Share

Bab 4

Penulis: Lathifah Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-15 07:56:49

“Aarrgh!” Kenzo meninju angin dengan kesal lantaran gagal menyusul Amisha.

“Sayang, biarkan saja dia pergi. Bukankah itu lebih baik?” Wanita itu berusaha menghibur Kenzo.

“Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi kehilangan tambang emas dan masa depanku!” Kenzo menatap tajam kepada kekasihnya.

“Kita masih bisa mencari perempuan bodoh lainnya,” bujuk wanita itu, tersenyum manis seraya menggelayut manja di lengan Kenzo.

“Ah! Benar juga! Kamu memang kekasih pintarku!” Kenzo mencolek dagu wanita itu. Emosinya mereda.

Mereka kembali masuk ke toko pakaian, melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda.

Bersembunyi di balik sebuah mobil, Amisha melihat semua adegan mesra sepasang kekasih itu dengan air mata mengalir deras. Hatinya benar-benar hancur bagai butiran debu.

“Aku memang bodoh dan telah dibutakan oleh cinta!” gumam Amisha, pelan. Tanpa terasa air matanya kembali luruh, mengenang kisah kelam itu.

Amisha melangkah gontai di sepanjang jalan. Tak ia pedulikan tubuhnya yang basah kuyup. Air mata kian membasahi pipi, menyatu dengan derasnya hujan di malam itu.

Apa aku memang tidak pantas untuk dicintai?’ tanya hati Amisha, berbalut pedih.

Tok! Tok! Tok!

Amisha mengetuk pintu rumahnya dengan lesu, lupa bahwa di sisi pintu ada bel. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama terpapar hujan dan dinginnya udara malam.

“Ya ampun, Non. Nona kenapa begini?” Asisten rumah tangga Amisha berteriak kaget dan cemas melihat kondisi tubuh Amisha.

Amisha berdiri lemah, nyaris jatuh terempas ke lantai teras jika sang asisten rumah tangga tidak cepat-cepat menangkap tubuhnya.

“Mang Dadaaang!” Wanita itu berteriak kencang, memanggil penjaga rumah sambil mendekap Amisha yang sudah tak sadarkan diri.

“Ada apa, Bi Inah?” tanya Dadang, berteriak sambil berlari tergopoh-gopoh menghampiri Inah. 

“Ya Allah, Non. Kenapa sampai pingsan begini?” Dadang bergumam cemas. Cepat-cepat ia membopong Amisha, naik ke lantai dua.

Dadang membaringkan Amisha di atas ranjang, lalu keluar, membiarkan Inah menyelesaikan tugas selanjutnya.

Inah mengganti pakaian basah Amisha dan menyelimutinya agar tubuh Amisha terasa hangat. Matanya menatap sendu wajah cantik Amisha. Dirabanya kening Amisha. Ia terperanjat. Tubuh Amisha sangat panas. Sepertinya gadis itu terlalu lama kehujanan.

“Kasihan sekali Non Amisha.” Inah bergumam pelan seraya mengelus kepala majikannya itu.

Sambil menunggu kehadiran dokter keluarga Amisha yang telah dihubunginya, Inah mengompres kening Amisha dengan air hangat, berusaha menurunkan suhu panas di tubuh sang majikan.

Selang beberapa waktu, dokter selesai memeriksa kondisi kesehatan Amisha. Dokter itu tersenyum pada Inah.

“Tidak perlu cemas, Bi Inah. Nona Muda hanya demam biasa. Istirahat yang cukup akan mengembalikan kesegaran tubuhnya,” jelas sang dokter, menenangkan kekhawatiran Inah.

“Syukurlah. Terima kasih, Dokter Willy!” Inah merasa lega, mengetahui Amisha baik-baik saja.

Ia mengantar Dokter Willy hingga ke pintu ketika dokter itu pamit, karena telah selesai menjalankan tugasnya.

Berdiri di belakang jendela kamarnya, Zain sedang berkonsentrasi, berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.

“Pokoknya aku tidak mau tahu. Carikan aku posisi yang pas di perusahaan Harist!” perintah Zain tegas pada lawan bicaranya.

“Aku bisa saja membantumu, tapi … aku tidak yakin kau akan bersedia melakukan pekerjaan kotor dan merendahkan dirimu,” sahut suara di seberang telepon, tenang.

“Apa maksudmu?” tanya Zain, dengan kening berkerut.

“Semua posisi saat ini sudah terisi penuh, kecuali satu ….” Suara di seberang telepon menjeda ucapannya, membuat Zain penasaran.

“Bicara yang jelas, Seno!” hardik Zain, sedikit kesal karena merasa dipermainkan.

“Wow! Kau terdengar tidak sabar. Kenapa kau ingin bekerja di perusahaan Harist? Bukankah kau punya perusahaan sendiri yang sudah go international?” 

Wajah Zain mengeras mendengar pertanyaan Seno. Lelaki itu sepertinya benar-benar ingin menguji kesabarannya.

“Kalau kau tidak mau. Aku akan mencari orang lain. Tapi ingat! Lupakan persahabatan kita!” tukas Zain, dengan nada mengancam.

“Oke! Oke! Aku akan bantu, tapi … apa kau bersedia menjadi seorang office boy?” tanya Seno, ragu-ragu.

“Apa? Yang benar saja, Seno. Apa kau anggap aku ini tidak punya kemampuan apa pun untuk bekerja di perusahaan Harist?” Zain mendecak kecewa. Harga dirinya merasa terhina.

“Kan aku sudah bilang sebelumnya … semua posisi penuh kecuali satu itu, tapi ... itu bukan sembarang office boy lo ….” Seno berkata lunak, seakan sedang berusaha membujuk Zain.

“Apa bedanya?” Rasa ingin tahu Zain mulai tergelitik.

“Posisi yang aku tawarkan ini berhubungan langsung dengan Nona Muda Amisha Harist.” 

“Benarkah?” Kekesalan Zain langsung berubah menjadi semangat juang empat lima.

“Apa kau mulai tidak percaya padaku?” protes Seno, terdengar jengkel.

“Oke! Aku terima posisi itu. Kapan aku bisa mulai bekerja?” Tiba-tiba saja Zain sangat ingin matahari segera bersinar terang, mengusir kegelapan malam panjang.

“Temui aku besok dan bawa berkas lamaranmu!” sahut Seno.

“Huh? Aku harus pakai lamaran juga?” protes Zain, dengan nada kecewa.

“Apa aku harus menerimamu sebagai karyawan gelap?” tanya Seno, berseloroh.

Kalau aku tidak benar-benar membutuhkan bantuan anak ini, aku tidak akan sudi mengalah dan merendahkan diriku.’ Zain membatin kesal karena Seno berada di atas angin.

“Baiklah. Sampai jumpa besok!” Zain langsung menutup teleponnya disertai makian yang tak lagi terdengar oleh Seno.

Zain merebahkan tubuh di atas ranjang. Kedua tangannya terlipat di bawah kepala. Pandangan matanya mengawang, menatap langit-langit kamar. Sejurus kemudian, senyum manisnya terkembang, menyemai harap akan perjumpaan dengan sang gadis pujaan hati dalam indahnya mimpi.

“Amisha Harist … tunggu aku! Aku akan datang untuk menaklukkanmu!”

Zain pun terlelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 302

    Keikutsertaan Zaina dalam pameran lukisan di Bastille Design Center tergolong sukses. Gelombang pujian terus bergulir mengagumi bakat istimewa Zaina.Pagi ini, Zain dan keluarganya mengikuti Deanis ke Desa Mittelbergheim. Mereka ingin tahu seperti apa tempat tinggal Zaina selama lima tahun berpisah dari mereka.Amisha dan Zain terkagum-kagum menyaksikan keindahan desa tempat tinggal Zaina. Jajaran rumah bernuansa klasik dikelilingi hamparan kebun anggur sungguh sangat menyegarkan mata.Dengan bangga, Zaina membawa Amisha dan Kaina memasuki sanggar seninya dan Deanis. Ia berceloteh riang memamerkan hasil karyanya. Bahkan, ia menawarkan Amisha dan Kaina untuk menjadi model lukisannya.Sementara Deanis mengajak Zain berjalan menyusuri perkebunan anggur di dekat tempat tinggal mereka.“Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih atas jasamu merawat Zaina selama ini,” cetus Zain.“Aku malu mendengarnya,” balas Deanis.

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 301

    Yoshi tengah duduk santai di sela jam kerjanya. Ia merilekskan otot-otot lehernya yang terasa kaku. Selang beberapa waktu, ia meraih tablet yang tergeletak di atas meja. Ia membawa tablet itu ke sofa dan berbaring di sana. Meluruskan otot pinggangnya yang terasa penat akibat duduk lama.Tangan Yoshi bergerak lincah, mencolak-colek layar tablet. Ia sibuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba matanya melotot, menyaksikan artikel sebuah berita. Ia pun langsung terlonjak duduk.“Mirip sekali!” desisnya.Ia memperbesar potret yang terpampang pada artikel berita itu. Ia juga mendekatkan wajah pada layar monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas.“Tak salah lagi! Ini pasti dia!” teriaknya.Yoshi langsung bangkit berdiri, berlari menuju ruang kerja Zain. Ia merangsek masuk ke dalam ruangan bosnya tanpa mengetuk pintu. Tak ia pedulikan tatapan sinis Zain kepadanya.“Zain, lihat ini!” serunya, menyodorkan potret seorang gadis kecil dari

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 300

    Di atas sebuah sofa, seorang gadis kecil usia tujuh tahun tertidur pulas sambil memeluk boneka kelinci.Sementara tidak jauh dari gadis kecil itu, seorang lelaki usia akhir tiga puluhan terlihat sibuk dengan tarian kuas di atas sebuah kanvas. Rupanya ia tengah mengabadikan pose gadis cilik itu. Sesekali ia menoleh pada gadis kecil itu dengan tatapan penuh kekaguman. Kejelian mata seninya merekam dengan teliti gurat-gurat ekspresi gadis kecil yang menjadi modelnya.Lelaki itu tersenyum dan meninggalkan tempat duduknya, beranjak mendekati gadis kecil itu untuk membetulkan posisi gaunnya yang sedikit tersingkap. Diusapnya kening gadis kecil itu penuh kasih, lalu kembali ke hadapan kanvasnya.Gadis kecil itu masih tertidur lelap. Namun, perlahan raut mukanya berubah. Sepertinya ia tengah bermimpi.Sesosok bocah perempuan usia dua tahun tengah berdiri di samping mamanya sembari mendekap sebuah buku gambar.Merasa bosan menunggu mamanya yang ma

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 299

    Kabut pagi telah berlalu tersaput hangatnya sinar mentari. Zain dan keluarganya baru saja bersiap hendak mengikuti Kadir meninjau sawah yang lain ketika ponselnya berdering nyaring.“Ya?” sahut Zain, mengangkat panggilan teleponnya.Dadanya berdegup kencang ketika membaca nama salah seorang aparat polisi tertera di sana. Bayangan wajah Zaina langsung terlintas di benaknya.“Seseorang baru saja melaporkan penemuan anak hilang ke kantor kami, Pak. Usia dan ciri-cirinya mirip sekali dengan anak Bapak. Kami harap Bapak bisa segera datang untuk mengecek langsung,” beritahu aparat polisi itu dari seberang telepon.“Baik, Pak. Tunggu! Aku akan melesat ke sana,” sahut Zain, sigap.Detak jantungnya makin berpacu cepat. Ia sungguh memendam harap bahwa gadis kecil yang ditemukan itu benar-benar Zaina.“Sayang, Kai sama mama dan bibi ya. Papa pergi sebentar,” pamit Zaina pada Kaina yang tiba di sisinya. Ia berjongkok sembari mengusap lembut

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 298

    “Ayo, Nona Cilik … habiskan sarapannya ya … biar cepat besar,” rayu Siti, membujuk Kaina agar mau membuka mulut.Alih-alih termakan rayuan Siti, Kaina malah membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Kepalanya menggeleng kuat.“Sedikit lagi,” bujuk Siti.Kaina kembali menggeleng. Semenjak kembarannya menghilang, selera makan Kaina pun terbang. Saat Zaina masih ada, ia dan Zaina akan berlomba menghabiskan makanan mereka, disuapi Zain dan Amisha. Keduanya tampak bersemangat untuk menjadi pemenang.“Sudahlah, Bi. Tidak usah dipaksa kalau memang dia tidak mau,” ujar Amisha, menengahi Siti dan Kaina yang saling bersitegang dengan keinginan masing-masing.“Tapi, perjalanannya cukup jauh, Non. Nanti Non Kaina kelaparan,” kilah Siti.“Tidak apa-apa, Bi. Bawa bekal saja.”Siti tak lagi membantah. Ia meletakkan piring nasi yang dipegangnya di atas meja makan.Kaina menurunkan kedua tangan yang masih menutupi mulutnya.

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 297

    "Aaargh! Zainaku mana? Zaina!" jerit Amisha histeris sambil menjambak rambut dengan kasar. Kedua bola matanya bergerak liar ke segala arah, mencari keberadaan sosok Zaina.Kaina yang baru muncul di kamar mamanya sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Wajah imutnya seketika memucat. Kaki mungilnya spontan menapak mundur secara perlahan.Zain refleks menyambar tubuh Kaina dan mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya."Bawa Kaina bermain, Bi!" pinta Zain pada Siti.Asisten rumah tangganya itu juga sekonyong-konyong berlari ke lantai atas begitu mendengar jeritan Amisha.Zain menghampiri Amisha, mendekapnya dengan penuh kasih."Ini semua salahku. Aku yang membawanya ke mal itu. Aku yang membuat Zaina menghilang," racau Amisha dalam isak tangisnya.Sudah tiga bulan waktu berlalu. Namun, Amisha masih belum bisa menerima kenyataan hilangnya Zaina dengan lapang dada. Setelah melewati fase kehilangan yang membuatnya tampak li

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status