Kriiing!
Jam beker di atas nakas menjerit kencang. Membuat Amisha langsung terlonjak duduk dari tidurnya yang tidak begitu lelap. Sesaat Amisha menggelengkan kepala, mengumpulkan serpihan-serpihan jiwanya yang berserakan entah ke mana, mengembara di dunia mimpi.
Amisha melirik jam beker di sampingnya, hampir masuk waktu subuh. Dengan separuh jiwa yang belum sepenuhnya terjaga, Amisha beranjak turun dari pembaringan menuju kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi, lalu berpindah ke musala kecil, tidak jauh dari kamar utama. Berwudu dan mendirikan salat subuh berjemaah dengan suaminya setelah melaksanakan dua rakaat salat kabla subuh.
“Mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya Zain yang baru saja masuk ke kamar saat dilihatnya Amisha melangkah terburu-buru hendak keluar dari kamar setelah selesai mandi.
Gianna menghela napas panjang, berjuang menetralkan detak jantungnya sebelum mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam ruang perawatan Sonny.Ia sontak berdiri mematung kala mendapati Nyonya Prima menatapnya tak berkedip. Wanita itu duduk bergeming di sisi ranjang Sonny.“Nak Gianna? Ayo sini, Nak!” panggil Prima, menyambut hangat kehadiran Gianna di ruangan itu.Meskipun detak jantungnya kembali bergemuruh menyaksikan sikap dingin Nyonya Prima, Gianna menguatkan hati untuk menghampiri ranjang Sonny.Lelaki itu berpaling muka ke sisi kanan, menghindari tatapan Gianna. Matanya berkabut. Ia tidak berharap Gianna akan datang membesuknya, walaupun jauh di relung hatinya ia sangat merindukan gadis itu.Beberapa langkah lagi kaki Gianna akan tiba di dekat Sonny, Nyonya Prima bangkit dari duduknya. Gianna mematung kaku. Wajah datar Nyonya Prima membuat hatinya sedikit kecut. Ia ingat betul betapa kerasnya wanita paruh baya itu menolak dirinya menjadi
"Misha! Kamu kok nggak hati-hati sih? Aku panik, tahu nggak?"Bisikan lirih bernada cemas disertai isak tertahan membangunkan Amisha dari tidur lelapnya. Ia membuka mata perlahan, mengerjap tak percaya seakan tengah bermimpi. Menatap sosok tidak asing yang duduk di tepi ranjang, memandang sayu kepadanya. Sentuhan lembut dirasakan Amisha pada permukaan perutnya."Gianna? Ini benar-benar kamu?" gumam Amisha lemah."Iya, Misha. Ini aku. Aku balik ke Indonesia. Perasaanku tidak enak," sahut Gianna.Ia mencoba menerbitkan senyuman hangat dibalik kelamnya awan resah yang menggelantung di wajahnya.Amisha ikut tersenyum. Diraihnya tangan Gianna yang sedang mengelus perutnya."Aku senang kamu pulang, tapi ... bagaimana kuliahmu? Bukankah kamu ingin melanjutkan S3?" tanya Amisha."Awalnya begitu, tapi sepertinya aku tidak bisa jauh darimu. Aku selalu bermimpi buruk tentang dirimu.”"Oh ya? Mimpi apa?" tanya Amisha, penas
Zain berdiri di balkon, bermandikan cahaya matahari pagi seraya meregangkan otot-otot bangun tidurnya yang masih terasa kaku."Aaakh!" Sebuah jeritan melengking panjang membahana, mengagetkan Zain.Seketika Zain menghentikan gerakan peregangan tangannya."Misha!" desisnya cemas.Mendugas ia berlari mendua katak menuju kamar mandi. Ia ingat, tadi Amisha sedang berada di dalam kamar mandi saat ia hendak keluar menuju balkon."Kenapa, Sweetie?" tanyanya panik dengan kedua tangan berpegang pada bingkai pintu kamar mandi.Amisha tak menyahut. Ia tersandar lemas di sudut wastafel dengan wajah seputih kertas. Tatapan matanya terpaku pada suatu benda yang terpelanting tidak jauh dari dirinya.Zain menyusuri pandangan Amisha. Tampak sebuah buntalan kecil tergeletak di atas lantai kamar mandi. Zain mendekati benda itu dan meraihnya saat melintas hendak mendekati Amisha.Zain langsung mengenali benda mungil itu sebagai ben
“Ada apa, Sweetie? Kau masih memikirkan Sonny?” tanya Zain, menghampiri Amisha.Amisha berdiri di sudut balkon dengan tatapan menerawang jauh, menggapai rembulan yang menggantung di pucuk pohon. Dinginnya angin malam memaksanya bersedekap. Ia menengok ke belakang tatkala mendengar derap langkah kaki Zain kian mendekat.“Enggak. Bukan Sonny, tapi Gianna.” Amisha bergumam lirih seraya mengembuskan napas kencang.“Gianna? Dia masih belum menghubungimu?” Zain dapat merasakan kesepian Amisha.Amisha dan Gianna selalu bersama sepanjang hidup mereka. Ke mana pun Amisha bersekolah, Gianna akan mendampinginya. Namun, sekarang gadis itu pergi meninggalkan Amisha dalam rentang jarak yang sangat jauh.“Belum. Menurutmu, apa masalahnya sangat pelik sampai Gianna harus melarikan diri?” Amisha benar-benar merasa kehilangan Gianna.Saat Kenzo mengkhianatinya, ketika Sonny tak hadir di hari pernikahannya, Amisha tak merasakan sepi yang begitu men
Zain berlutut di celah antara meja dan sofa. Tatapannya sedari tadi tertuju pada wajah cantik Amisha yang tertidur pulas di atas sofa.Di belakangnya, televisi masih berbunyi nyaring. Sepertinya Amisha ketiduran saat menonton karena kelelahan sepulang dari berbelanja.Zain menyambut Amisha dengan senyuman menawan ketika kelopak mata istrinya perlahan bergerak naik dan ia mengerjap pelan.“Masih capek?” tanya Zain, menyibak anak rambut di kening Amisha.Amisha memiringkan tubuhnya ke kiri, menghadap Zain. Tangannya terulur, mengusap pipi suaminya.“Sejak kapan kamu menontonku tidur?” Ia tak menggubris pertanyaan Zain, malah balik bertanya.“Kau ini! Kebiasaan sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan,” omel Zain. Tangannya masih saja sibuk membelai rambut Amisha.“Maaf! Itu saja sewot!” rajuk Amisha.“Kau masih ingin istirahat?” Zain mengulangi pertanyaannya dengan redaksi kalimat yang berbeda.“Ck! K
“Hari ini, aku ingin cuci mata sepuasnya,” seru Amisha riang, menggelendot manja pada lengan Zain.“As you please. Aku siap mengawal ke mana saja,” timpal Zain, mengusap lembut lengan Amisha. Senyumannya terkembang, menyaksikan wajah semringah istrinya.Berjalan mengitari mal, Amisha tampak semangat keluar masuk toko perlengkapan bayi. Usia kehamilannya sudah di ujung bulan keenam.Sebenarnya ia lebih senang menghabiskan waktu berbelanja bersama Gianna. Berhubung gadis itu sudah tak lagi berada di Jakarta, maka Zain yang menggantikan posisi Gianna untuk menemaninya.“Lihat! Ini cantik, Sweetie!” Zain memperlihatkan pakaian bayi yang lucu-lucu.“Kamu boleh pilih yang menurutmu bagus. Ambil yang netral ya,” pinta Amisha.“Maksudmu?” Zain sedikit bingung.“Yang warnanya bisa dipakai untuk cewek dan cowok.”“Lah, memangnya anak kita belum tahu jenis kelaminnya?” tanya Zain, heran.Ia pernah membaca artikel
Berbaring di atas tikar santai, kedua mata Amisha kini telah ditutupi sepasang kacamata hitam untuk melindungi netra uniknya dari pancaran sinar matahari.Amisha pun tak lagi mengenakan jilbab. Ia dan Zain benar-benar tampil layaknya sepasang turis asing yang tengah berjemur di pantai.“Mau coba mandi di kolam air terjun itu?” tawar Zain, antusias.“Memangnya bisa?” tanya Amisha bodoh.“Bisa dong, Sweetie. Ayo!” Zain segera melompat bangkit, mengulurkan tangan kepada Amisha.Amisha menyambut uluran tangan Zain, lalu berdiri di samping suaminya sembari melayangkan pandangan pada debit air yang berada di dalam kolam.“Jalan sendiri atau kugendong?” goda Zain dengan kerlingan nakal.Tanpa menjawab pertanyaan Zain, Amisha mengayun langkah menuju air terjun buatan itu. Namun, gerakannya terhenti begitu tiba di tepi kolam.Warna dasar air yang sedikit gelap membuat hati Amisha ragu untuk langsung menceburkan kaki ke d
Amisha dan Zain baru saja menjejakkan kaki pada anak tangga pertama untuk naik ke lantai atas ketika bel pintu kembali berbunyi.“Kamu mengundang seseorang?” tanya Amisha.“Enggak,” sahut Zain.Sesaat Amisha dan Zain bersitatap heran. Otak mereka menebak-nebak siapa gerangan yang berkunjung di akhir pekan begini.Ketika mereka balik badan hendak turun, Siti telah berlari keluar dari ruang makan.“Biar Bibi saja, Non!” cegahnya cepat.Amisha dan Zain pun berjalan santai menuju ruang tamu.“Yoshi? Tumben Sabtu pagi sudah kelayapan,” cecar Zain, dengan kening berkerut.Biasanya Yoshi bangun kesiangan pada akhir pekan. Kalau sekarang adik sepupunya itu sudah bertamu ke rumahnya di saat matahari belum meninggi, pasti ada sesuatu yang menuntun langkahnya sehingga ia rela melepaskan belitan selimut hangatnya.Yoshi belum menggubris tatapan heran kakak sepupunya. Ia malah mengenyakkan pantat di atas sofa, bersa
“Masih mau muntah?” tanya Amisha pada Zain yang masih terlihat pucat.Zain tidak lagi berminat melanjutkan sarapan pagi yang disiapkan istrinya. Dua kali bongkar isi perut membuatnya lelah.“Maaf ya, Sweetie. Aku tidak bisa menghabiskan makanannya,” lirih Zain, menatap sendu pada Amisha dengan hati diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Sayang. Mungkin memang ada yang salah dengan masakanku. Biasanya kamu suka sekali seafood,” celoteh Amisha, menenangkan Zain.“Sekarang makan roti saja ya,” tawar Amisha.Ia sudah menyingkirkan piring berisi nasi goreng tom yam seafood buatannya dari hadapan Zain.“Thank you, Sweetie!” desis Zain, masih dengan nada lesu.Amisha menyerahkan roti tawar yang sudah diolesinya dengan selai blueberry kepada Zain. Mungkin dengan mengonsumsi sedikit asam dapat mengurangi rasa mual suaminya.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Amisha.“Tidak usah. Mualnya sudah berkurang,” tolak Za