Share

Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku
Lelaki Masa Lalu yang Hadir Setelah Kepergian Suamiku
Author: Sylviana Mustofa

Bertemu dengan Pria di Masa Lalu

"Eh, lihat deh si Aida. Anaknya mecing terus. Padahal dia kan janda, kerja juga cuma di konter hape biasa, tapi lihat tuh si Zaka. Udah kayak sultan, pakaian dan barang-barang nya bagus semua. Harusnya lihat keadaan lah kalau mau banyak gaya," celetuk Mbak Husna, istri dari Mas Teguh, kakak iparku.

 

"Terus lihat tuh dia. Bajunya juga bagus-bagus. Sok nya kelewatan nggak sih?" sambung Mbak Retno kemudian. Dia adalah istri dari Kak Wijaya yang juga kakak iparku. 

 

Mereka adalah istri-istri dari saudara iparku. Aku datang ke sini untuk menghadiri acara hajatan adik ipar yang bungsu, saudara Mas Dwi yang ke 3. Suamiku meninggal satu tahun yang lalu, yang membuat aku jadi single parent. Beruntung kami sudah memiliki rumah dan satu kendaraan roda 2. Semenjak Mas Dwi meninggal aku mengajak ibu dari kota untuk tinggal di desa bersamaku.

 

Sejak dulu istri-istri dari para saudara iparku memang seperti itu. Usil, ada saja yang disentil setiap kali ada pertemuan keluarga seperti ini. Apa yang salah dengan anakku. Jangan mentang-mentang kami sekarang susah, lantas aku tak menghidupinya dengan layak. Apapun akan kulakukan asal anakku bisa hidup seperti yang lainnya, asalkan halal InshaAllah tak masalah.

 

Aku pura-pura tak mendengar gunjingan mereka. Selagi hanya namaku yang mereka bicarakan aku tak masalah, asal jangan ibu atau anakku saja.

 

"Aida, kamu sekarang kerja di mana?" tanya Mbak Husna sambil memotong sayuran yang akan dimasak pagi ini untuk para tetangga yang datang.

 

"Di konter, Mbak," jawabku singkat.

 

Aku sibuk menggoreng telur rebus untuk disambal. 

 

"Gajimu berapa sih? Kulihat si Zaka bajunya keren-keren." 

 

"Berapun gajiku InshaAllah cukup untuk hidup, Mbak." 

 

"Oh," sahutnya melirik Mbak Retno.

 

"Selain di konter kamu kerja apa? Kayaknya sekarang hidupmu dah enak ya? Inget loh, jangan mentang-mentang sedirian kamu jadi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang,"  lanjut Mbak Retno sambil memetik cabe merah. Ia bahkan sengaja mendekatkan mulutnya ke telingaku untuk mengatakan ini semua.

 

"Maksud Mbak apa?" tanyaku sambil mengangkat telur-telur rebus yang warnanya sudah menguning.

 

Kekepoan mereka cukup membuatku gerah. Rasanya cabe-cabe itu ingin kuulek terus kumasukkan ke mulut-mulut pedas mereka. 

 

"Nggak ada maksud apa-apa sih, cuma ngingetin aja." Ia menaikkan alisnya menatap ke arah Mbak Husna.

 

"Mbak, sesusah apa pun aku tidak akan menggadaikan harga diriku." Aku menegaskan.

 

"Baguslah. Jangan hanya karena ingin tampil cantik dan gaya jadi menghalalkan segala cara. Inget Aida ada neraka." 

 

"Alhamdulillah selalu inget, Mbak. Beberapa orang suka lupa sama neraka sampai mereka berpikiran buruk atau suuzon sama orang lain." 

 

Aku berdiri dari sana, mengangkat telur-telur rebus yang baru saja kugoreng ke meja. Kuletakkan telur-telur itu di meja, lalu masuk ke dalam menemui ibu mertua. Aku gerah dekat dengan kakak-kakak iparku di sini. 

 

"Bu, Zaka mana?" tanyaku saat melihat ibu mengobrol bersama beberapa tetangga. 

 

"Ada di kamar Prista. Kenapa, Da?" 

 

"Nggak apa-apa, Bu," sahutku, lalu tersenyum. Aku juga menyapa beberapa tetangga yang sedang mengobrol bersama ibu sekilas. "Kalau gitu aku lihat Zaka dulu ya, Bu." 

 

"Oh, iya. Telur tadi udah digoreng?" 

 

"Udah, Bu. Tinggal nunggu sambalnya yang masih di giling oleh beberapa remaja rombongannya Dek Kia, anak tetangga sebelah rumah."

 

"Oh ya udah." 

 

Aku langsung menuju kamar Prista, adik ipar paling bungsu yang akan menikah lusa. Nampak Zaka asik bermain bersama para sepupunya di dalam kamar. Sedangkan Prista sedang di pakaikan kutek di kukunya.

 

"Calon pengantin beneran nih!" Aku menjawil hidungnya, anak itu tertawa.

 

"Masak bohongan, Mbak." 

 

Tawaku berderai mendengar jawabannya. 

 

"Calon pengantin prianya mana?" tanyaku sambil duduk di kasur yang sudah dihias.

 

"Mas Ganang lagi keluar beli tisu, Mbak." .

 

"Oh." Aku memperhatikan sebentar Zaka yang berlari keluar bersama Harunika, anaknya Mbak Retno. Lalu kembali fokus ke Prista. "Kamu harus jaga kesehatan, nggak boleh capek. Jadi ratu dan raja sehari itu capeknya luar biasa. Kayaknya aja cuma duduk duduk di pelaminan." 

 

"Masa' sih, Mbak?" 

 

"Serius." 

 

"Pasti pegel nanti kepala pake mahkota adat Palembang yang tingginya minta ampun ya Mbak." 

 

"Banget! Karena itu harus jaga kesehatan badan dari sekarang. Nanti nggak bisa malam pertama kalau kecapekan." 

 

Kami semua tergelak, termasuk Mbak mbak yang sedang memakaikan hena di tangan Prista. 

 

"Udah ah, Mbak mau liatin Zaka dulu." 

 

"Oke, Mbak. Ada-ada aja sih Mbak." 

 

Aku keluar mencari Zaka. Anak berumur 5 tahun itu nampak asik bermain-main di bawah tenda. Melihat mereka naik ke panggung yang sedang dihias membuatku ngeri saja. 

 

"Zaka, turun yuk Nak!" 

 

"Nggak mau Bunda! Mau main sama Mbak Harunika!" 

 

"Ika, kamu kan udah gede. Turun yuk, Nak! Jangan main di sana, nanti jatuh!" 

 

Zaka masih berlarian kejar-kejaran bersama Hanunika di atas sana. Karena khawatir aku memperhatikan mereka. Tiba-tiba Ika mendorong Zaka hingga anak itu terjungkal, melihat itu aku mendekat dan menegurnya. 

 

"Ika nggak boleh gitu sama adeknya. Adek kan masih kecil, jangan di jorokin gitu. Kan kasihan jatuh."

 

"Tante Zaka kan jatuh sendiri," protesnya menghindar. 

 

"Ika udah SMP nggak boleh bohong loh." 

 

Aku mengingatkan sambil menggendong Zaka dan turun dari sana. Sementara Ika langsung pergi saat aku menegurnya. Sampai di rumah ibu bertanya kenapa Zaka menangis dan aku menceritakannya. Mendengar ceritaku Ibu menegur Ika, anaknya Mbak Retno sampai anak itu menangis dan berlari menemui ibunya. 

 

Tadinya aku pikir Mbak Retno tidak marah dan menasehati anaknya karena memang Ika yang bersalah, ternyata aku salah. Tidak lama dari itu ponselku bergetar dan ada chat darinya.

 

[Aida, kamu sengaja mengatakan pada ibu soal Ika supaya dia dimarahin sama ibu kan? Kamu kalau punya masalah sama aku jangan bawa bawa anak dong.]

 

Dadaku panas membacanya, lalu membalas. [Mbak memang Ika mendorong Zaka aku melihatnya sendiri. Lagian aku nggak marahin dia dan bicara baik-baik kok sama Ibu. Kami cuma menasehatinya.]

 

[Halah, ngomong aja kamu iri kan lihat aku dan Mas Wijaya masih utuh sama-sama sementara kamu udah janda.] 

 

[Astaghfirullah. Mbak jangan mancing keributan dalam situasi seperti ini Mbak.]

 

[Kamu duluan yang mulai!]

 

Aku menyimpan gawai karena kalau mau diladeni tidak akan selesai. Sejak hari itu Mbak Retno semakin usil padaku. Setiap ada kesempatan dia pasti menyindirku. Malam itu saat kami kumpul keluarga di ruang tamu sikapnya nampak aneh sekali. 

 

"Mas, kapan-kapan kita liburan ya!" katanya sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Mas Wijaya. 

 

"Iya," sahut suaminya singkat sambil main handphone.

 

"Kalau kita ke mana Mas?" tanya Mbak Husna pada Mas Teguh.

 

"Kemana aja lah, Ma," sahut Mas Teguh sambil menyeruput kopinya. 

 

"Nanti Prista sama Ganang, kami ngintil di belakang," seru Mbak Retno sambil menoleh ke arahku.

 

Prista hanya tersenyum mendengar kata-kata Mbak Retno. Aku tahu dia pasti bermaksud memanas-manasiku yang tak punya pasangan ini. Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka.

 

***

 

Semua orang sudah ramai berdatangan. Kami sudah menunggu di depan menunggu pengantin pria datang. Sementara Prista masih di rias di kamarnya. Beberapa orang menyapaku, katanya aku jarang terlihat. Ya, semenjak jadi single parent aku memang menghabiskan waktuku untuk bekerja. 

 

Tiga mobil berhenti tak jauh dari tenda. Para keluarga dari pihak mempelai pria satu persatu keluar dari sana membawa berbagai macam bawaan. Ibu menarikku agar lebih mendekat ke arahnya yang membuat Mbak Retno langsung menyikut Mbak Husna, lalu mulailah bisik-bisik mereka perlihatkan. Aku berusaha tenang karena ini di tengah keramaian. 

 

Satu persatu kami menerima seserahan yang diberikan. Hingga tibalah aku menerima kotak berisi kain brukat yang sudah dibentuk dan dihias sedemikian rupa. 

 

"Makasih ya, Pak --- " 

 

Kata-kataku berhenti di kerongkongan saat melihat orang yang memberikan kotak itu padaku. 

 

"Mas ... Ikbal .... " kataku lirih yang terucap begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status