Home / Rumah Tangga / Lelaki Yang Merindu Pulang / Bab 5 - Memilih Sembunyi

Share

Bab 5 - Memilih Sembunyi

last update Huling Na-update: 2024-06-15 06:32:41

Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.

“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”

“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.

“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”

Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein bercerita. Kuakui selama ini interaksinya dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki hanya sebatas papaku dan mungkin satpam sekolah. Setahun terakhir setelah Papa terkena stroke ringan, Zein seperti kehilangan teman bermain dan berbagi cerita.

“Oh, ya? Terus, Om-nya nanya apa lagi?” selidikku ingin tahu.

“Nanyain siapa yang biasanya jemput aku di sekolah.” Zein menjawab sembari menyendokkan es krimnya yang separuh mencair ke mulutnya. “Aku bilang selalu Bunda yang jemput.”

“Terus?”

“Aku juga bilang, ayahku kerjanya jauh dan belum pernah pulang.” Bocah kecil itu berkata lugu sambil fokus menjilati stik es krimnya. “Memangnya kapan, sih, Ayah pulang, Bun?”

Aku menghela napas. Rasanya sudah sangat bosan harus menampung beratus ribu pertanyaan yang sama dari bibir mungil itu sejak ia mulai bisa mengerti bahwa keluarga yang utuh harus terdiri dari ayah dan ibu. Seperti biasa aku juga harus pintar berkelit untuk membesarkan hatinya.

“Pekerjaan Ayah belum selesai. Kalau sudah selesai pasti Ayah pulang buat ketemu kita,” hiburku dengan senyuman yang terpaksa kuhadirkan. “Kita sama-sama berdoa, ya.”

“Memang pekerjaan Ayah, apa, sih?” Sepertinya Zein belum merasa puas dengan jawabanku barusan. “Apa ayahku astronot yang bekerja di stasiun luar angkasa?”

Aku spontan tertawa, miris. Setelah berkali-kali Zein mencoba mencari tahu jenis pekerjaan ayahnya, baru kali ini tercetus ide tentang astronot. Semakin otaknya berkembang, aku tidak akan mungkin membohonginya dengan alasan-alasan klise atau pun analogi yang tidakmasuk akal.

Zein sedikit cemberut saat aku menggeleng menandakan ia salah menebak. Ia diam sesaat, sebelum akhirnya kalimat yang terucap membuat dadaku seketika sesak. “Apa ayahku sudah meninggal seperti abinya Farid?”

Kuusap lembut kepala Zein dengan tangan kiri. Sorot matanya yang tadinya bersemangat kini berubah sendu saat kami bertatapan.

“Ayah Zein masih ada, lagi kerja di tempat yang jauh,” jelasku dengan kebohongan yang sama. “Untuk pulang ke rumah ongkosnya mahal, harus menabung dulu.”

“Kalau uang jajanku ditabung setiap hari, apa bisa dikirim ke Ayah untuk ongkos pulang?” Polos sekali pertanyaan Zein. Terlampau polos hingga aku harus berpaling ke kanan agar ia tidak melihat manik mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Bisa, Sayang.” Bahkan suaraku pun terdengar serak. “Nanti kita beli celengan, ya. Zein suka yang bentuk apa?” Sengaja kualihkan agar Zein tidak lagi teringat membahas perihal ayahnya.

Zein lalu berceloteh tentang celengan berbentuk ayam yang ia pernah lihat di warung depan komplek. Aku separuh mendengarkan, separuh berdebat dengan pikiranku sendiri. Semua permohonan maaf Radit, bujukan Radit, argumentasi Radit seolah diputar berulang-ulang di kepala.

“Ra-di-tya pra-mo-no.”

Semua lamunanku seketika buyar saat suara kecil yang mengeja terbata itu menerobos gendang telingaku. Aku menoleh terkejut. Bukan lagi sebuah mangkuk es krim yang sekarang berada dalam genggaman Zein. Sebuah kartu nama. Kartu nama yang Radit sengaja tinggalkan di dasbor mobil.

Sengaja ia tinggalkan agar aku bisa menghubunginya, agar kami tetap bertemu.

“Seperti nama ayahku,” lanjut bocah kecil yang masih tekun memandangi selembar kertas putih di tangannya.

Kali ini bisa dipastikan jantungku sudah berdetak melebihi kapasitas normal. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah memberitahu Zein siapa nama ayahnya. Aku selalu menggantinya dengan sebutan ‘Ayah Zein’ setiap ada orang lain yang menyinggung tentang Radit. Tidak pernah sekali pun terucap nama lelaki itu di hadapan bocah tujuh tahun tersebut.

“Dari mana Zein tahu siapa nama Ayah, Sayang?” tanyaku hati-hati. Aku sungguh khawatir jika ada orang-orang tertentu yang sengaja membocorkan perihal Radit.

“Dari buku rapor aku,” ucap Zein lugu.“Kan, ada nama Ayah di atas nama Bunda.”

Zein bukan lagi bocah kecil yang masih bisa selalu aku bohongi. Nalarnya mulai bekerja baik seiring usianya bertambah. Mungkin Radit benar. Sudah saatnya aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya tentang Radit pada Zein. Tetap menyembunyikan semuanya akan menambah rumit keadaan. Meskipun berat, bagaimana pun juga aku harus mempertimbangkan apa yang Radit perdebatkan tentang nasib hubungan kami saat ini.

***

Bohong jika aku katakan sudah membuang semua hal tentang Radit setelah kepergiannya. Rindu itu tetap bersarang selama bertahun-tahun. Berharap ia kembali, berharap ia menyesal dan meminta maaf. Rindu yang meskipun perlahan berbalut benci, tetapi tetap tidak bisa melenyapkan cinta yang selalu aku miliki untuk lelaki itu.

Aku masih tetap menyimpan beberapa kenangan kami. Selembar foto pernikahan yang memuat senyumanku dan senyumnya masih menjadi penghuni setia sebuah kotak kayu yang aku letakkan jauh dari jangkauan siapa pun. Cincin pernikahan yang kulepaskan di tahun ketiga kepergian Radit, juga tersimpan di sana. Beberapa barang pemberian Radit juga kukumpulkan dengan rapi. Niatku hanya satu. Jika suatu saat Zein menanyakan ayahnya saat ia dewasa, jika memang Radit tidak pernah kembali, aku masih memiliki barang peninggalan yang bisa aku tunjukkan pada anak lelakiku itu.

Sebuah gantungan kunci berwarna perak yang terbaring di dasar kotak menarik perhatianku. Radit membelikannya untukku saat bulan madu kami di Bali. Gantungan kunci berwarna perak yang berpasangan, dengan ukiran tanda hati yang akan menjadi utuh jika keduanya disatukan. Aku memakai satu buah sebagai gantungan kunci mobil. Pasti Radit juga memperhatikan itu saat ia memungut kunci mobilku yang jatuh di depan kasir di hari pertama kami bertemu kembali. Juga saat menyetiri aku dan Zein menuju rumah makan cepat saji siang tadi.

Raditya Pramono. Kurasakan bibirku bergetar saat kembali mengucapkan nama itu. Begitu lihai ia menguliti isi hatiku hari ini. Semua yang kupendam bertahun, hancur luluh dalam sekejap hanya dengan menatap matanya, mendengar suaranya.

Kuseka setetes air mata yang terlanjur lolos. Kuatur napas agar isakku tidak membangunkan Zein dari lelapnya. Kubiarkan sebentar hatiku berdebat, hingga akhirnya logikaku memutuskan untuk turut menyimpan kartu nama Radit beserta nomor yang tertera di atasnya dalam kotak kayu.

Maaf, Radit. Aku belum siap untuk menerima kehadiranmu kembali. Biarkan aku dan Zein tetap seperti ini. Aku masih punya segudang alasan untuk tetap menyembunyikanmu dari buah hati kita.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 21 - Pasrah Hati

    Pertemuan dengan Pandu jelas membuat hatiku semakin sulit menentukan arah. Rasa percaya yang berusaha Radit tumbuhkan di hatiku, mendadak porak poranda setelah kuresapi apa yang Pandu katakan. Selama delapan tahun Pandu tanpa ragu berperan menggantikan Radit. Siapa yang sebenarnya lebih bertanggung jawab? Bagaimana jika pada akhirnya Radit akan kembali lari dari janji-janji yang ia ucapkan padaku?“Pandu datang untuk melamarku.” Kuulang kalimat itu saat Radit bertanya atas alasan apa Pandu mampir ke rumah pagi tadi.Meskipun sebenarnya Pandu tidak secara lugas melamar, ia hanya mengungkapkannya secara tersirat. Pandu selalu seperti itu. Lelaki itu memilih tertutup untuk urusan hati. Karena alasan itu pula aku terkadang bingung menerjemahkan sikapnya. Semuanya samar-samar sampai pagi tadi Pandu mengungkapkan isi hatinya.“Dia tidak berhak melamar kamu.” Radit baru menyahut beberapa lama setelah ia diam mendengar penuturanku. “Kamu perempuan bersuami, Ra.”“Mungkin saja sekarang sudah t

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 20 - Emosi Membuncah

    Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sebelum ke kantor, aku harus terlebih dahulu singgah di rumah untuk mengganti pakaian kerja. Sebelumnya, tentu saja aku harus mengantar sekolah bocah kecil yang menggemaskan ini yang sejak tadi tak berhenti bernyanyi riang sejak mobil mulai bergerak.Berselingan dengan lamunanku yang sedang mencari alasan untuk dapat menjemput Zein dari sekolahnya nanti, sebuah mobil yang terlihat familiar dari arah berlawanan memaksaku sedikit memutar kemudi ke kiri karena posisinya yang terlalu rapat. Aku tidak mungkin salah lihat. Mobil yang baru saja berpapasan di depan jalan menuju rumah Amara adalah milik Pandu. Aku kenal bagian depannya yang tertempel stiker lambang kedokteran.Mau apa laki-laki itu bertandang sepagi ini? Apa karena tidak kuizinkan menjenguk Amara tadi malam?"Om."Apakah ia berniat memeriksa kondisi Amara seperti kemarin?"Om Radit."Atau mungkin saja ia hendak mencari tahu tentang aku dari Amara?"Om!" Sebuah tan

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 19 - Bimbang Meraja

    Zein bersemangat sekali pagi ini. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah satu minggu libur menyambut puasa. Zein bilang ia rindu teman-temannya. Namun, tanpa dikatakan pun aku tahu semangat Zein itu tumbuh karena Radit yang akan mengantarnya kali ini.Aku tahu Radit kecewa saat kukatakan ia tak lagi perlu menginap malam ini. Lagi pula memang aku tak pernah mengundangnya. Radit sendiri yang berinisiatif datang. Sialnya mengapa aku sampai hilang kendali dan larut dalam pelukannya saat menangis. Pasti Radit sekarang merasa di atas angin.Sejujurnya aku belum benar-benar pulih. Tulang belakangku masih nyeri dan perutku masih terasa kembung. Tak mengapa sebenarnya, hari ini ada Bude Asih yang bisa membantu. Jika sampai sore nanti tak kunjung mereda, akan kusempatkan singgah di praktek Pandu untuk memeriksakan diri.Sekilas aku teringat bahwa semalam Pandu berjanji untuk datang kembali melihat keadaanku. Mungkin pasiennya terlampau ramai dan ia harus bertugas sampai jauh malam. Pandu

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 18 - Mimpi Serupa

    Aku baru saja tersentak dari mimpi yang benar-benar buruk. Dadaku berdebar kencang. Aku seperti hampir kehabisan nafas karena berlari terlalu jauh dalam mimpiku. Lalu aku duduk dengan cepat saat menyadari bukan sedang berada di perbukitan luas yang tinggi. Aku masih berada di rumah Amara, masih berada di sofa yang sama tempat aku dan Zein jatuh tertidur."Setengah satu," jawab Amara saat kutanya jam berapa sekarang. "Zein sudah aku pindahkan ke kamar."Kemeja yang kupakai basah oleh peluh. Bagaimana tidak. Dalam mimpiku itu aku berlari mengejar Zein hingga berakhir jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Aku baru terjaga ketika tubuhku hampir menghantam batu karang di pinggir lautan luas. Entah apa maknanya. Atau mungkin sekadar ketakutanku saja akan ada pihak lain yang berniat merebut Zein dan Amara dariku. Apa karena pertemuanku dengan Pandu malam tadi terlalu merasuk ke hati?Amara berdiri di depanku memandangku heran. Kuambil barang yang ia sodorkan setelah sempat tertegun bebera

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 17 - Runtuh Perlahan

    Di balik rasa gundahku yang masih menggunung, sejujurnya aku bersyukur Radit menyempatkan singgah. Benar kata Pandu, tidak mungkin aku bisa mengurus Zein dalam keadaan sakit seperti ini. Jangankan mengurus Zein, membawa diriku sendiri ke kamar mandi saja harus meminta bantuan orang lain. Radit memesankanku soto bening agar selera makanku pulih. Aku menolak saat ia menawarkan untuk menyuapi. Meskipun kepala masih terasa berat, kupaksakan untuk duduk dan menghabiskan makanan itu perlahan. Aku harus bisa menunjukkan pada Radit bahwa Amara adalah seorang perempuan yang kuat. Kembalinya seorang Radit tidak serta merta membuatnya manja.Aku kembali tertidur setelah menghabiskan makan malam. Hanya terjaga sebentar saat Zein masuk untuk berpamitan berangkat tarawih. Bocah itu mencium keningku lama, meraba leherku seperti yang sering kulakukan padanya saat ia demam. "Bunda tidur, badannya sudah tidak panas." Kira-kira begitu laporan Zein pada Radit yang sepertinya hanya menunggu di luar kama

  • Lelaki Yang Merindu Pulang   Bab 16 - Dua Lelaki

    Tak bisa kupungkiri bahwa Radit menguasai pikiranku belakangan ini. Malam-malam yang kulalui setelah ia muncul kembali, pasti terselip sosoknya dalam potongan mimpiku. Radit mengacaukan ritme hidupku. Aku menyukai dan membenci itu secara bersamaan.Hari ini entah mengapa lambungku terasa sedikit perih, pelipisku berdenyut, dan tulang belakangku agak nyeri saat digerakkan. Bude Asih meminta izin libur, jadi semua pesanan kukerjakan sendiri. Untung ada Zein yang ikut membantu menempel stiker dan menyusun air mineral ke dalam kotak.Tadinya aku berniat menuntaskan puasa hari ini dan pergi ke dokter setelah maghrib. Namun, perih di lambungku semakin parah. Kuminta Zein mengambil segelas air hangat untuk meredakan nyerinya. Setengah jam tak juga mereda, kuputuskan untuk menelepon Pandu agar datang."Maaf, Ndu. Aku nggak sanggup harus nyetir ke praktek kamu," sesalku saat Pandu selesai memeriksa. Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil menyiapkan jarum untuk injeksi."Disuntik, ya?" tanyaku

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status