Share

Senyuman Tuan Roy

Aku menuju meja dapur, terdapat banyak makanan yang sudah disediakan yang kelihatannya sangat lezat.

Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba Daffa menangis. Aku segera berlari menuju kamar.

Aku langsung mendekap Daffa. “Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ini ibu.”

Setelah Daffa berhenti menangis, aku langsung membawanya menuju meja dapur. Di sana aku  langsung melahap makanan itu, tiba-tiba.

“Siapa kamu?” Tanya seorang lelaki yang sangat mirip dengan tuan Rey.

Aku terkejut, dan langsung terperangah menatapnya. “Ak,,, aku pembantu baru disini, Tuan,”

“Pembantu?” Lelaki itu menatapku tak percaya.

Aku mengangguk, makanan yang ada di dalam mulut langsung ku telan tanpa mengunyahnya lagi. “I,,,, iya. Saya pembantu baru disini.”

“Siapa yang membiarkan kamu menjadi pembantu disini?” Tanyanya ketika melihat Daffa di dalam gendonganku.

“Tuan Rey.”

“Si, Rey? Mengapa dia membiarkan kamu membawa anak?”

Aku menunduk, tak berani menatap wajahnya.

“Tolong jangan usir saya, Tuan. Saya membutuhkan pekerjaan ini.”

“Kamu tidak akan fokus bekerja jika, membawa anakmu yang masih balita disini.”

Aku langsung berlutut di kakinya, terlihat seperti wanita yang tidak punya harga diri lagi.

“Tolong, Tuan. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Suami saya pergi meninggalkan saya dan saya tidak punya tempat tinggal sama sekali.”

“Berdiri! Siapa yang menyuruhmu untuk berlutut?”

Aku langsung bangun. “Maafkan aku, Tuan.”

“Makan lah, nanti saya akan berbicara pada, Rey.”

Mendengar perkataannya aku langsung menangis, tipis harapan untuk tetap berada disini. Aku langsung pergi kembali ke dalam kamar, makanan di atas meja kubiarkan terbuka.

Ketika aku ingin membuka pintu kamar, ternyata lelaki itu sudah berada di sampingku. “Loh, kenapa kamu tidak makan?”

Aku sedikit terkejut, aku lupa bahwa kamar lelaki itu tidak jauh dari kamarku berada. “Saya tidak lapar lagi, Tuan. Saya ingin membereskan barang-barang saya.”

“Membereskan barang-barang?”

“Iya, Tuan.”

“Untuk apa?”

“Saya mau pergi, Tuan.”

“Apa! Pergi? Siapa yang menyuruhmu pergi?”

Mataku langsung membulat. “Bukankah, Tuan tidak setuju jika aku bekerja disini?”

Lelaki itu menyerngitkan dahinya. “Ada saya bilang tidak setuju?”

Aku menggeleng.

“Sudah, Kamu makan sana. Nanti kita ngobrol lagi.”

“Baik, Tuan.”

Dengan langkah malu-malu aku kembali ke dapur untuk makan makanan tadi.

“Tunggu!” teriak lelaki itu.

Aku menoleh. “Ada apa, Tuan?”

“Berikan anakmu padaku.” Pintanya.

“Anak, Saya?” Tanyaku seakan tak percaya dengan apa yang barusan diucapkannya.

“Iya, anakmu. Berikan dia padaku.”

Aku menatap Daffa yang masih tertidur lelap. “Apa tidak merepotkan, Tuan? Saya takut nanti dia menangis dan malah merepotkan, Tuan.”

“Sudah tidak apa-apa.” Ucapnya sambil mengulurkan kedua tangannya.”

Aku memberikan Daffa padanya dengan sedikit ragu-ragu. “Benar tidak apa-apa, Tuan?”

“Iya, aku suka anak kecil.” Jawabnya sambil meraih Daffa dari tanganku.

“Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan.”

Lelaki itu hanya mengangguk dan langsung membawa Daffa ke kamarnya.

Aku merasa sangat bahagia dan beruntung, mendapatkan majikan yang tampan dan baik hati seperti mereka berdua.

Hampir saja aku menghabiskan semua makanan yang ada di atas meja, tanpa sekalipun aku mendengar tangisan Daffa anakku.

Setelah aku membereskan semua makanan di atas meja, aku langsung menemui lelaki tersebut, takut jika Daffa menangis dan merepotkannya.

tok,,,, tok,,,, tok,”

“Permisi, Tuan.”

Terdengar sahutan dari dalam kamar. “Iya, Tunggu sebentar.”

krieeettt,,,,” Pintunya terbuka, lelaki tersebut keluar sambil menggendong Daffa anakku, terlihat Daffa sangat nyaman di pelukan lelaki tersebut walaupun ia sudah bangun. Dengan berat hati aku memintanya.

“Maaf, Tuan. Saya ingin mengambil anak saya,”

“Akh, biarkan saja anak ini bersamaku dulu, dia juga tidak menangis.”

“Tapi, Tuan,”

“Sudah tidak apa-apa.”

“Baiklah, Tuan. Kalau begitu saya titip anak saya, Tuan. Jika dia menangis, tolong panggil saya ya?”

“Baiklah. Oh iya, aku hampir lupa, siapa namamu?”

“Namaku Yonna, Tuan.” Jawabku sembari mengulurkan tangan.

Lelaki tersebut langsung menjabat tanganku. “Aku, Roy.”

Ketika dia menjabat tanganku, darahku terasa berhenti mengalir. Aku menatap wajahnya, dia lebih tampan dari tuan Rey. Badannya tinggi dan berisi.

“Kenapa?” Tanyanya membuyarkan lamunanku.

“Akhh,,,, tidak apa-apa, Tuan. Maaf saya ke belakang dulu.” Ucapku sambil berlalu meninggalkannya.

Baru beberapa langkah aku berjalan menjauh tiba-tiba. “Yonna!”

Aku berhenti melangkah, dan kembali mendekatinya. "Iya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"

"Emm,,,,, Rey sudah pulang belum ya?"

"Sepertinya belum, Tuan."

"Ohh, yasudah kalau begitu, kamu boleh pergi,"

"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu." 

Tuan Roy hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku. Aku kembali menatapnya tanpa berkedip, senyumannya seakan menghipnotis ku saat itu juga. Tak berselang lama tuan Roy masuk, dan aku langsung pergi ke kamarku yang tak jauh dari kamar tuan Roy.

Di dalam kamar, aku teringat akan senyuman tuan Roy. Kembali aku  membayangkan tubuhnya yang tinggi dan berisi dipadukan dengan senyuman manis sungguh lelaki idaman seluruh wanita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status