Aku menuju meja dapur, terdapat banyak makanan yang sudah disediakan yang kelihatannya sangat lezat.
Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba Daffa menangis. Aku segera berlari menuju kamar.
Aku langsung mendekap Daffa. “Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ini ibu.”
Setelah Daffa berhenti menangis, aku langsung membawanya menuju meja dapur. Di sana aku langsung melahap makanan itu, tiba-tiba.
“Siapa kamu?” Tanya seorang lelaki yang sangat mirip dengan tuan Rey.
Aku terkejut, dan langsung terperangah menatapnya. “Ak,,, aku pembantu baru disini, Tuan,”
“Pembantu?” Lelaki itu menatapku tak percaya.
Aku mengangguk, makanan yang ada di dalam mulut langsung ku telan tanpa mengunyahnya lagi. “I,,,, iya. Saya pembantu baru disini.”
“Siapa yang membiarkan kamu menjadi pembantu disini?” Tanyanya ketika melihat Daffa di dalam gendonganku.
“Tuan Rey.”
“Si, Rey? Mengapa dia membiarkan kamu membawa anak?”
Aku menunduk, tak berani menatap wajahnya.
“Tolong jangan usir saya, Tuan. Saya membutuhkan pekerjaan ini.”
“Kamu tidak akan fokus bekerja jika, membawa anakmu yang masih balita disini.”
Aku langsung berlutut di kakinya, terlihat seperti wanita yang tidak punya harga diri lagi.
“Tolong, Tuan. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Suami saya pergi meninggalkan saya dan saya tidak punya tempat tinggal sama sekali.”
“Berdiri! Siapa yang menyuruhmu untuk berlutut?”
Aku langsung bangun. “Maafkan aku, Tuan.”
“Makan lah, nanti saya akan berbicara pada, Rey.”
Mendengar perkataannya aku langsung menangis, tipis harapan untuk tetap berada disini. Aku langsung pergi kembali ke dalam kamar, makanan di atas meja kubiarkan terbuka.
Ketika aku ingin membuka pintu kamar, ternyata lelaki itu sudah berada di sampingku. “Loh, kenapa kamu tidak makan?”
Aku sedikit terkejut, aku lupa bahwa kamar lelaki itu tidak jauh dari kamarku berada. “Saya tidak lapar lagi, Tuan. Saya ingin membereskan barang-barang saya.”
“Membereskan barang-barang?”
“Iya, Tuan.”
“Untuk apa?”
“Saya mau pergi, Tuan.”
“Apa! Pergi? Siapa yang menyuruhmu pergi?”
Mataku langsung membulat. “Bukankah, Tuan tidak setuju jika aku bekerja disini?”
Lelaki itu menyerngitkan dahinya. “Ada saya bilang tidak setuju?”
Aku menggeleng.
“Sudah, Kamu makan sana. Nanti kita ngobrol lagi.”
“Baik, Tuan.”
Dengan langkah malu-malu aku kembali ke dapur untuk makan makanan tadi.
“Tunggu!” teriak lelaki itu.
Aku menoleh. “Ada apa, Tuan?”
“Berikan anakmu padaku.” Pintanya.
“Anak, Saya?” Tanyaku seakan tak percaya dengan apa yang barusan diucapkannya.
“Iya, anakmu. Berikan dia padaku.”
Aku menatap Daffa yang masih tertidur lelap. “Apa tidak merepotkan, Tuan? Saya takut nanti dia menangis dan malah merepotkan, Tuan.”
“Sudah tidak apa-apa.” Ucapnya sambil mengulurkan kedua tangannya.”
Aku memberikan Daffa padanya dengan sedikit ragu-ragu. “Benar tidak apa-apa, Tuan?”
“Iya, aku suka anak kecil.” Jawabnya sambil meraih Daffa dari tanganku.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan.”
Lelaki itu hanya mengangguk dan langsung membawa Daffa ke kamarnya.
Aku merasa sangat bahagia dan beruntung, mendapatkan majikan yang tampan dan baik hati seperti mereka berdua.
Hampir saja aku menghabiskan semua makanan yang ada di atas meja, tanpa sekalipun aku mendengar tangisan Daffa anakku.
Setelah aku membereskan semua makanan di atas meja, aku langsung menemui lelaki tersebut, takut jika Daffa menangis dan merepotkannya.
“tok,,,, tok,,,, tok,”
“Permisi, Tuan.”
Terdengar sahutan dari dalam kamar. “Iya, Tunggu sebentar.”
“krieeettt,,,,” Pintunya terbuka, lelaki tersebut keluar sambil menggendong Daffa anakku, terlihat Daffa sangat nyaman di pelukan lelaki tersebut walaupun ia sudah bangun. Dengan berat hati aku memintanya.
“Maaf, Tuan. Saya ingin mengambil anak saya,”
“Akh, biarkan saja anak ini bersamaku dulu, dia juga tidak menangis.”
“Tapi, Tuan,”
“Sudah tidak apa-apa.”
“Baiklah, Tuan. Kalau begitu saya titip anak saya, Tuan. Jika dia menangis, tolong panggil saya ya?”
“Baiklah. Oh iya, aku hampir lupa, siapa namamu?”
“Namaku Yonna, Tuan.” Jawabku sembari mengulurkan tangan.
Lelaki tersebut langsung menjabat tanganku. “Aku, Roy.”
Ketika dia menjabat tanganku, darahku terasa berhenti mengalir. Aku menatap wajahnya, dia lebih tampan dari tuan Rey. Badannya tinggi dan berisi.
“Kenapa?” Tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Akhh,,,, tidak apa-apa, Tuan. Maaf saya ke belakang dulu.” Ucapku sambil berlalu meninggalkannya.
Baru beberapa langkah aku berjalan menjauh tiba-tiba. “Yonna!”
Aku berhenti melangkah, dan kembali mendekatinya. "Iya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"
"Emm,,,,, Rey sudah pulang belum ya?"
"Sepertinya belum, Tuan."
"Ohh, yasudah kalau begitu, kamu boleh pergi,"
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu."
Tuan Roy hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku. Aku kembali menatapnya tanpa berkedip, senyumannya seakan menghipnotis ku saat itu juga. Tak berselang lama tuan Roy masuk, dan aku langsung pergi ke kamarku yang tak jauh dari kamar tuan Roy.
Di dalam kamar, aku teringat akan senyuman tuan Roy. Kembali aku membayangkan tubuhnya yang tinggi dan berisi dipadukan dengan senyuman manis sungguh lelaki idaman seluruh wanita.
Malam harinya, tuan Rey pulang ke rumah dan membawa sebuah kursi roda untuk anak kecil.“Yonna,” panggilnya.Aku yang sedang berada di dalam kamar langsung bergegas keluar. “Iya, Tuan.”“Kesini, sebentar.”“Ada apa, Tuan?”Dia menyodorkan sebuah kotak besar padaku. “Ini, ambil untuk anakmu.”Aku menatap kotak besar itu dan bertanya. “Apa ini?”“Buka saja.”Tanpa menunggu lama aku langsung membuka kotak besar itu, agak susah. Ketika melihat isinya aku langsung terkejut.“Ini untuk anak saya, Tuan?”“Iya, itu untuk anakmu, agar kamu lebih mudah untuk bekerja.”“Terima kasih, Tuan Rey.”“Sama-sama. Emmm,,,, apa Abang saya sudah pulang?”“Sudah, Tuan. Itu di dalam kamar.”“Ohh,,,, yasudah kamu boleh pergi. Saya mau menemui Abang saya dulu.&rdq
“Tok,,,, tok,,,, tok,”Aku mengetuk pintu kamar tuan Roy, mencoba untuk membangunkannya.“Krieeett,,,,”Suara pintu terbuka, hatiku berdegup kencang seakan belum siap melihat ketampanannya.“Iya, Yonna. Ada apa?” Tanyanya yang saat itu sudah berdiri di depanku.“Emm,,, Tuan saya sudah siapkan makanan untuk malam ini,”“Oh, ya? Kamu sudah memberi tahu, Rey?”“Sudah, Tuan. Sekarang tuan Rey sedang menunggu tuan di meja makan.”“Wah! Aku keduluan , nih,” ucapnya sambil bergegas menutup pintu kamar dan berlari ke meja makan.“Hati-hati, Tuan!” Seruku ketika melihatnya berlari.Sesampainya di meja makan.“Wah, sudah duluan aja, nih.” Ujar Roy.“Abang lama, sih. Aku dari tadi sudah nungguin disini,”Roy menyerngitkan dahinya. “Nungguin? Kok itu Abang lihat s
Ku pandangi wajah Daffa anakku yang sedang tertidur lelap, tampak jelas wajah yang sangat mirip dengan ayahnya. Sekilas aku benci namun, terpikir lagi olehku bahwa Daffa adalah hartaku satu-satunya.“Jadi anak pintar ya, Sayang. Ibu akan melakukan apapun demi membuatmu bahagia.” Bisikku di telinga Daffa yang sedang tertidur lelap.Aku tidak tau perjuanganku sampai dimana, yang aku tau hanya bekerja siang dan malam demi hidup kami berdua.Baru saja aku memejamkan mata tiba-tiba. “Tok,,, tok,,, tok,” suara ketukan pintu terdengar sangat nyaring dari luar.“Yonna, apa kamu sudah tidur?” Suara yang tidak asing di dengar.“Tuan Roy. Ada apa, Tuan?” Tanyaku ketika membuka pintu, mendapati tuan Roy yang sudah berada di depan pintu kamarku.“Eh, belum tidur? Emm,,,, maaf mengganggu, Yon. Bisa tolong buatkan saya kopi?”“Kopi? Bukankah ini sudah malam, Tuan? Setau saya
“Ada apa, Tuan? Sepertinya Tuan Rey bingung.”“Iya saya bingung, Soalnya Abang saya baru kali ini mau minum kopi.”Mataku langsung membulat. “Jadi selama ini Tuan Roy, tidak pernah minum kopi?”“Emm,,,, bukan, bukan itu maksud saya, Yon. Dia sedikit trauma dengan kopi.”Aku semakin bingung. “Maksud Tuan?”“Akh, sudah lupakan. Apa kopinya sudah siap?”“Sudah, Tuan.”“Biar saya saja yang mengantarnya.”“Tapi, Tuan,”“Sudah, tidak apa-apa. Kamu kembali saja ke kamar,”“Kalau begitu baiklah, Tuan.”“Sudah kamu beri gula?”Aku terkejut mendengar pertanyaan Tuan Rey yang terakhir.“Su,,,, sudah, Tuan.”“Oh, saya kira belum. Soalnya dia trauma Pahit.”Aku langsung terkejut seketika, teringat kesalahan yang baru saja aku l
Pagi ini aku sengaja membawa Daffa anakku untuk melihat-lihat taman di depan rumah, setelah menyelesaikan pekerjaan dan memandikan Daffa, aku bersiap-siap untuk mengajarinya berjalan. Tidak terasa umur Daffa sekarang sudah masuk satu tahun, ia sudah bisa berjalan walaupun masih tertatih-tatih.“Sayang, Sini.” Seruku pada Daffa, aku meletakkannya sedikit jauh dariku, dan menyuruhnya untuk berjalan mendekat.Dengan langkah yang sedikit gemetaran, Daffa mendekatiku, selangkah, dua langkah dan akhirnya ia sampai di pelukanku.“Anak ibu sangat pintar!” Teriakku ketika melihatnya berhasil mendekatiku tanpa terjatuh.Daffa tertawa bahagia melihatku, walaupun aku tidak mengerti apakah dia senang atau hanya merasa lucu ketika mendengar teriakanku.Tanpa aku sadari, Tuan Rey memperhatikanku dari kejauhan. Ketika aku melihat ke samping ia tersenyum kepadaku.“Daffa, sini sama, Om!” Teriaknya dari kejauhan.&ld
“Daffa, Sayang. Kamu ganteng banget sih,” ujar Roy.“Haha, iya dong, Om Roy.” Jawab Rey, kala itu sedang menggendong Daffa di dalam mobil.Daffa yang tidak mengerti apa-apa itu terlihat mengemut salah satu jarinya.“Eh, sayang. Jangan di makan jarinya.” Ujar Rey ketika mengetahui Daffa mengemut salah satu jarinya.Roy sedikit terkejut. “Kenapa, Rey?”Menunjukkan tangan Daffa yang basah karena air liur. “Lihat, Bang.”Roy hanya tertawa. “Ohh,, hahaha. Biasalah anak kecil,”“Emm,,,, apa dia haus ya, Bang?”Roy mengangguk. “Mungkin, Rey. Coba kamu berikan susu yang sudah disiapkan oleh Yonna tadi,”Tanpa menunggu lama Rey langsung mengeluarkan susu dari dalam tas yang sudah di siapkan Yonna.Rey memberikan botol susu itu pada Daffa. “Ini, Sayang.”Daffa langsung meminum susu tersebut. Tidak butuh waktu l
“Rey, Rey! Lihat, Daffa sudah bangun. Sekarang saatnya kita ajak dia bermain,”“Wah sini, Bang. Biarkan aku saja yang menggendongnya.”Roy memerikan Daffa pada Rey. “Hati-hati, Rey.”“Sudah, tenang saja.”Terlihat Daffa sangat senang, ketika Rey dan Roy mengajaknya menaiki wahana permainan, sudah seperti dua ayah dan satu anak.Tiba-tiba Daffa menangis, ternyata ia lapar Rey dan Roy sangat kebingungan. Di saat kepanikan mulai melanda, Rey teringat akan makanan yang dibawakan oleh Yonna di dalam tas tadi.“Bang, aku baru ingat! Yonna memberikan makanan di dalam tas,”“Di dalam tas? Bukankah tas itu di dalam mobil?”“Iya, Bang. Di dalam mobil, akan aku ambil sekarang.”“Eh, biarkan saja di mobil. Kita akan pulang.”“Pulang?“Iya pulang, sudah sore juga, Rey. Nanti kita mampir ke toko baju khusus anak-an
Aku melihat sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah, segera aku berlari menghampiri mobil tersebut, ketika aku menuruni tangga, tanpa hati-hati aku terpeleset dan terjatuh. Akibatnya aku berjalan pincang.“Yonna, sini keluar.” Teriak Tuan Rey dari luar.Aku mempercepat langkah kakiku. “Iya, Tuan.”Dengan kaki terpincang-pincang aku menghampiri mereka berdua.Ternyata dari kejauhan, Tuan Roy melihat aku berjalan dengan kaki yang pincang, ia lantas bertanya dengan raut wajah yang khawatir.“Yonna, kaki kamu kenapa?”Aku berusaha menyembunyikan rasa sakit yang ku rasakan. “Oh, tidak apa-apa, Tuan. Hanya keseleo sedikit saja,”“Mana, coba saya lihat.”“Sungguh tidak apa-apa, Tuan. Ini hanya sebentar, nanti juga sembuh lagi, Tuan.”Tanpa mendengarkan perkataan ku, Tuan Roy langsung menurunkan badannya dan memegang kakiku. Aku terdiam kaku melihat perl