Setelah menidurkan Daffa, aku langsung menemui pemuda itu di ruang tamu. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, semua berisi barang-barang mewah dan mahal.
“Apa kamu sudah beristirahat?” Tanya lelaki itu mengejutkanku, aku langsung salah tingkah ketika melihatnya menatapku.
“Emm,,, sudah, Tuan sudah.” jawabku terbata-bata.
“Kemarilah.”
Aku berdiri di sampingnya.
“Loh, kok berdiri? Sini duduk.”
“Baik, Tuan.”
Setelah aku duduk, lelaki itu mengulurkan tangannya.
“Namaku, Rey Affandi. Panggil saja, Rey.”
“Baik, tuan Rey. Namaku Yonna.”
“Sebuah nama yang indah.” Pujinya, aku tersipu malu.
“Bisa saja, tuan Rey.”
“Hehe, kamu ke kota hanya berdua?”
“Iya, Tuan.”
“Apa suamimu tidak marah? Atau bahkan mencarimu?”
Mendengar perkataannya, aku terdiam sejenak.
“Suamiku pergi meninggalkanku, Tuan.”
Mata Rey membulat. “Maksudmu sudah meninggal?”
“Bukan, tetapi dia pergi begitu saja.”
“Hah, Jadi kamu janda? Eh, maksudku seorang ibu tunggal?”
“Iya aku janda, Tuan.”
Rey mengangguk-ngangguk di hadapanku. “Baiklah, semoga kamu betah ya kerja disini,”
Aku mengangguk pelan.
“Dimana istrimu, Tuan?”
“Emm,,,, kebetulan aku belum punya istri.”
“Di rumah sebesar ini, tuan Rey hanya sendiri?”
“tidak, aku tidak sendiri. Aku tinggal bersama abangku, itu kamarnya di sebelah sana.” Jelas Rey sembari menunjuk sebuah kamar yang tidak jauh dari kamarku.
“Oohh,,,, tetapi aku tidak melihatnya.”
“Dia jarang berada dirumah,”
“Lalu,?”
“Dia sering keluar kota untuk kerja.”
Aku mengangguk mendengar perkataannya, namun di dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa tuan Rey belum menikah, padahal dia tampan dan kaya raya.
“Mari aku tunjukkan ruangan-ruangan yang terdapat di dalam rumah ini, agar kamu tidak bingung nanti.”
“Baik, Tuan.”
Tuan Rey menunjukkan semua ruangan yang ada di dalam rumah mewah tersebut, mataku di sajikan dengan pemandangan-pemandangan yang luar biasa mewah, Aku berhenti dan bertanya padanya.
“Itu tempat apa, Tuan?” Tanyaku ketika aku melihat sebuah ruangan yang penuh dengan hiasan antik di dindingnya. Tidak jauh dari jendela, terdapat sebuah piano tua.”
“Ohh, ini ruangan Ibuku yang dulu suka bermain piano.”
“Ibu, Tuan?”
Rey mengangguk. “Iya,”
“Sekarang beliau kemana?”
Tuan Rey memandang ke atas langit-langit ruangan tersebut, ia terbayang masa kecilnya dulu.
“Ibuku sudah meninggal. Dan ayahku sudah menikah lagi dengan wanita lain, semenjak itu kami tidak tau lagi dia ada dimana. Untung ada nenek yang merawat aku dan abangku, sehingga kami sekarang seperti ini.”
Aku terharu mendengar perkataannya. “Kamu hebat, Tuan.”
“Ah, biasa saja.” Ucapnya dan tersenyum ke arahku
“Kalau begitu, boleh saya bekerja dari sekarang, Tuan?” Tanyaku.
“Besok saja, oh iya, saya sudah belikan makanan untuk kamu. Itu di atas meja, kamu boleh memakannya.” Tuan Rey menunjuk makanan yang tersedia di atas meja dapur.
“Terima kasih, Tuan.”
“Sama-sama, kalau begitu saya mau pergi dulu. Ada pekerjaan mendadak.”
“Baik, Tuan.”
Tuan Rey langsung pergi dari hadapanku, baru beberapa langkah ia berhenti.
“Yonna, sehabis makan kamu istirahat saja. Ada yang mau di tanyakan?” Tanyanya tanpa melihat ke arahku.
“Tidak, Tuan. Sekali lagi terima kasih.”
Tuan Rey tidak menjawab, ia melangkahkan kakinya pergi. Aku melihatnya dari belakang merasa kagum atas kebaikannya padaku.
Setelah tuan Rey pergi, aku belum merasa puas dengan apa yang tuan Rey tunjukkan padaku, mengingat Daffa yang tertidur aku mulai menelusuri kembali setiap ruangan yang ada. “Rumah sebesar ini hanya di huni dua orang?” Gumamku lirih.
“Aaaaaa!!!!!”
Aku berteriak ketika melihat tikus berlari ke arahku. “menjijikan sekali!” Umpatku.
Walaupun begitu aku tetap nekat untuk melanjutkan kembali rasa penasaranku.
Ternyata tuan Rey mendengar teriakanku barusan. “Yonna, aku cari-cari ternyata kamu disini, ada apa? Aku mendengar kamu berteriak barusan dari luar.” Tanyanya dengan wajah panik.
“Akh, tidak apa-apa, Tuan. Tadi aku hanya terkejut melihat tikus besar melintas di depanku.”
Mata tuan Rey melotot. “Tikus besar? Apa kamu yakin? Aku belum pernah melihat tikus di rumah ini.”
“yakin, Tuan! Aku melihatnya tadi disini.” Aku menunjuk tempat tikus itu berlari.
“Ah! Mungkin kamu hanya berhalusinasi saja, Yonna. Mana ada tikus disini.” Jawabnya tak percaya.
“Aku tidak berhalusinasi, Tuan. Tai benar-benar ada tikus disini.”
Tuan Rey menyerngitkan dahinya. “Yasudahlah, Yonna. Kamu cari saja tikus itu. Kalau kamu mendapatkannya langsung tunjukkan padaku.”
Mataku terbelalak. “Mencari tikus itu, Tuan?”
“Iya, kamu cari lalu kamu tunjukkan padaku.”
Aku bergidik geli. “Tidak! Aku tidak mau, Tuan. Itu sangat menjijikkan.”
“Hahaha, ada-ada saja kamu.”
Wajahku cemberut. “Tapi,,,,”
“Sssttttt..... Sudah. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku mau pergi dulu.” Ucapnya tanpa memperdulikan penjelasanku.
Melihat tuan Rey pergi, aku mencelanya dari belakang. “Belum tau saja, nanti kalau lihat baru tau rasa!” Ucapku pelan.
Aku menuju meja dapur, terdapat banyak makanan yang sudah disediakan yang kelihatannya sangat lezat. Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba Daffa menangis. Aku segera berlari menuju kamar. Aku langsung mendekap Daffa. “Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ini ibu.” Setelah Daffa berhenti menangis, aku langsung membawanya menuju meja dapur. Di sana aku langsung melahap makanan itu, tiba-tiba. “Siapa kamu?” Tanya seorang lelaki yang sangat mirip dengan tuan Rey. Aku terkejut, dan langsung terperangah menatapnya. “Ak,,, aku pembantu baru disini, Tuan,” “Pembantu?” Lelaki itu menatapku tak percaya. Aku mengangguk, makanan yang ada di dalam mulut langsung ku telan tanpa mengunyahnya lagi. “I,,,, iya. Saya pembantu baru disini.” “Siapa yang membiarkan kamu menjadi pembantu disini?” Tanyanya ketika melihat Daffa di dalam gendonganku. “Tuan Rey.” “Si, Rey? Mengapa dia membiarkan kamu membawa anak?” A
Malam harinya, tuan Rey pulang ke rumah dan membawa sebuah kursi roda untuk anak kecil.“Yonna,” panggilnya.Aku yang sedang berada di dalam kamar langsung bergegas keluar. “Iya, Tuan.”“Kesini, sebentar.”“Ada apa, Tuan?”Dia menyodorkan sebuah kotak besar padaku. “Ini, ambil untuk anakmu.”Aku menatap kotak besar itu dan bertanya. “Apa ini?”“Buka saja.”Tanpa menunggu lama aku langsung membuka kotak besar itu, agak susah. Ketika melihat isinya aku langsung terkejut.“Ini untuk anak saya, Tuan?”“Iya, itu untuk anakmu, agar kamu lebih mudah untuk bekerja.”“Terima kasih, Tuan Rey.”“Sama-sama. Emmm,,,, apa Abang saya sudah pulang?”“Sudah, Tuan. Itu di dalam kamar.”“Ohh,,,, yasudah kamu boleh pergi. Saya mau menemui Abang saya dulu.&rdq
“Tok,,,, tok,,,, tok,”Aku mengetuk pintu kamar tuan Roy, mencoba untuk membangunkannya.“Krieeett,,,,”Suara pintu terbuka, hatiku berdegup kencang seakan belum siap melihat ketampanannya.“Iya, Yonna. Ada apa?” Tanyanya yang saat itu sudah berdiri di depanku.“Emm,,, Tuan saya sudah siapkan makanan untuk malam ini,”“Oh, ya? Kamu sudah memberi tahu, Rey?”“Sudah, Tuan. Sekarang tuan Rey sedang menunggu tuan di meja makan.”“Wah! Aku keduluan , nih,” ucapnya sambil bergegas menutup pintu kamar dan berlari ke meja makan.“Hati-hati, Tuan!” Seruku ketika melihatnya berlari.Sesampainya di meja makan.“Wah, sudah duluan aja, nih.” Ujar Roy.“Abang lama, sih. Aku dari tadi sudah nungguin disini,”Roy menyerngitkan dahinya. “Nungguin? Kok itu Abang lihat s
Ku pandangi wajah Daffa anakku yang sedang tertidur lelap, tampak jelas wajah yang sangat mirip dengan ayahnya. Sekilas aku benci namun, terpikir lagi olehku bahwa Daffa adalah hartaku satu-satunya.“Jadi anak pintar ya, Sayang. Ibu akan melakukan apapun demi membuatmu bahagia.” Bisikku di telinga Daffa yang sedang tertidur lelap.Aku tidak tau perjuanganku sampai dimana, yang aku tau hanya bekerja siang dan malam demi hidup kami berdua.Baru saja aku memejamkan mata tiba-tiba. “Tok,,, tok,,, tok,” suara ketukan pintu terdengar sangat nyaring dari luar.“Yonna, apa kamu sudah tidur?” Suara yang tidak asing di dengar.“Tuan Roy. Ada apa, Tuan?” Tanyaku ketika membuka pintu, mendapati tuan Roy yang sudah berada di depan pintu kamarku.“Eh, belum tidur? Emm,,,, maaf mengganggu, Yon. Bisa tolong buatkan saya kopi?”“Kopi? Bukankah ini sudah malam, Tuan? Setau saya
“Ada apa, Tuan? Sepertinya Tuan Rey bingung.”“Iya saya bingung, Soalnya Abang saya baru kali ini mau minum kopi.”Mataku langsung membulat. “Jadi selama ini Tuan Roy, tidak pernah minum kopi?”“Emm,,,, bukan, bukan itu maksud saya, Yon. Dia sedikit trauma dengan kopi.”Aku semakin bingung. “Maksud Tuan?”“Akh, sudah lupakan. Apa kopinya sudah siap?”“Sudah, Tuan.”“Biar saya saja yang mengantarnya.”“Tapi, Tuan,”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu kembali saja ke kamar,”“Kalau begitu baiklah, Tuan.”“Sudah kamu beri gula?”Aku terkejut mendengar pertanyaan Tuan Rey yang terakhir.“Su,,,, sudah, Tuan.”“Oh, saya kira belum. Soalnya dia trauma Pahit.”Aku langsung terkejut seketika, teringat kesalahan yang baru saja aku l
Pagi ini aku sengaja membawa Daffa anakku untuk melihat-lihat taman di depan rumah, setelah menyelesaikan pekerjaan dan memandikan Daffa, aku bersiap-siap untuk mengajarinya berjalan. Tidak terasa umur Daffa sekarang sudah masuk satu tahun, ia sudah bisa berjalan walaupun masih tertatih-tatih.“Sayang, Sini.” Seruku pada Daffa, aku meletakkannya sedikit jauh dariku, dan menyuruhnya untuk berjalan mendekat.Dengan langkah yang sedikit gemetaran, Daffa mendekatiku, selangkah, dua langkah dan akhirnya ia sampai di pelukanku.“Anak ibu sangat pintar!” Teriakku ketika melihatnya berhasil mendekatiku tanpa terjatuh.Daffa tertawa bahagia melihatku, walaupun aku tidak mengerti apakah dia senang atau hanya merasa lucu ketika mendengar teriakanku.Tanpa aku sadari, Tuan Rey memperhatikanku dari kejauhan. Ketika aku melihat ke samping ia tersenyum kepadaku.“Daffa, sini sama, Om!” Teriaknya dari kejauhan.&ld
“Daffa, Sayang. Kamu ganteng banget sih,” ujar Roy.“Haha, iya dong, Om Roy.” Jawab Rey, kala itu sedang menggendong Daffa di dalam mobil.Daffa yang tidak mengerti apa-apa itu terlihat mengemut salah satu jarinya.“Eh, sayang. Jangan di makan jarinya.” Ujar Rey ketika mengetahui Daffa mengemut salah satu jarinya.Roy sedikit terkejut. “Kenapa, Rey?”Menunjukkan tangan Daffa yang basah karena air liur. “Lihat, Bang.”Roy hanya tertawa. “Ohh,, hahaha. Biasalah anak kecil,”“Emm,,,, apa dia haus ya, Bang?”Roy mengangguk. “Mungkin, Rey. Coba kamu berikan susu yang sudah disiapkan oleh Yonna tadi,”Tanpa menunggu lama Rey langsung mengeluarkan susu dari dalam tas yang sudah di siapkan Yonna.Rey memberikan botol susu itu pada Daffa. “Ini, Sayang.”Daffa langsung meminum susu tersebut. Tidak butuh waktu l
“Rey, Rey! Lihat, Daffa sudah bangun. Sekarang saatnya kita ajak dia bermain,”“Wah sini, Bang. Biarkan aku saja yang menggendongnya.”Roy memerikan Daffa pada Rey. “Hati-hati, Rey.”“Sudah, tenang saja.”Terlihat Daffa sangat senang, ketika Rey dan Roy mengajaknya menaiki wahana permainan, sudah seperti dua ayah dan satu anak.Tiba-tiba Daffa menangis, ternyata ia lapar Rey dan Roy sangat kebingungan. Di saat kepanikan mulai melanda, Rey teringat akan makanan yang dibawakan oleh Yonna di dalam tas tadi.“Bang, aku baru ingat! Yonna memberikan makanan di dalam tas,”“Di dalam tas? Bukankah tas itu di dalam mobil?”“Iya, Bang. Di dalam mobil, akan aku ambil sekarang.”“Eh, biarkan saja di mobil. Kita akan pulang.”“Pulang?“Iya pulang, sudah sore juga, Rey. Nanti kita mampir ke toko baju khusus anak-an