Aku hendak mendekat, tapi terdengar suara Mas Teguh menegur mereka lebih dulu.
"Ini ngomong apa sih? Di dalem orang lagi sibuk buka kado rame-rame kok malah asik ngerumpi di sini? Masuk sana, Ma!"
"Baru juga mau cerita, Mas!" sahut Mbak Husna kesal.
Aku langsung kembali masuk ke ruang tengah di mana semua orang sudah berkumpul untuk membuka semua kado yang di dapat. Sebelumnya kulihat Zaka yang ternyata sudah terlelap di kamar Ibu bersama Ika, anaknya Mbak Retno, padahal aku sudah membawakan segelas air putih karena tadi ia sempat mengeluh haus. Setelah yakin mereka sudah nyenyak, aku langsung bergabung bersama yang lainnya.
Aku duduk di dekat Prista dan Ganang. Mereka berdua nampak bahagia dan semringah. Jadi ingat saat pertama kali aku menikah. Aku pun merasa kan demikian, lalu seketika duniaku hancur saat Mas Dwi pergi menghadap Sang Pencipta lebih dulu.
"Mbak, mau hadiah yang mana? Soalnya nanti dibagi-bagi untuk keluarga juga."
"Eh, nggak usah, Ta. Buat kamu aja."
"Banyak loh ini, Mbak. Nggak apa-apa. Mbak Retno dan Mbak Husna juga udah pilih tadi."
"Ya udah, deh. Mbak pilih ya!"
"Silakan, Mbak."
Aku coba-coba melihat bentu dan nama dari si pengirim.
"Pura-pura nggak mau niye," celektuk Mbak Retno.
"Ujung-ujungnya masih mau juga ya!" sambung Mbak Husna, kemudian mereka terkikik berdua.
Aku menarik napas panjang mendengar sindiran mereka. Entah mengapa dari dulu mereka seperti sangat tak menyukaiku.
"Mbak nggak jadi aja deh, Ta." Aku tersenyum samar, kembali mendekati Prista.
"Mbak jangan gitu dong. Yang lainnya aja aku kasih kok."
"Atau ada yang di aku Mbak, yang itu aja. Aku yakin isinya pasti bagus."
Ganang menyerahkan sebuah kotak kado padaku. Aku menerima kado yang diangsurkan olehnya. Terlihat Mbak Retno dan Husna berbisik-bisik seperti membicarakanku.
"Nggak ada namanya, Nang."
Ganang ikut memeriksa. "Eh, iya. Itu tumpukan dari kado kado pihak keluargaku. Nggak apalah mbak, itu aja."
"Wah, makasih ya!"
Prista dan Ganang tersenyum. Kemudian acara buka kado di mulai. Satu persatu kado dibuka dan dilihat isinya. Dari gelas sampai emas ada semua di sana. Ada juga yang memberikan baju dinas malam untuk para istri yang membuat kami tertawa. Tibalah saat membuka kado yang ada pada kami. Beberapa keluarga sudah membuka isinya. Termasuk kado yang dipegang Mbak Retno yang berisi handuk, kado yang ada pada Mbak Husna yang ternyata berisi piring plastik dan terakhir punyaku.
Dengan sangat hati-hati aku membukanya, lalu bibirku tersenyum saat melihat isinya. Ternyata sebuah sajadah berwarna coklat keemasan. Sajadahnya sangat tebal dan terlihat wah, karena lain dari sajadah biasanya.
"Wah dapet sajadah Turki tuh, Mbak," kata Prista.
Mbak Retno dan Mbak Husna saling berpandangan.
"Punya kami kok isinya cuma ini ya, Ta?" protes Mbak Retno.
"Ya kan diminta milih sendiri-sendiri tadi, Mbak. Pilihan Mbak dapetnya itu, ya berarti itu rejekinya Mbak."
Aku masih sibuk melihat-lihat sajadah yang kudapat. Senang sekali rasanya dapat sajadah ini. Sajadahku di rumah juga sepertinya sudah tak layak pakai lagi. Aku memilih membeli mukena yang baru, sementara sajadah masih pakai yang lama.
"Alhamdulillah, makasih ya Ganang, ini pilihan kamu tadi."
"Sama-sama, Mbak."
Mbak Retna dan Mbak Husna terus saja menatapku makin tak suka.
***
Selesai acara di rumah ibu mertua, keadaan di rumah itu berangsur-angsur sepi. Semua tetangga sudah kembali sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Pun para saudara jauh, mereka sudah pulang ke kampung halaman mereka semua.
Aku bersiap membereskan semuanya untuk pulang ke desa, di mana aku tinggal. Nampak ibu sedang mengobrol dengan beberapa orang. Aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Ada beberapa pekerja yang sedang membongkar tenda pernikahan.
"Bu, nanti sore aku ijin pulang, ya."
"Loh kok ceper banget, Ai."
"Kasihan Ibu di rumah sendirian."
"Itulah, ibu kan sudah bilang ajak ibumu ke sini."
"Soalnya ibu suka mabuk perjalanan, Bu. Jadi hanya titip salam."
"Iya, dulu aja pas acara di sini ibu muntah-muntah terus saja pas turun dari mobil."
"Iya, Bu. Dia sebenarnya pengen banget ikut, tapi ya itu. Heheh." Aku tertawa samar.
"Iya, ibu paham. Bawa lauk pauk yang sudah ibu sediakan ya. Lumayan biar nggak masak beberapa hari."
"Nggak perlu, Bu. Untuk di sini saja."
"Hus! Di sini udah banyak. Kan supaya ibu dirumah bisa icip-icip juga."
"Ya udah, deh. Makasih ya Bu."
Ibu tersenyum. Kami beriringan menuju rumah. Mempersiapkan semua barang bawaan yang akan aku bawa nanti sore. Dari ayam kecap, sampai gulai kambing dan sambal sudah disiapkan oleh ibu mertua.
"Bu apa nggak kebanyakan?"
"Nggak, kalau kebanyakan nanti bagiin aja ke tetangga-tetangga sebelah rumah."
"Aku jadi nggak enak, Bu."
"Kalau nggak enak kasih kucing aja." Kami tertawa.
Akhirnya sore itu tepat pukul 4 sore setelah salat asar aku pamit pulang. Sebelum naik ke ojek, menuju terminal seperti biasa, Zaka nangis-nangis karena harus berpisah dengan neneknya.
***
Sampai di rumah pukul 5.30 sore. Tergopoh Ibu membukakan pintu. Senyumnya merekah melihat kedatanganku. Langsung saja Ibu menciumi Zaka. Percayalah, setelah punya anak, sudah pasti anak yang selalu ditunggu kedatangannya oleh orang tua kita.
"Ai, alhamdulillah kamu pulang juga. Sepi banget rumah ini nggak ada kamu."
"Iya, Bu. Alhamdulillah sampe rumah. Ibu kesepian ya?"
"Sepi banget. Mau ngapa-ngapain nggak enak rasanya sendirian."
"Nenek kangen sama Zaka?"
"Kangen banget Sayang. Tapi nggak lagi, kan jagoan nenek udah pulang."
Ibu membantuku membawa masuk semua bawaan. Setelah sampai di dapur ibu membuka semuanya.
"Ya ampun, banyak banget ini. Untuk siapa aja, Nak?"
"Untuk kita, Bu. Tapi kebanyakan ya? Gimana kalau kita bagi-bagi ke tetangga."
"Ide bagus itu. Nah itu Bu Ais kan sendirian, anaknya jauh semua. Kita kasih dia ya?"
"Kasih aja, Bu. Pokoknya makanan itu jangan sampai mubazir. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin."
Ibu membagi-bagikan lauk pauk itu kepada para tetangga. Kata ibu mereka sangat berterimakasih dan bahagia. Kami hanya meninggalkan masing-masing sepiring untuk di rumah.
***
Paginya aku bersiap akan berangkat bekerja seperti biasa. Sudah beberapa hari aku ijin libur bekerja. Semoga saja bos tidak marah. Aku pamit pada ibu saat Zaka masih terlelap. Kucium tangan keriput itu dengan takjim lalu meminta di do'akan.
"Iya, hati-hati di jalan ya, Nak. InshaAllah bosmu tidak akan marah."
"Aamiinn, ya udah aku berangkat, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku menghidupkan mesin sepeda motor dan melajukan kendaraan ini dengan perlahan. Jarak antara konter ke rumah tidak terlalu jauh, hanya 2 km. Sampai di tempat aku langsung membersihkan debu-debu yang menempel pada kaca.
"Udah masuk, Ai?" tanya Susi.
"Kalau belum masuk nggak ada di sini."
Dia tergelak. "Ya siapa tahu aja ini hantunya. Karena itu aku tanya."
"Dasar kamu ya!" Aku melemparnya dengan tisu ditangan.
"Ai, kita kedatangan orang dari pusat beberapa hari ini."
"Oh ya?"
"Iya, katanya dia cek penjualan bos setiap hari."
"Dia anaknya bos?"
"Bukan, lebih tepatnya mengawasi cara kerja kita menjual merk-merk ponsel tertentu."
"Oh, jadi dari pihak ponsel?"
"Kayaknya iya, target konter kita katanya akan naik bulan ini."
"Oh .... "
Aku kembali sibuk membersihkan semua kaca etalase. Kemudian gerakan ku terhenti saat melihat sebuah motor ninja berhenti di halaman. Seorang pria dengan tubuh tegap dan tinggi baru turun dari motornya. Ia melepas sarung tangan, lalu memasukkannya dalam ransel. Kemudian melepas helmnya.
"Itu, orang yang aku maksud."
Dunia seolah berjalan mundur.
"Kenapa, Ai. Kamu pernah lihat?"
Laki-laki masuk dengan ramahnya, kemudian menyapa semua orang.
"Hay, Susi. Selamat pagi."
"Halo, pak. Pagi ...," sahut Susi.
Kini dia menatapku, kemudian tersenyum tipis. "Hay, Aida. Selamat pagi," sapanya seraya tersenyum.
Aku kembali menoleh, dan menatap wajah pria muda ini dengan tajam. Pengakuan soal Aida dan kejujurannya soal perasaannya, membuat hatiku tersayat-sayat. “Kakak tahu? Karena Mbak Aida, pandangan saya tentang wanita berubah. Dulu, saya pikir, wanita baik-baik itu hanya ada dalam novel dan film, ternyata di dunia nyata ada, dan wanita itu adalah istri Anda.” Pandangan pria bernama Faaz ini menerawang, seperti membayangkan, kemudian lengkungan kecil tercetak di sisi bibirnya.Apa mungkin dia membayangkan istriku? Makin panas rasa hati.“Lalu, aku menemui Anis untuk membatalkan perjanjian kami. Di sana, aku mendengar dia menelepon papanya. Katanya, mereka akan menculik Zaka, dan menggunakan anak itu supaya Mbak Aida mau menuruti semua kata-kata mereka. Satu yang ada dalam pikiranku, aku harus menolong anak itu. Karena jujur, aku pun sudah menyayanginya seperti adik, atau bahkan anakku sendiri.”Emosiku tidak terkendali. Aku mendorong dada Faaz dan memegang kerah bajunya, kudekatkan wajah d
Melihat sikap tak acuh Ikbal, membuat hati wanita itu bertanya-tanya. Niatnya ingin bercerita soal Zaka diurungkan olehnya. Apa Mas Ikbal sedang banyak masalah?' “Mas, aku udah masak makanan kesukaan kamu.” Aida berusaha mencairkan suasana.“Kenyang.” Ikbal berdiri, menuang air putih dan menenggaknya hingga habis, setelah itu langsung masuk ke kamar. Aida mengamati, hingga punggung pria itu hilang dari pandangan. Dibukanya kantung berwarna hitam berisi bakso yang dibeli oleh Ikbal. Wanita itu membukanya satu, lalu menuangnya ke mangkuk. Awalnya Aida berusaha bersikap biasa saja memakan bakso itu sendirian, tapi semakin lama ... rasa sedih mendera jiwa sehingga membuat wanita itu terisak. Aida terus berusaha tegar, menghapus tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Bukankah ini bagus, sebulan bukan waktu yang lama. Entah apa alasan Mas Ikbal bersikap demikian, tapi bukankah dia akan baik-baik saja saat nanti aku meninggalkannya? Aida terus saja berkata sendiri dalam hati. Meskipun jauh
“Aku tidak akan percaya. Tidak, Aida bukan wanita seperti itu,” katanya dengan pandangan yang nanar sambil mengalihkan pandangan. “Sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya.” Ikbal duduk di kursi kerjanya sambil meremas semua foto yang ada, dan melemparnya ke kotak sampah begitu saja. “Demi Allah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Papa. Maka dari itu, stop memfitnah istri salihahku.”“Hah, kita lihat saja, Ikbal. Suatu saat nanti, kamu akan mengakui kalau Aida itu bukan wanita yang baik. Kamu akan bersujud di kaki Papa untuk meminta maaf, karena sudah menentang Papa demi wanita itu.” Kemudian Aji Wijaya berdiri, dan keluar dari ruangan Ikbal. Ikbal masih diliputi rasa cemas. Dia berusaha terus berpikir positif, tapi foto-foto itu. “Astagfirullah,” ucapnya lirih, kemudian menunduk seraya meremas kepala.***“Masak apa, Ai?” tanya Ikbal, saat mereka sudah duduk di kursi meja makan.Aida menuangkan air putih ke dalam gelas keramik berwarna putih, lal
Aida bingung harus bersikap bagaimana. Dia pikir pria itu hanya bercanda, nyatanya Faaz tidak berbohong. Ya, dia benar-benar seorang pria penghibur, dan itu membuat Aida kaget luar biasa. Mengapa kami bisa dipertemukan seperti ini? tanyanya dalam hati.“Mbak, ini takdir. Mungkin hidayah itu Allah turunkan melalui Mbak. Aku tidak takut meninggalkan kemewahanku. Aku datang ke sini menggunakan kendaraan umum. Mobil milik tante itu sudah aku kembalikan, karena itu memang bukan milikku. Terima kasih atas pencerahannya selama ini.”Aida masih kebingungan harus bersikap bagaimana. Selama ini, dia kenal dan hidup di lingkungan orang-orang baik. Paling parah orang yang dia temui adalah Mbak Retno dan Husna, kakak iparnya sendiri. Itu pun hanya sebatas ribut-ribut kecil, karena sifat mereka yang suka usil. Aida berjalan mundur, hanya saja tatapannya tidak lepas dari pria itu.Semenjak tinggal di kota, hidupnya semakin kacau. Bertemu dengan papanya Ikbal yang mengancam akan mencelakai Zaka, bert
Mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa bicara dengan Mama. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mama berjalan lebih dulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.Kini kami duduk di sebuah kafe yang tertutup. Sepertinya tempat ini ruang privasi, karena tidak ada orang lain selain kami. “Apa kabar?” Mama membuka obrolan, setelah cukup lama bungkam.“Baik, Ma. Alhamdulillah.”“Anakmu?”“Baik juga.”Lalu dia mengangkat gelas teh, dan meminumnya dengan anggun. “Aku tahu apa yang sudah dilakukan suamiku padamu, Aida. Karena itu, atas nama keluarga besar, aku minta maaf.”“Saya paham, Ma. Mungkin, hubungan Bapak dan Papa kurang baik di masa lalu.”Mama kembali meletakkan gelas tehnya, lalu berkata, “Sebenarnya urusan masa lalu itu sudah selesai. Toh, sekarang aku sudah menikah dengan papanya Ikbal, bukan dengan bapakmu. Tapi entah mengapa, suamiku itu sulit sekali melupakan masa lalu. Dulu—jika dia ada di rumah, mungkin kamu akan dilarang main ke rumah kam
“Gimana menurut kamu?” tanya Ikbal pada Aida, saat mereka melihat-lihat apartemen.“Bagus juga, Mas.”“Kalau menurut Jagoan Om ini, gimana?” tanya Ikbal menunduk, menatap Zaka yang ada di gandengannya.“Ini rumah siapa, Om?”“Rumah kita.”“Wah, bagus. Apa Bunda sama Zaka boleh tinggal di sini juga?”Aida dan Ikbal sama-sama tersenyum. “Boleh, dong, tapi ada saratnya.”“Apa Om?”“Zaka harus panggil Om, Papa.”“Sebentar, ya, Om. Zaka tanya Bunda dulu.” Zaka segera mendekati bundanya, dan meminta wanita itu untuk berjongkok. Aida menurut. Dia berjongkok, dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh buah hatinya.“Bunda, boleh nggak panggil Om Ikbal Papa?”“Boleh,” balas Aida berbisik di telinga anaknya.“Siap, Bunda.”Anak itu kembali mendekati Ikbal. “Gimana?” tanya Ikbal pura-pura tidak tahu.“Boleh, Papa.”“Hore!” Ikbal menggendong tubuh kecil Zaka, dan mencium pipi anak itu gemas. “Jadi, panggil apa?”“Papa.” Ikbal tertawa senang.Malam itu, mereka cukup lama melihat-lihat dan b