Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban.
“Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu, sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.”
“Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra!”
“Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.”
“Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!”
Aara tersenyum.
“Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu, adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang Cit. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?”
“Ra, kita kan juga h
Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen. “Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini!” ucap Aara, kecewa. “Memangnya ada apa?” “Alasannya, tugasnya terlalu sulit! Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!” Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu!” “Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” . “Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.” “Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya
Dalam perjalanan pulang, Aara dan Citra mencipta hening. Aara sekali-kali menoleh ke arah Citra, namun dilihatnya, sahabatnya itu masih terlihat sangat sedih. “Cit….” “Iya,” jawab Citra, pelan. “Aku mau bertanya, aku masih bingung!” “Iya.” “Kamu dulu pernah cerita tentang kakak senior kamu, yang kamu sebut kak Man. Tapi, tadi Hendri sebut abangnya itu Fajar?” “Kak Man itu, Fajar Bimantara!” “Oh gitu.” Aara mengangguk. “Dulu, saat kuliah, kak Man itu sedikit nakal, jarang masuk kuliah. Makanya teman-temannya memanggil kak Man. Kata mereka, nama Fajar, enggak cocok dengan perilakunya saat itu. Jadi kami, juniornya, ikut mengenal beliau sebagai kak Man,” jawab Citra, yang terlihat sudah lebih baik. “Kita singgah di soto Mas Tomo? Kamu mau?” pinta Aara. “Boleh.” Suasana kembali senyap. Citra terus menatap lurus ke depan. Dia tampak terus berpikir, matanya bahkan tak berkedip. Melamun. “Cit, k
Hendri begitu tersentuh dengan ucapan Kei. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka, abangnya, begitu sangat menyayanginya. “Abang Fajar sadar, dibanding dengan kehidupan Citra, mereka ibarat langit dan bumi. Yang tidak akan pernah bisa menyatu.” “Jadi, tadi kedatangan ibu Citra, ada keperluan apa Bang?” tanya Fiki, kembali. “Hari ini pertama kalinya, sejak lima tahun yang lalu, setelah abang Fajar pergi tanpa pesan. Mereka baru bertemu kembali.” “Apakah karena alasan abang Fajar, ibu Citra masih menutup diri dengan semua pria yang mendekatinya, Bang? Demikian pula dengan abang Fajar?” “Ehm, mungkin seperti itu!” jawab Kei, tanpa kepastian. “Tangisan ibu Citra itu jelas menyimpan banyak makna Bang. Mata sendu abang Fajar pun sama. Fiki merasa, masih ada cinta di antara keduanya.” Kei menghela napas dan mengembuskannya. “Kalau itu, Abang Kei, tidak bisa memberi kesimpulan!” Senyap. Fiki menghadap
Hari ini, seperti biasa, Aara dan Citra, sama-sama memiliki kelas di jam pertama. Sejak pukul tujuh, mereka sudah kelihatan berada di kampus. “Ra?” sapa Citra. “Iya Neng, ada apa?” “Gimana semalam?” Aara terkekeh, tiba-tiba. “Kok malah tertawa?” tanya Citra, heran. “Cit, ini masih pagi. Bisa enggak, kita bahas yang lain, yang lebih segar?” Citra cemberut. “Oke, oke. Ehm, luar biasa, cinta bisa mengalahkan segalanya!” ujar Aara, terus mengusik sahabatnya itu. Citra masih terdiam. “Aku sudah bertemu Kak Fajar semalam.” “Serius?” tanya Citra, dengan ekspresi wajah, berubah cerah, sumringah. Aara tercengang, dia menggelangkan kepala. “Sabar, sabar. Kamu kok jadi begini sih Cit? Bukan banget, Citra Humairah!” “Ra,” tutur Citra, memelas. “Oke, aku paham. Aku janji enggak akan membahas ini lagi.” Citra tersenyum, bahagia. “Tunggu ya, aku ingat kembali percakapanku d
Jeda beberapa saat. Kei melanjutkan, “Pertama kita bertemu dengan dia, bersama Citra di sini. Ke dua, di warung Mas Tomo. Tidak ada yang istimewa darinya. Yang aku lihat, hanya seorang wanita tanpa senyum, cuek. Tapi, dia berbeda di video tadi, Jar,” tutur Kei.“Berbeda?”“Saat berbicara, dia terlihat sangat istimewa. Dia cerdas, punya aura positif. Dan senyumannya itu, enggak tahu, tiba-tiba membuat jantungku, berdegup kencang. Aku seakan tidak bosan melihatnya terus berbicara, terus tersenyum. Senyumannya itu sungguh memesona, Jar.”“MasyaaAllah, aku bahagia mendengarnya Kei. Ternyata kamu juga normal!” ujar Fajar, diiringi tawa.Tanpa jawaban, Kei melempar pensil yang ada di dekatnya. Dongkol dengan ucapan Fajar. “Emangnya kamu pikir?!”Fajar terkekeh. “Intinya aku bahagia Kei, kalau kamu bisa merasakan jatuh cinta. Agar aku juga bisa melihat kegilaanmu.”&ld
“Kak Kei kapan ada waktu? Biar langsung, kami antar bertemu tante Sinta?” Dari jauh, tampak Fajar dan Fiki terus tersenyum dan mengangguk memberikan kode ke Kei. “Sekarang!” bisik Fajar. “Sekarang aku free, Cit,” jawab Kei. “Yes, yes,” ujar Fajar, tanpa suara, mengepalkan tangan. “Hebat banget abang kamu. Pergerakannya, mantap, secepat kilat!” ucap Fajar. “Iya Bang!” jawab Fiki. Aara menyeringai. Dia tidak habis pikir. Ketiganya pun bersegera meninggalkan Man Art. “Kak Kei, enggak mau ikut bareng kami?” “Saya bawa kendaraan saja. Nanti jadi repot baliknya.” “Oke, Kak. Kita bertemu di sana ya? Kak Kei sudah tahu alamatnya kan?” “Iya, ini sudah dapat!” “Oke Kak.” Kondisi Aara tampak belum berubah. Suasana hatinya masih belum bisa menyatu dengan keadaan yang terjadi saat ini. “Ra, sudah deh! Kalau kamu seperti ini, kulit wajah kamu it
Waktu terus bergulir dan masuk bulan pertama, sejak bisnis katering ibunda Aara diperkenalkan melalui media sosial.“Gimana perkembangan katering ibunda Aara, Kei?” tanya Fajar.“Alhamdulillah, perkembangannya pesat sekali. Sekarang followernya sudah masuk lima puluh ribu akun.”“Wow, hebat banget. Baru sebulan dimulai, sudah punya pengikut sebanyak itu.”“Alhamdulillah. Ini berkat bantuan Hendri dan Fiki juga. Mereka yang selalu memberikan respons cepat di instagram.”“Ternyata, inilah hikmah, Hendri dan Fiki bergabung dengan kita di sini. Pelahan, kantor ini mulai beranjak. Semoga hari esok semakin baik dan lebih baik.”“Amin.”“Pelanggan untuk desain feed instagram bagaimana?”“Alhamdulillah, sampai saat ini sudah sepuluh akun yang kita kelola. Lima di pegang Fiki dan sisanya oleh He
“Kak, yang Citra butuh, hanya keberanian Kak Fajar. Citra juga tidak punya lagi alasan untuk menolak setiap lamaran yang datang. Citra merasa bersalah pada papa dan mama.” “Cit. Saya tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Karena kamu lihat, kondisi kami masih sama. Saya sulit, menemukan kalimat, agar bisa membuatmu paham, Dik.” “Kak Fajar serius kan, sama Citra?” “Iya.” “Ya itu. Citra hanya ingin bukti dari kata serius itu! Citra hanya minta, Kak Fajar datang menemui kedua orang tua Citra.” “Tapi tidak semudah itu Dik,” ungkap Fajar, dengan suara bergetar. “Bulan depan, saya sudah janji, Kak Fajar akan datang menemui orang tua Citra. Semua sekarang tergantung Kak Fajar.” “Tapi Cit—“ “Kami pamit Kak. Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar. Air matanya menetes. Dia melihat langkah Citra menjauh, dengan mata yang menampung ribuan harapan. Jutaan mimpi, yang mungkin han