Share

Bab 8

"Tempat apa ini, Ayah?"

Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa.

"Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru."

"Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit."

"Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."

Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.

Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.

Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.

Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.

Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu.

"A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"

Kerongkongan Karel tercekat. Sulit sekali mengeluarkan serangkaian kata yang berseliweran di pikirannya.

Berkali-kali ia menepuk pipi. Apa ia sedang bermimpi? Atau semua yang terjadi padanya dua bulan ini hanya halusinasi?

Yang sebenarnya adalah dia telah mati. Benarkah begitu?

Tiba-tiba Karel merasakan sekujur tubuhnya menggigil. Apa selama ini ia hanya berbicara sendiri?

"Dia ... Karel. Putraku!"

Karel terhuyung. "Tidak! Aku belum mati! Aku tidak mau mati! Aku masih hidup!"

"Karel! Hei, tenanglah!"

Profesor Jansen memapah Karel seraya mengelus punggungnya. "Kau memang masih hidup!"

"T–tapi ... j–jasad itu ...."

Karel tak sanggup meneruskan kalimatnya. Jarinya bergetar menunjuk sosok Karel yang terkurung dalam peti kaca itu.

"Ayo lihat lebih dekat!"

Karel menurut saja ketika Profesor Jansen menuntunnya untuk melangkah maju. Sebab, untuk menolak pun, ia tak punya tenaga.

Semakin lama ia mengamati sosok Karel yang terbujur kaku, kian ia merasa bahwa dirinyalah yang terbaring tak bernyawa itu.

Profesor Jansen mengeluarkan selembar kartu mahasiswa dari dompetnya, lalu menyerahkan kartu itu kepada Karel.

Mata Karel terbelalak membaca data diri yang tercantum pada kartu tersebut.

"K–Karel J.?"

"Ya. Karel Jansen. Dia putra tunggalku."

"S–sulit dipercaya. D–dia doppelganger-ku. Aku bahkan hanya sehari lebih tua darinya."

Karel tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis mengetahui kenyataan itu.

"Ya. Karena itu, kuharap kau tak keberatan menganggap putra kandungku sebagai adik kembarmu."

"Keberatan? T–tidak, Ayah. Aku malah sangat bersyukur mendapat keluarga baru. Terima kasih, Ayah!" Karel membungkuk takzim.

Dia menyentuh permukaan kaca yang berada tepat di atas wajah jenazah Karel.

"Seandainya kau masih hidup, aku akan menjadi orang paling beruntung di dunia, karena dianugerahi seorang saudara kembar setelah belasan tahun merasa kesepian tanpa adik ataupun kakak.

"Maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk merebut ayahmu."

Profesor Jansen menepuk pundak Karel. "Kau tidak merebutku dari anakku. Kau datang justru untuk mewakili dirinya dalam mewujudkan semua mimpinya.

"Dia punya impian besar, tapi sekumpulan orang jahat telah memutus jalannya untuk menggapai impian itu."

"Dia ... sengaja dibunuh?"

"Dia mengalami kecelakaan ketika dalam perjalanan menuju Distrik Penna, tapi sebagai ayah ... firasatku tak bisa memercayai kabar itu begitu saja.

"Polisi tak bisa menangkap sopir trailer yang menabrak anakku dan memutuskan untuk menutup kasusnya. Bukankah itu aneh?"

"Ya. Aneh!" Mata Karel berkilat marah. "Aku akan mencari orang itu untuk membalaskan dendam adikku, Yah."

"Kalau begitu, belajarlah dengan sungguh-sungguh! Saat semester baru dimulai, kau akan kuliah di Fakultas Kedokteran dengan identitas Karel J."

"Aku?" Karel menunjuk diri sendiri. "Menggantikan dia?"

"Kau tak kalah cerdas darinya. Aku akan mengajarimu dan juga mendatangkan profesor lain untuk membantumu. Anggap saja kau kehilangan ingatan setelah mengalami kecelakaan itu!"

"Tapi, Yah ... bukankah kematian Karel telah tersebar?"

Profesor Jansen menggeleng. "Dia masih koma saat aku memutuskan untuk membawanya pulang dan merawatnya secara pribadi."

Karel menatap iba pada saudara kembarnya yang tak sedarah.

'Akan kucari dalang di balik kematianmu, Adikku! Akan kuburu mereka walau ke lubang semut sekalipun!'

Dua belas tahun kemudian ....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status