Aku berusaha menyetop setiap mobil yang melintas di depanku.
Tiba-tiba. “Mau kemana, Buk?” Tanya seorang sopir angkot dengan ramah padaku.
“Saya mau ke kota, Pak.”
“Ohh, kalau begitu naik saja, Buk. Kebetulan saya mencari penumpang tujuan kota.”
Aku melihat uang di genggaman tanganku.
“Segini cukup, Pak?” Tanyaku sembari menunjukkan uang yang aku pegang.
“Hmm,,, cukup, Buk cukup.”
Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke dalam angkot tersebut.
“Tunggu sebentar lagi ya, Buk. Saya masih menunggu penumpang lain,”
“Iya, Pak. Tidak apa-apa.”
Ketika muatan angkot sudah cukup banyak, sopir langsung berangkat menuju kota. Desakan demi desakan aku alami bersama penumpang lain ketika angkot yang aku tumpangi menambah muatannya.
“Pak, sudah dong. Jangan nampah penumpang lagi, disini sudah sempit sekali!” Seru seorang wanita muda yang terlihat kesal.
Sayangnya sopir angkot tersebut tidak menghiraukan perkataan wanita muda itu, ia terus saja menaikkan penumpang tanpa memikirkan kami.
“Stop! Saya turun disini saja!” Ucap wanita muda tadi, disusul penumpang yang lainnya.
“Iya kami stop disini saja.”
Sopir angkot tersebut terlihat bingung. “Kenapa, Ibuk-ibuk? Kan kota masih lumayan jauh.”
“Angkot sudah penuh! Masih saja ditambah penumpang lain! Kami mau duduk dimana!” Seru mereka saling bersahutan.
“Yasudah kalau begitu.”
“Dasar, sopir tidak punya otak!” Umpat seorang penumpang lelaki yang ikut turun.
Sopir tersebut tidak memperdulikan mereka yang mengumpatnya. Setelah meminta bayaran ia langsung pergi.
“Kenapa pak? Mereka benar, di dalam sudah sempit mengapa malah ditambah penumpang lagi?” Tanyaku heran.
“Semua sopir angkot begitu, Buk.”
“Mengapa begitu, Pak?”
“Sekalian jalan.” Ucapnya tanpa memberikan alasan yang tepat.
Aku hanya diam, tidak ingin membahasnya lagi.
Setengah perjalanan, aku membuka bungkusan yang diberikan oleh wanita paruh baya tadi, dan ternyata berisi banyak makanan, aku sangat bersyukur.
“Mau turun dimana, Buk? Ini sudah sampai kota.” Tanya sopir angkot tersebut, melihat aku yang tak kunjung meminta turun.
“Eh iya, Pak. Disini saja.”
“Baiklah.”
“Ini uangnya, Pak.”
Sopir angkot tersebut melihat uang yang aku berikan, ia langsung menyerngitkan dahinya. “Cuma segini? Kurang, Buk.”
Aku menatapnya bingung. “Loh, kok kurang? Bukankah tadi bapak bilang uangnya cukup?”
“Iya saya kira hanya berhenti di depan sana, makannya saya bilang cukup. Sedangkan ini sudah lewat jauh.”
“Saya hanya ada uang segitu, Pak.”
“Saya tidak mau tahu, Buk. Ini kurang!” bentaknya.
Aku sangat bingung, tiba-tiba sopir angkot tersebut melihat Daffa yang sedang aku gendong.
“Begini saja, anakmu bawa kesini, di jadi jaminan.”
“Maksud, Bapak apa?”
“Kamu cari kekurangan uangnya, dan sebagai jaminan anak kamu serahkan kepada saya.”
Aku langsung mendekap Daffa dengan erat.
“Tidak! aku tidak mau.”
“Kalau tidak mau, bayar sekarang!”
Aku menangis kebingungan, dan saat itu tiba-tiba seorang lelaki berpakaian sangat rapi dan berwajah tampan mendekati kami.
“Ada apa, ini?”
Sopir angkot itu menunjuk wajahku. “Wanita ini tidak tahu malu! Uang dia kurang untuk membayar ongkos angkot saya,”
“Berapa Kurangnya? Ini saya bayar.” Ujar lelaki tersebut sembari menyodorkan uang ratusan ribu.
“Ba,,,, banyak sekali, Mas. Saya hanya kurang sepuluh ribu.” Ucapku terbata-bata, ketika melihat uang yang ia berikan kepada sopir itu begitu banyak.
Sopir angkot tersebut menatapku dengan wajah kesal, dan tanpa berlama-lama ia langsung meraih uang yang diberikan lelaki tampan tersebut.
“Oh, terima kasih, Mas.”
Lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum, setelah sopir angkot itu pergi ia langsung bertanya padaku.
“Mau ke mana, Mbak?”
Aku langsung salah tingkah. “A,,,, aku mau pergi, Mas.”
“Iya saya tau, maksud saya mau pergi kemana?”
“Emm,,,, saya juga tidak tau, Mas. Saya mau mencari pekerjaan.”
Lelaki itu melihat Daffa yang berada di gendonganku.
“Itu anak kamu?”
“Iya, Mas. Ini anak saya.”
Lelaki tampan tersebut mengangguk.
“Begini saja, dirumah saya membutuhkan seorang pembantu, apa kamu mau?”
Seketika aku tersentak, dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tidak mau namun, setelah melihat wajah anakku Daffa, aku berpikir sejenak.
“Bagaimana, apa kamu bersedia?” Tanya lelaki itu memecahkan diamku.
“Saya mau, Mas.”
“Hem,,,, baiklah. Ayo ikut dengan saya.”
“Kemana, Mas?”
“ Ke rumah saya.”
Aku langsung mengikutinya dari belakang, jarak beberapa meter aku tiba di sebuah rumah mewah, dengan halaman yang sangat luas, bersih dan rapi.
“Ini rumahku.”
“Ini?”
“Iya, kenapa?”
“Besar sekali, Mas. Eh maksudku, Tuan.”
Lelaki tersebut tersenyum ke arahku. “ Sudah tidak apa-apa panggil, Mas saja.”
“Emm,,,, tidak, Tuan. Sekarang kamu adalah majikanku.”
“Yasudah. Mari ikut denganku.”
Lelaki tersebut membawaku masuk, sebelum masuk aku melihat ke arah garasi yang di dalamnya terparkir mobil yang sangat mewah, aku terbelalak.
“Itu mobil, Tuan?”
“Mana?”
Aku menunjuk ke arah garasi. “Itu.”
“Ohhh,,,, Iya itu mobilku.”
Aku terperangah. “Wahh,,,, bagus sekali.”
“Yasudah, yuk.”
Lelaki tampan itu membawaku ke sebuah kamar.
“Ini kamar kamu, ya.”
Ketika membuka pintu kamar aku terkejut. “Hah, ini kamarku, Tuan?”
“Iya, ini kamarmu kenapa? Tidak suka ya,”
“Buu,,,, bukan tidak suka, Tuan. Tetapi ini terlalu besar dan sangat bagus sekali.”
“Sudah, tidak ap-apa, emm,,,, kalau begitu kamu beres-beres dan istirahat dulu. Nanti jika sudah temui saya di ruang tamu.”
“baik, Tuan. Sekali lagi terima kasih.”
Setelah menidurkan Daffa, aku langsung menemui pemuda itu di ruang tamu. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, semua berisi barang-barang mewah dan mahal.“Apa kamu sudah beristirahat?” Tanya lelaki itu mengejutkanku, aku langsung salah tingkah ketika melihatnya menatapku.“Emm,,, sudah, Tuan sudah.” jawabku terbata-bata.“Kemarilah.”Aku berdiri di sampingnya.“Loh, kok berdiri? Sini duduk.”“Baik, Tuan.”Setelah aku duduk, lelaki itu mengulurkan tangannya.“Namaku, Rey Affandi. Panggil saja, Rey.”“Baik, tuan Rey. Namaku Yonna.”“Sebuah nama yang indah.” Pujinya, aku tersipu malu.“Bisa saja, tuan Rey.”“Hehe, kamu ke kota hanya berdua?”“Iya, Tuan.”“Apa suamimu tidak marah? Atau bahkan mencarimu?”Mendengar perkataannya, aku terdiam sejen
Aku menuju meja dapur, terdapat banyak makanan yang sudah disediakan yang kelihatannya sangat lezat. Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba Daffa menangis. Aku segera berlari menuju kamar. Aku langsung mendekap Daffa. “Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ini ibu.” Setelah Daffa berhenti menangis, aku langsung membawanya menuju meja dapur. Di sana aku langsung melahap makanan itu, tiba-tiba. “Siapa kamu?” Tanya seorang lelaki yang sangat mirip dengan tuan Rey. Aku terkejut, dan langsung terperangah menatapnya. “Ak,,, aku pembantu baru disini, Tuan,” “Pembantu?” Lelaki itu menatapku tak percaya. Aku mengangguk, makanan yang ada di dalam mulut langsung ku telan tanpa mengunyahnya lagi. “I,,,, iya. Saya pembantu baru disini.” “Siapa yang membiarkan kamu menjadi pembantu disini?” Tanyanya ketika melihat Daffa di dalam gendonganku. “Tuan Rey.” “Si, Rey? Mengapa dia membiarkan kamu membawa anak?” A
Malam harinya, tuan Rey pulang ke rumah dan membawa sebuah kursi roda untuk anak kecil.“Yonna,” panggilnya.Aku yang sedang berada di dalam kamar langsung bergegas keluar. “Iya, Tuan.”“Kesini, sebentar.”“Ada apa, Tuan?”Dia menyodorkan sebuah kotak besar padaku. “Ini, ambil untuk anakmu.”Aku menatap kotak besar itu dan bertanya. “Apa ini?”“Buka saja.”Tanpa menunggu lama aku langsung membuka kotak besar itu, agak susah. Ketika melihat isinya aku langsung terkejut.“Ini untuk anak saya, Tuan?”“Iya, itu untuk anakmu, agar kamu lebih mudah untuk bekerja.”“Terima kasih, Tuan Rey.”“Sama-sama. Emmm,,,, apa Abang saya sudah pulang?”“Sudah, Tuan. Itu di dalam kamar.”“Ohh,,,, yasudah kamu boleh pergi. Saya mau menemui Abang saya dulu.&rdq
“Tok,,,, tok,,,, tok,”Aku mengetuk pintu kamar tuan Roy, mencoba untuk membangunkannya.“Krieeett,,,,”Suara pintu terbuka, hatiku berdegup kencang seakan belum siap melihat ketampanannya.“Iya, Yonna. Ada apa?” Tanyanya yang saat itu sudah berdiri di depanku.“Emm,,, Tuan saya sudah siapkan makanan untuk malam ini,”“Oh, ya? Kamu sudah memberi tahu, Rey?”“Sudah, Tuan. Sekarang tuan Rey sedang menunggu tuan di meja makan.”“Wah! Aku keduluan , nih,” ucapnya sambil bergegas menutup pintu kamar dan berlari ke meja makan.“Hati-hati, Tuan!” Seruku ketika melihatnya berlari.Sesampainya di meja makan.“Wah, sudah duluan aja, nih.” Ujar Roy.“Abang lama, sih. Aku dari tadi sudah nungguin disini,”Roy menyerngitkan dahinya. “Nungguin? Kok itu Abang lihat s
Ku pandangi wajah Daffa anakku yang sedang tertidur lelap, tampak jelas wajah yang sangat mirip dengan ayahnya. Sekilas aku benci namun, terpikir lagi olehku bahwa Daffa adalah hartaku satu-satunya.“Jadi anak pintar ya, Sayang. Ibu akan melakukan apapun demi membuatmu bahagia.” Bisikku di telinga Daffa yang sedang tertidur lelap.Aku tidak tau perjuanganku sampai dimana, yang aku tau hanya bekerja siang dan malam demi hidup kami berdua.Baru saja aku memejamkan mata tiba-tiba. “Tok,,, tok,,, tok,” suara ketukan pintu terdengar sangat nyaring dari luar.“Yonna, apa kamu sudah tidur?” Suara yang tidak asing di dengar.“Tuan Roy. Ada apa, Tuan?” Tanyaku ketika membuka pintu, mendapati tuan Roy yang sudah berada di depan pintu kamarku.“Eh, belum tidur? Emm,,,, maaf mengganggu, Yon. Bisa tolong buatkan saya kopi?”“Kopi? Bukankah ini sudah malam, Tuan? Setau saya
“Ada apa, Tuan? Sepertinya Tuan Rey bingung.”“Iya saya bingung, Soalnya Abang saya baru kali ini mau minum kopi.”Mataku langsung membulat. “Jadi selama ini Tuan Roy, tidak pernah minum kopi?”“Emm,,,, bukan, bukan itu maksud saya, Yon. Dia sedikit trauma dengan kopi.”Aku semakin bingung. “Maksud Tuan?”“Akh, sudah lupakan. Apa kopinya sudah siap?”“Sudah, Tuan.”“Biar saya saja yang mengantarnya.”“Tapi, Tuan,”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu kembali saja ke kamar,”“Kalau begitu baiklah, Tuan.”“Sudah kamu beri gula?”Aku terkejut mendengar pertanyaan Tuan Rey yang terakhir.“Su,,,, sudah, Tuan.”“Oh, saya kira belum. Soalnya dia trauma Pahit.”Aku langsung terkejut seketika, teringat kesalahan yang baru saja aku l
Pagi ini aku sengaja membawa Daffa anakku untuk melihat-lihat taman di depan rumah, setelah menyelesaikan pekerjaan dan memandikan Daffa, aku bersiap-siap untuk mengajarinya berjalan. Tidak terasa umur Daffa sekarang sudah masuk satu tahun, ia sudah bisa berjalan walaupun masih tertatih-tatih.“Sayang, Sini.” Seruku pada Daffa, aku meletakkannya sedikit jauh dariku, dan menyuruhnya untuk berjalan mendekat.Dengan langkah yang sedikit gemetaran, Daffa mendekatiku, selangkah, dua langkah dan akhirnya ia sampai di pelukanku.“Anak ibu sangat pintar!” Teriakku ketika melihatnya berhasil mendekatiku tanpa terjatuh.Daffa tertawa bahagia melihatku, walaupun aku tidak mengerti apakah dia senang atau hanya merasa lucu ketika mendengar teriakanku.Tanpa aku sadari, Tuan Rey memperhatikanku dari kejauhan. Ketika aku melihat ke samping ia tersenyum kepadaku.“Daffa, sini sama, Om!” Teriaknya dari kejauhan.&ld
“Daffa, Sayang. Kamu ganteng banget sih,” ujar Roy.“Haha, iya dong, Om Roy.” Jawab Rey, kala itu sedang menggendong Daffa di dalam mobil.Daffa yang tidak mengerti apa-apa itu terlihat mengemut salah satu jarinya.“Eh, sayang. Jangan di makan jarinya.” Ujar Rey ketika mengetahui Daffa mengemut salah satu jarinya.Roy sedikit terkejut. “Kenapa, Rey?”Menunjukkan tangan Daffa yang basah karena air liur. “Lihat, Bang.”Roy hanya tertawa. “Ohh,, hahaha. Biasalah anak kecil,”“Emm,,,, apa dia haus ya, Bang?”Roy mengangguk. “Mungkin, Rey. Coba kamu berikan susu yang sudah disiapkan oleh Yonna tadi,”Tanpa menunggu lama Rey langsung mengeluarkan susu dari dalam tas yang sudah di siapkan Yonna.Rey memberikan botol susu itu pada Daffa. “Ini, Sayang.”Daffa langsung meminum susu tersebut. Tidak butuh waktu l