saya telah mengedipkan lampu dan menepi agar mereka bisa mendahului, tapi mereka justru memperlambat setelah berhasil menyejajari kendaraan kita.""John, kau berpikir terlalu jauh. Apa ini untuk pertama kalinya kau menempuh perjalanan jarak jauh?"Sebagai sopir, bukankah seharusnya kau tahu bahwa lebih baik mengurangi kecepatan daripada mengambil risiko beradu kambing dengan lawan dari arah depan?"Sudahlah! Berkendara saja dengan baik! Jangan ganggu aku! Aku ingin istirahat!"Ckiiit!John membanting setir ke kiri dan menginjak pedal rem dengan kuat."John! Kau ingin mati, hah?!"Tuan De Groot meledak. Baru saja ia berpesan pada sang sopir untuk membiarkannya beristira
"Akh! Sial! Tangkap wanita itu! Jangan biarkan dia lolos!" lolong lelaki bergigi tonggos setelah Xela berhasil menggigit lengannya.Xela mencopot sepatu berhak tinggi yang dikenakannya, lalu berlari dengan kecepatan penuh."Terus lari, Xela! Jangan pedulikan aku!" teriak Tuan De Groot, menyemangati putrinya.Dua anak buah lelaki bergigi tonggos memenjarakan dirinya dalam cengkeraman erat mereka.Xela terus berlari menembus malam, menyelamatkan diri dari kejaran lelaki bergigi tonggos dan dua orang anak buahnya.Dugh!Sebuah sepatu menghantam belakang lutut Xela, membuatnya jatuh tersungkur mencium tanah."Hahaha ... mau lari ke mana lagi, Nona?"Xela tak akan membiarkan para pemburu nafsu itu mendapatkan apa yang mereka inginkan dari dirinya.Sambil meringis menahan perih pada wajahnya yang tergores permukaan jalan, Xela kembali bangkit. Berlari dengan tertatih-tatih."Tolooong!"Ckiit!Sebuah motor besar yang melintas menginjak rem, sejengkal sebelum menabrak Xela.Merasa mendapat per
Karel menarik lepas tanda bekas luka yang menempel pada wajah dan punggung tangannya.Ia merendam benda yang terlihat seperti karet itu dalam cairan khusus, kemudian membersihkan wajahnya dari sisa-sisa polesan make-up."Kau keren, Bro! Dulu, aku tidak mengerti kenapa seorang mahasiswa kedokteran mengikuti kursus olah vokal dan program kecantikan."Ck! Ternyata kau menyiapkan senjata untuk balas dendam dari jauh-jauh hari."Kevin setia menunggu Karel menyelesaikan aktivitasnya sambil terus memperhatikan setiap detail gerakan tangan Karel.Apa memang gerakan tangan seorang dokter seluwes itu? Bahkan, saat menyapu wajah dengan perlengkapan kosmetik pun tampak sangat ahli dan lincah."Kevin, sukses itu tidak turun dari langit dalam hitungan hari. Kalau punya tujuan di masa depan, kau harus merintis jalan dengan mempersiapkan rencana yang matang."Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat menguasai keterampilan make over dan mengubah suara. Aku tidak ingin bekerja dengan setengah-setenga
"Bagus kau akhirnya datang. Jika tidak, aku akan memaksamu dengan caraku.""Mana berani saya tidak menghargai undangan Anda, Tuan De Groot."Karel benci harus berpura-pura ramah pada permukaan, sementara hatinya dipenuhi gelegak amarah.Namun, demi membalaskan sakit hatinya yang berkarat, ia harus melakoni perannya dengan sangat baik."Itu artinya, kau setuju untuk bekerja sebagai sopir dan pengawal pribadi putriku, bukan?""Saya tidak bisa memutuskan, Tuan. Anda sendiri yang akan memutuskannya. Saya hanya bisa bekerja untuk putri Anda, jika Anda berkenan memenuhi persyaratan dari saya."Tuan De Groot tak berkedip menatap Karel. Lelaki berwajah jelek di depannya itu cukup punya nyali untuk bernegosiasi dengannya.Kalau bukan karena lelaki itu telah menyelamatkan harga diri putrinya, ia tidak akan bersikap lunak kepada seseorang yang berani meningkahi kata-katanya."Katakan!""Terima kasih! Anda sangat pengertian, Tuan."Pujian Karel melambungkan arogansi Tuan De Groot. Dagunya terangka
"Kau boleh mengujinya!" Tuan De Groot berbalik ke dalam.Setelah merenungi rangkaian kalimat dari Lewis, keyakinannya pada Karel sedikit goyah. Akan tetapi, dia tidak mungkin menarik kembali kata-katanya pada Karel.Jalan satu-satunya hanyalah membiarkan Lewis menguji kemampuan Karel.Jika lelaki itu mampu mengalahkan Lewis, maka dia layak untuk dipertahankan. Sebaliknya, bila anak itu gagal, ia punya alasan untuk memecatnya.Dengan merestui Lewis untuk berhadapan secara langsung dengan Karel, dia tidak hanya mendapat kesempatan untuk membuktikan kemampuan Karel, tetapi juga memiliki alasan untuk menyingkirkan anak itu tanpa merasa bersalah.Tuan De Groot menyeringai licik. Membayangkan ia membunuh dua ekor burung dengan satu batu.Lewis tersenyum senang sembari mengusap tinju. Kesempatan untuk menyingkirkan saingan akhirnya datang.Ia berteriak lantang, menghentikan langkah Karel yang nyaris mencapai pintu gerbang."Berhenti!"Seiring dengan berakhirnya teriakan Lewis, lelaki itu mem
Karel menyambut hantaman Lewis dengan tendangan bertenaga. Walau ia hanya mengerahkan sebagian kecil dari kekuatannya, akibatnya cukup fatal.Lewis terbang sejauh lebih dari sepuluh meter. Punggungnya menghantam batang pohon palem, sebelum akhirnya jatuh tertelungkup di atas bebatuan hias."Aaakh!"Lewis merintih kesakitan. Tulang rusuknya berderak patah.Baru saat itulah ia sadar kenapa Tuan De Groot memercayakan pengawalan putri semata wayangnya kepada Karel.Lelaki bertampang menyeramkan itu tidak hanya menakutkan dari segi penampilan, tetapi juga mengerikan dalam hal kekuatan.Tubuh Lewis berkeringat dingin. Ia terlalu bangga dengan kemampuannya, hanya karena ia menjadi pemimpin dari sebuah perguruan seni bela diri.Hari ini matanya terbuka lebar. Kekuatannya tidak ada seujung kuku dari keahlian Karel.Dia dan anak buahnya terkapar, sementara Karel tak sedikitpun menderita lecet.Jangankan mengalahkan Karel, berhasil menyentuh ujung rambutnya pun tidak.Karel mendekati Lewis dengan