Share

Bab 6 - Masih Berharap

Penulis: Rima Hutabarat
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-21 11:19:32

Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.

Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.

Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.

“Om ngapain ke sini lagi? Mau jumpa aku lagi?”

Aku menoleh pada sapaan khas bernada kritis yang beberapa hari ini mulai terasa akrab di telinga. Zein telah berdiri di sisiku dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Om mau nganterin krayon warna buat Zein.” Kusodorkan kantung plastik yang kupegang ke arahnya. “Sekalian belikan buku cerita juga. Semoga kamu suka.”

Bocah kecil itu langsung mengucapkan terima kasih sambil memeriksa satu per satu isi kantung plastik yang kuberikan. Senyumnya mulai mengembang saat menemukan benda yang ia inginkan. Syukurlah, artinya Amara belum sempat membelikan krayon itu untuknya. Kuperhatikan terus menerus satu per satu ekspresi yang muncul di wajah Zein. Aku bahkan hampir ikut bersorak saat ia berteriak senang melihat sampul buku yang kubelikan.

“Buku astronot ini buku kesukaanku, Om,” pekiknya riang. “Bunda sudah belikan dua, tapi aku belum punya yang ini.”

Zein dengan bersemangat merobek plastik tipis yang menyarungi buku tersebut. Tangan-tangan mungil itu mulai membolak-balik halamannya tanpa memedulikanku yang tersenyum memandangi. Sepertinya keberuntungan sedang menghampiriku. Semoga jalanku mulus untuk mencuri hati Zein. Baru setelah ini kupikirkan lagi bagaimana caranya merebut kembali cinta Amara.

“Kita beli minum, yuk!” ajakku saat menyadari tenggorokanku terasa kering. “Om tiba-tiba haus.”

Wajah kecil yang sedang asyik membaca itu menengadah memandangku sejenak. Aku sedikit kecewa saat melihat Zein mengeleng cepat.

“Uang jajanku sudah habis,” ucapnya. “Kata Bunda aku nggak boleh minta dijajanin sama teman.”

Tak dapat kutahan tawa saat mendengar celotehnya. Sifat disiplin Amara benar-benar ia tularkan pada buah hati kami. Aku jadi teringat dulu sering sekali berdebat dengan Amara, hanya karena hal-hal kecil dariku yang tidak sesuai prinsipnya.

“Om yang traktir Zein,” bujukku saat ia masih menolak. “Besok, kan, sudah mulai puasa. Nggak bisa lagi, dong, minum es siang-siang seperti ini.”

Beruntung argumen yang kuajukan diterima baik oleh Zein. Ia mengangguk setuju. Kupilih menghampiri penjual aneka es di depan sekolah. Lalu, kami duduk berdua di bangku kayu sambil menunggu Amara datang menjemput.

“Om namanya siapa, sih?” celetuk Zein saat pikiranku masih mencari-cari apa yang kira-kira harus kuobrolkan dengannya. “Kita, kan, belum kenalan sejak kemarin?”

Kupindahkan gelas es ke tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan ke arah Zein. “Nama Om, Raditya Pramono.”

Bocah kecil itu dengan percaya diri menyambut jabatan tanganku. “Muhammad Zein Al-Fatih.”

Lama baru kulepaskan genggaman tangan Zein. Sejak kemarin, jika tidak susah payah kutahan desakan di dada, ingin rasanya kupeluk erat darah dagingku ini. Baru kali ini kurasakan rindu yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rindu yang tadi malam membuat air mata lelakiku menetes hanya karena teringat kesalahan-kesalahanku terdahulu.

“Jadi itu nama Om yang aku baca di kertas di mobil Bunda?” tebak Zein antusias.

Jelas keberuntungan lain juga sedang berpihak padaku. Dugaanku bahwa Amara akan membuang kartu nama itu, terpatahkan begitu saja dengan pernyataan Zein barusan. Semoga Amara menyimpan nomor kontakku dan kami bisa berkomunikasi dengan baik ke depannya. Tak mungkin juga selamanya aku harus menemui Zein di sekolah seperti ini.

Banyak cerita yang Zein bagi denganku selama kami duduk di bangku kayu itu. Mulai dari teman sebangkunya yang menurut Zein terlalu pendiam, sampai guru wali kelasnya yang sangat baik dan jarang marah. Zein juga bercerita tentang kakeknya yang sakit dan tentu saja tentang ayahnya yang tak kunjung pulang hingga sekarang. Dia tak berhenti sampai kami sama-sama tersadar bahwa Amara tak juga tiba untuk menjemput.

“Mungkin sedang ada urusan penting,” hiburku saat Zein mulai terlihat bingung. “Kan, ada Om Radit yang nemenin Zein di sini. Om nggak akan pulang sebelum Bunda datang.”

“Tapi biasanya nggak lama kayak gini, Om,” timpalnya dengan nada gusar. “Om bawa hape?”

“Bawa.”

“Aku boleh pinjam?” pintanya. “Aku mau telepon Bunda.”

“Boleh, dong.” jawabku seraya mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. “Zein tahu nomornya?”

Bocah kecil itu mengangguk yakin seraya membuka ritsleting ransel dan mulai mencari sesuatu dari dalam. Setelah membuka beberapa retsleting lain, Zein tersenyum sambil menunjukkan sebuah kartu nama yang hampir lusuh di tangannya. Kartu nama Amara yang sekaligus digunakan sebagai merek usaha kulinernya.

“Bunda yang suruh aku simpan ini, soalnya aku nggak hapal nomornya.”

Aku seketika merasa menjadi lelaki paling beruntung sedunia. Doa-doaku dua tahun terakhir seolah terjawab dalam dua hari ini. Kutekan nomor kontak yang tertera dalam kartu nama Amara dengan jari sedikit bergetar. Sengaja kunyalakan pengeras suara agar nantinya aku berkesempatan mendengarkan isi percakapan mereka.

Panggilan pertama tidak terjawab. Panggilan kedua baru diterima pada dering ketiga.

“Bunda di mana?” tanya Zein saat suara Amara mulai terdengar.

“Ban mobil Bunda bocor, Zein. Sabar, ya, Sayang. Bunda lagi ganti ban.”

“Di bengkel?” tanya Zein lagi.

“Bukan, udah dekat, kok, dari sekolah. Udah sepi, ya, Sayang?”

“Udah,” jawab Zein. “Tapi aku ditemani Om Radit.”

Suara Amara hilang beberapa saat hingga Zein harus memanggilnya dua kali baru kembali terdengar jawaban. Kuputuskan untuk mengambil alih percakapan. Amara pasti sangat butuh bantuanku saat ini.

“Kamu di mana, Ra?” tanyaku hati-hati.

Lagi-lagi tak terdengar jawaban dari perempuan yang sangat kucintai itu. Gemas rasanya melihat sikapnya yang jinak-jinak merpati. Persis seperti dulu, seperti saat aku mati-matian mengejar cintanya.

“Aku di dekat perempatan menuju sekolah Zein.” Akhirnya suara itu menjawab dengan nada pasrah.

“Shareloc lokasi kamu sekarang. Biar aku dan Zein ke sana,” tegasku padanya sebelum memutuskan sambungan.

Jika ia masih Amaraku, ia akan patuh dan menurut. Aku masih hapal celahnya. Amara memang keras kepala. Namun, jika berhadapan denganku, perempuan itu seperti biasanya akan takluk.

Dugaanku benar. Hanya butuh beberapa detik, sampai akhirnya terdengar bunyi pesan masuk di ponselku yang menunjukkan lokasi di mana Amara berada. Aku mengajak Zein bergegas menuju mobil dan mulai berkendara.

Aku tahu ia masih Amaraku. Kali ini tak akan kusia-siakan lagi kesempatan untuk memilikinya kembali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
jess
loo amara kan terpaksa sharelok, bukan krn masih amaramu radit
goodnovel comment avatar
Elis Rosita
lanjutkan thor....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 21 - Pasrah Hati

    Pertemuan dengan Pandu jelas membuat hatiku semakin sulit menentukan arah. Rasa percaya yang berusaha Radit tumbuhkan di hatiku, mendadak porak poranda setelah kuresapi apa yang Pandu katakan. Selama delapan tahun Pandu tanpa ragu berperan menggantikan Radit. Siapa yang sebenarnya lebih bertanggung jawab? Bagaimana jika pada akhirnya Radit akan kembali lari dari janji-janji yang ia ucapkan padaku?“Pandu datang untuk melamarku.” Kuulang kalimat itu saat Radit bertanya atas alasan apa Pandu mampir ke rumah pagi tadi.Meskipun sebenarnya Pandu tidak secara lugas melamar, ia hanya mengungkapkannya secara tersirat. Pandu selalu seperti itu. Lelaki itu memilih tertutup untuk urusan hati. Karena alasan itu pula aku terkadang bingung menerjemahkan sikapnya. Semuanya samar-samar sampai pagi tadi Pandu mengungkapkan isi hatinya.“Dia tidak berhak melamar kamu.” Radit baru menyahut beberapa lama setelah ia diam mendengar penuturanku. “Kamu perempuan bersuami, Ra.”“Mungkin saja sekarang sudah t

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 20 - Emosi Membuncah

    Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 19 - Bimbang Meraja

    Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 18 - Mimpi Serupa

    Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 17 - Runtuh Perlahan

    Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 16 - Dua Lelaki

    Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status