LOGIN"Aku mau cuti." Elian mengatakan hal itu dengan ponsel yang menempel di telinga.
"Kau bilang apa?" Suara teriakan yang cukup keras, terdengar dari ponsel. "Aku mau mengambil cuti, Ariana." Elian memperjelas apa yang dia ucapkan tadi. "Setelah dua tahun lebih bekerja tanpa cuti, sekarang aku mau cuti." "Tapi tidak lama kan?" tanya Ariana terdengar agak panik. "Hanya satu atau dua hari saja. Belum pasti, tapi tidak lama dan maaf karena tiba-tiba." Elian tidak lupa menambah kata maaf itu. "Aku butuh waktu sendiri." "Ya sudahlah." Suara embusan napas terdengar cukup keras dari sambungan telepon. "Tapi aku beneran tidak bisa memberi cuti lama, karena belakangan ini aku gampang sekali capek." "Itu karena hormon ibu hamil dan aku bisa mengerti." Elian mengangguk pelan. "Aku usahakan semua selesai paling lama dua hari." "Oh, jangan lupa kasih tahu aku kau mau ke mana." Ariana menambahkan sebelum menutup telepon. "Siapa tahu aku tiba-tiba perlu bantuanmu, jadi bisa langsung kirim heli." "Nanti akan kukirim." Setelah meminta izin, Elian mematikan ponsel. Dia sedang duduk di dalam kereta yang melaju cepat. Suasananya masih agak sepi, karena jam kerja masih agak lama. Kebetulan, Elian memang sengaja mengambil kereta yang berangkat pertama untuk pergi ke tempat yang dia tuju. Pemandangan di yang terlihat di sekitar, tidak asing bagi Elian. Dia sudah sangat familiar dengan pemandangan indah yang sebagian besar dihiasi dengan hijaunya daun di pohon tinggi. Namun, tentu saja pemandangan itu tidak bisa dinikmati terus karena Elian harus turun. "Rasanya sudah lama juga sejak terakhir kali," gumam Elian sambil memotret plang nama stasiun, untuk dikirim ke Ariana. "Sekarang, aku harus tunggu taksi online dulu dan mungkin menelepon." Elian langsung menempelkan ponsel ke telinga, ketika pada akhirnya dia sudah bis duduk lagi di dalam mobil. Perlu waktu cukup lama, sebelum akhirnya teleponnya tersambung. "Mon Cherie, apa ada sesuatu?" Suara parau yang tidak bertenaga terdengar. "Tidak ada apa-apa, Pierre." Elian tersenyum ketika bicara, walau tidak ada yang melihat. "Aku hanya kangen." "Oh, anakku. Kalau kangen, kau bisa datang saja. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, lagi pula rasanya sudah lama kau tidak datang." "Terakhir kali sudah hampir satu tahun lalu dan coba tebak sekarang aku ada di mana?" "Kau pasti sudah dalam perjalanan ke sini kan?" Pierre dengan mudah menebak. "Apa kau mau memberi kejutan untuk pria tua ini?" "Aku hanya kangen." Elian menegaskan. "Jadi tunggu aku ya. Sebentar lagi aku akan sampai." Elian mematikan ponselnya dengan ekspresi yang lebih tenang, dibanding saat menelepon Ariana tadi. Padahal, hidupnya dulu jauh lebih sulit, tapi rupanya menghadapi Sebastian sudah membuatnya kewalahan dan butuh hiburan. "Pierre." Elian terlihat ceria ketika memanggil lelaki berambut putih yang sedang duduk di teras. "Kau cepat sekali." Pierre berusaha bangkit dengan cepat. "Apa tidak pergi kerja." "Tentu saja tidak." Elian membantu lelaki tua itu untuk berdiri. "Aku tidak akan ada di sini kalau kerja." "Aku senang kau mau cuti hanya untuk datang melihat orang tua ini." Pierre tersenyum, sambil menepuk pelan lengan Elian. "Kau masih suka pakai turtle neck rupanya." "Ah, ini." Elian langsung meringis pelan. "Tunggu di sini dan aku akan membawa sarapan untukmu." Tiba-tiba saja, Pierre mengubah topik pembicaraan. "Eh, jangan." Tentu saja Elian akan melarang. "Biar aku saja." "Kau itu tamu, Eli." Pierre menggeleng pelan. "Jadi kau hanya perlu duduk dan menunggu saja. Tidak perlu kerja, lagi pula nanti tanganmu yang halus jadi kasar." "Tunggu saja dengan sabar dan kau bisa makan roti Baguette yang enak. Aku masih bisa kalau hanya seperti itu kok." Pada akhirnya, Elian hanya bisa mengalah dan duduk di teras. Kebetulan di sana ada semacam kursi dan meja piknik yang biasa dipakai untuk makan, jika cuaca sedang bagus. Pemandangan padang hijau yang membuat benda itu ada di sana. Elian pun menikmati pemandangan sekitar yang indah dan membuatnya menarik napas panjang. "Rasanya sudah lama sejak menghirup udara segar begini," ucapnya setelah lama melihat sekitar. "Maaf lama menunggu." Pierre muncul, dengan senyum lebar. "Biar aku bantu." Elian dengan cepat mengambil alih nampan yang dipegang pria tua itu. "Padahal sudah kubilang tidak usah." Walau kesal, Pierre tetap tersenyum. "Aku kan sudah menganggapmu ayah sendiri," ucap Elian ikut tersenyum. "Jadi setidaknya, biarkan aku melakukan tugas anak." "Sudah lama juga ya sejak saat itu." Pierre ikut memandangi hijaunya bukit rendah di dekat rumah. "Sejak aku pertama kali melihatmu penuh luka." Elian hanya bisa tersenyum tipis saja mendengar kenangan lama itu. Tatapan matanya menerawang, mengingat kilatan masa lalu yang terlintas begitu saja di kepalanya. "Tapi masa lalu tinggallah masa lalu." Pierre lagi-lagi dengan cepat mengganti topik pembicaraan. "Sekarang, kita bicara tentang masa depan saja." "Masa depan apa?" Elian tersenyum lebih lebar mendengar ucapan orang tua di depannya. "Tentu saja masa depanmu, Cherie." Pierre mencolek dagu lancip Elian. "Seperti yang aku bilang kemarin, aku mau melihatmu menikah." "Pierre itu sepertinya agak ...." Belum juga Elian selesai bicara, suara bising terdengar. Awalnya pelan saja, tapi makin lama makin besar. Angin pun terasa lebih kencang, membuat dua orang yang sedang bicara itu mendongak ke atas. "Apa kau pesan helikopter untuk dijemput?" tanya Pierre dengan kening berkerut. "Tidak." Elian dengan cepat menggeleng, kemudian mengambil ponselnya. "Lagian bosku tidak bilang mau jemput." Kening Elian langsung berkerut melihat satu-satunya pesan yang terpampang nyata di depan layar. Itu bukan dari bosnya Ariana, tapi dari orang yang sedang dia hindari. [Sebastian Leclerc: Aku lihat dari postinganmu, kau sepertinya pergi berlibur ya?]"Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "
"Wah, coba lihat dia." "Apa itu benar Elian?" "Kalau diperhatikan lagi, dia kelihatan seperti Cara Delevingne ya." "Tampan dan cantik." "Sejak dulu dia memang begitu, tapi sekarang jadi lebih gila lagi." Elian berdehem pelan, saat dia masuk ke dalam lift. Itu dia lakukan karena dirinya bisa mendengar semua celotehan orang-orang di sekitar. Bahkan di dalam lift yang tidak banyak orang pun masih ada yang menatapnya dari atas sampai bawah sambil berbisik. "Kau kenapa?" Sebastian bertanya, sambil menatap sang istri. "Apa tenggorokanmu gatal? Gejala batuk?" "Tidak apa-apa kok." Elian dengan cepat menggeleng. "Mungkin kurang minum air." "Oh, aku bawa tumbler." Sebastian segera mengambil ransel yang tersampir di bahunya. "Minum saja dulu ini, lalu nanti aku akan belikan obat pelega tenggorokan." "Wah, kau lihat itu?" "Sebastian manis sekali ya." "Perhatian banget. Aku juga mau suami seperti itu." Mendengar suara bisikan di sekitarnya, Elian yang sedang minum itu sampa







