Taksi yang membawa Andara meluncur dari Changi Airport menyusuri East Coast Parkway. Setelah itu, mereka bergeser ke Pan Island Expressway, menembus padatnya kehidupan kota, dan akhirnya keluar menuju pusat Orchard. Lalu berakhir di Mount Elizabeth road. Mobil yang membawa Ananta berbelok memasuki Mount Elizabeth Hospital. "Rumah sakit?" Andara mengerutkan keningnya. Kenapa Ananta ke rumah sakit? Setahu Andara dia baik-baik saja walau memang sedikit pilek. Andara lalu berbicara pada supir taksi. "Excuse me, sir. Do you know if this hospital is open 24 hours?" Sang supir menatapnya melalui spion tengah dan menjelaskan pada Andara. "Yes, ma’am. Mount Elizabeth Hospital operates around the clock. Emergency and outpatient services are available all day." "Oh, I see. Thank you. Do you think it’s common for someone to come here for just a mild cold?" "Well, ma’am, sometimes people prefer to get checked here because the facilities are top-notch. Even for minor issues, better s
Empat belas hari mungkin waktu yang lama bagi orang lain. Namun, bagi Andara rentang waktu segitu masih terlalu singkat untuk merangkai tawa, senyum dan kebahagiaan di bumi asing itu.Mereka harus pulang karena sudah saatnya. Kembali ke rutinitas sehari-hari.Sambil menanti pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Indonesia di Changi Airport, Andara melihat-lihat foto yang mereka ambil selama liburan. Ananta yang duduk di sebelahnya ikut memiringkan tubuh, menyandarkan siku di sandaran kursi, dan menatap layar ponsel di tangan Andara. “Delete yang ini,” ujarnya sambil menunjuk salah satu foto candid dirinya yang sedang makan es krim.Andara tersenyum tipis. “Kenapa? Lucu kok.”“Lucu untuk kamu, memalukan untuk aku,” balas Ananta sambil menyandarkan kepala ke belakang.Andara menggeleng pelan. Ia justru menyukai foto-foto yang tampak apa adanya, yang merekam momen tanpa dibuat-buat. Baginya, itulah yang kelak lebih berharga dibanding potret dengan pose sempurna.Di luar kaca besar
Setelah makan malam keduanya masuk ke dalam tenda. Mereka berbaring di atas ranjang sambil memandangi taburan bintang di langit melalui atap tenda yang transparan. Rasanya seperti tidur tepat di bawah bintang."Indah banget ya, Mas," puji Andara penuh kekaguman."Kamu tahu nggak?""Tahu apa, Mas?" Andara memandang suaminya, meminta menjelaskan lebih jauh."Langit di New Zealand ini termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan masuk ke dalam daftar UNESCO sebagai Dark Sky Reserve.”"Apa itu, Mas?"“Dark Sky Reserve artinya kawasan yang dilindungi dari polusi cahaya, jadi langitnya benar-benar gelap dan bintang-bintang bisa terlihat dengan jelas,” terang Ananta menjelaskan."Ooo." Mulut mungil Andara membulat.Bibir mungil yang terlihat menggemaskan itu membuat Ananta lantas mengecupnya.Yang dicium tersipu malu-malu. "Jadi yang indah malam ini cuma langitnya ya, Mas?" Andara bertanya menggoda."Dua-duanya. Bedanya adalah kalau langit indahnya cuma malam ini. Tapi kalau kamu sela
Setelah menempuh penerbangan panjang, Andara dan Ananta berhasil mendarat dengan selamat di Christchurch International Airport. Udara musim semi langsung menyergap begitu mereka keluar dari pintu pesawat. Hawa yang terasa sejuk, bersih, dan jauh berbeda dari udara yang mereka hirup sehari-hari.Andara merapatkan coat-nya. Matanya berpendar memindai ke sekeliling. “Udara di sini kayak baru dicuci,” gumamnya sambil tersenyum kecil.Celetukan polos istrinya berhasil menerbitkan tawa Ananta. Ia langsung mengacak-acak rambut Andara.Mereka melalui proses imigrasi dengan lancar. Begitu keluar terminal mereka langsung disambut deretan kendaraan sewaan. Ananta sudah memesan campervan jauh-jauh hari. Kendaraan itu tampak biasa dari luar, tapi bagian dalamnya seperti mini apartemen. Ada ranjang kecil, pantry, meja makan lipat, bahkan pemanas ruangan.“Lucu banget!” seru Andara sambil membuka tirai kecil di jendela campervan. “Berasa kayak rumah berjalan.”"Kamu suka?""Suka banget, Mas."“Jadi
Udara pagi masih terasa sejuk ketika mobil Ananta berbelok memasuki sebuah komplek pemakaman. Bukan pemakaman mewah seperti San Diego Hills, melainkan pemakaman umum biasa. Setelah memarkirkan mobilnya Ananta membukakan pintu untuk Andara. Diulurkannya tangan untuk membantu perempuan itu turun. Mereka melangkah menyusuri jalan setapak yang tanahnya masih lembab oleh embun. Burung-burung terdengar berkicau di pepohonan sekitar. Langkah Andara otomatis melambat ketika melihat dua nisan berdampingan di ujung blok. Itu adalah makam kedua orang tuanya. Ananta menepati janji. Mengajak Andara mengunjungi pusara kedua orang tuanya tepat sebelum keberangkatan mereka ke New Zealand. Andara menarik napas dalam-dalam. Sepasang matanya menghangat. Ia bersimpuh, mengelus batu nisan yang dingin. 'Ma, Pa, aku datang,' bisiknya di dalam hati. Ananta ikut jongkok. Tanpa sungkan lelaki itu mencabut rumput liar yang tumbuh semakin tinggi di atas pusara. Andara memerhatikan semua itu dalam diam. A
Perjalanan ke rumah sakit terasa lebih panjang dari biasanya. Duduk di jok belakang taksi, Shankara terlihat begitu lesu. Pandangannya jauh ke luar jendela mobil, tapi sorotnya kosong.Penggalan percakapan dengan Ananta di cafe tadi terngiang dengan jelas di telinganya."Lo gila?" Itu yang Shankara ucapkan ketika Ananta mengatakan apa yang diinginkannya."Lo nggak dalam posisi buat bilang gue gila," potong Ananta datar. "Lo mau anak lo selamat atau mau bertahan sama harga diri lo yang udah kebukti nggak bisa nyelamatin siapa-siapa?"Shankara mengatupkan rahangnya. Dadanya bergemuruh. Dilema kembali melingkupi. Sesuatu yang diminta Ananta adalah hal yang tidak mungkin ia lakukan."Kalo lo nggak mau juga nggak apa-apa. Nggak ada efeknya ke gue." Suara Ananta kembali terdengar yang menambah kegalauan di hati Shankara.Shankara tidak menjawab. Tapi dalam hal ini ia tahu persis apa yang lebih penting. Keselamatan putrinya. "Kita sudah sampai, Mas." Suara supir taksi mengeluarkan Shankar