Share

Bab 10

Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa.

"Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu.

"Akh! Ayah, sakit!"

"Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"

Plak!

Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih.

"A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?"

"Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"

Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.

Tuan De Groot terus menyeret Xela. Meninggalkan rumah besar itu lewat pintu belakang, lalu mendorongnya dengan kuat memasuki sebuah gudang tua, gelap, dan pengap.

Dia mengunci gadis yang jatuh terjerembap itu tanpa rasa belas kasihan.

Xela menggedor-gedor pintu dengan tangannya yang lemah.

"Ayaaah ... keluarkan aku dari siniii! Aku takut! Aku tidak mau dikurung di tempat ini!"

Hingga tenggorokannya terasa kering, hanya keheningan dan desau angin yang membalas lengking ketakutan Xela.

Lutut Xela gemetar. Kepalanya tanpa sadar menggeleng. Dia tidak ingin pengalaman buruk itu terulang kembali.

Cukup di masa remaja saja ia menghabiskan malam dengan berteman kecoak dan tikus yang menjijikkan, di dalam ruangan berbau apak dan penuh debu.

"B–baik, Ayah. A–aku akan bersiap."

Rasa trauma memaksa Xela untuk mengalah.

Tuan De Groot melirik arloji di pergelangan tangannya. "Waktumu hanya tiga puluh menit!"

Xela mengempaskan napas putus asa dengan kedua bahu yang melunglai ketika ayahnya berjalan bak seorang tiran, meninggalkan kamar hotel.

Bergegas ia mengemasi barang pribadinya. Tak peduli apakah barang-barang itu tersusun rapi atau tidak. Otaknya hanya fokus pada limit waktu yang ditentukan sang ayah.

"Kau nyaris terlambat!" komentar Tuan De Groot saat Xela tiba di meja resepsionis untuk check out.

Di kamar presidential suite, Karel menerima panggilan telepon. Tegak di atas balkon, menghadap barisan pegunungan yang terlihat seperti bayang kelam menakutkan.

"Mereka baru saja meninggalkan hotel," lapor sebuah suara dari seberang telepon.

Karel menyeringai. Memutus panggilan tanpa menyahut sepatah kata.

Jika langit merestui niat seorang anak manusia, dia tidak perlu bersusah payah untuk mencari kesempatan ataupun menciptakan peluang. Peluang dan kesempatan itu akan datang dengan sendirinya.

Tugasnya hanyalah menyambar peluang serta memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin.

Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha.

Karel membuka sebuah tas kecil yang penuh dengan perlengkapan kosmetik.

Ia mematut diri di depan cermin. Jemarinya bergerak terampil memainkan kuas serta peralatan kosmetik lainnya.

Dalam waktu kurang dari satu jam, ia berhasil melakukan make over terhadap wajahnya.

Rupanya yang menawan dengan garis rahang kokoh serta bibir merah alami telah beralih rupa seperti monster.

Pipi kirinya yang semula mulus dan cerah, kini dihiasi dengan segaris bekas luka memanjang dari bawah pelipis hingga ke sudut bibir.

Sementara pada pelipis kanannya terdapat codet berbentuk petir, yang ujungnya menyentuh alis.

Kulit mukanya nan halus terlihat kusam dan kasar, penuh noda bekas jerawat.

Sebagai sentuhan terakhir, Karel menambahkan bekas luka yang cukup lebar pada punggung tangan kanannya.

"Wow!"

Karel terkesima dengan penampilannya sendiri.

Jangankan orang lain, dia saja tak mengenali dirinya jika bukan dia sendiri yang memermak wajahnya itu.

Rupanya kini berbanding terbalik hingga seratus delapan puluh derajat.

Hilang sudah pesona tampan yang membuat hati kaum hawa meleleh dalam sekejap. Yang tersisa pada saat melihat penampilan wajahnya kini hanyalah perasaan jijik dan ngeri.

"Ah, ada yang kurang!"

Karel membaca setiap label dari stok minyak rambut yang dia punya.

Senyumnya mengembang ketika menemukan kata wax.

Tampil dengan rambut sedikit kaku dan tegak akan menyempurnakan kesan preman dan aura menyeramkan dari dirinya.

Karel menaikkan kerah jaket kulit yang dikenakannya seraya menyeringai sinis. Setelah memasang kacamata hitam, ia menyalakan pemantik di tangan. Memperdengarkan bunyi 'ctak' yang cukup keras.

"Tuan De Groot," desis Karel, dengan seringai mengejek dan mata berkilat licik. Ia mengangkat pemantik, menatap tak berkedip pada nyala api yang meliuk. "Aku datang untuk menghancurkanmu!"

Fiuh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status