เข้าสู่ระบบShankara tidak membuang waktu. Setibanya di Indonesia ia hanya melepas lelah sejenak sebelum bergerak mencari Vanka.Dilihatnya kamar Vanka. Barang-barang perempuan itu masih ada di sana. Pakaiannya terlipat rapi di lemari. Hal tersebut membuat Shankara cukup lega. Bisa saja Vanka akan kembali ke rumahnya.Shankara mencoba menghubunginya, berharap kali ini panggilannya direspons. Tapi ia harus kecewa.Lalu Shankara menghubungi semua teman-teman Vanka yang kontaknya ia dapat dari Andara. Tapi semua mengatakan tidak tahu. Kata mereka Vanka tidak pernah menghubungi mereka dalam waktu dekat ini.Shankara meremas rambutnya frustrasi sambil menatap layar handphonenya. Benda itu sudah panas karena Shankara tidak berhenti menghubungi orang-orang."Abang harus nyari kamu ke mana lagi, Van?" erang Shankara putus asa.Satu-satunya tempat yang belum Shankara datangi adalah rumah orang tua Vanka.Shankara memutuskan untuk pergi ke sana meski hatinya diliputi ragu. Ia tahu betul agak mustahil Vanka
"Gimana hasilnya, Mas?" buru Andara tidak sabar setelah suaminya pulang."Nihil," jawab Ananta sembari membuka jas dan melemparkannya dengan asal ke sofa. "Nggak ada jejak sama sekali. Dari bandara, stasiun, kafe, butik, sampai pelabuhan, semuanya."Andara menatap suaminya yang terlihat benar-benar lelah. Kemeja Ananta kusut, rambutnya sedikit berantakan, bahkan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. "Kalian udah nyari ke semua tempat?""Iya, Andaraaa. Tadi ke bandara dulu. Terus stasiun, pelabuhan, promenade, cafe, butik, casino." Ananta berhenti sebentar, menghela napas berat. "Semuanya. Dan hasilnya sama. Nol besar.""Hah? Nyari ke casino juga?" Andara tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Gila ya kalian? Emangnya Vanka mau main judi?""Siapa tahu aja. Tapi tetap nggak ada."Andara tercenung. Tadi ia juga sudah mencoba menghubungi Vanka sampai berkali-kali, dan hasilnya tetap sama. Kakak iparnya itu sama sekali tidak bisa dihubungi. "Emang masalahnya apa sih sampai Vank
"Mas Nata mau ke mana?" tanya Andara begitu bertemu dengan suaminya di lobi. Sejak tadi Andara mencarinya."Vanka hilang. Aku dan Abang mau nyari dia.""Apa, Mas? Hilang?!" pekik Andara tertahan dan cepat-cepat membekap mulutnya dengan telapak tangan lantaran orang-orang di sekeliling memandang ke arahnya. "Gimana bisa hilang, Bang?" Andara menggeser tatapannya pada Shankara."Nanti Abang cerita ya, Ra. Abang mau nyari Vanka dulu. Abang titip Thalia," kata Shankara."Iya, Bang, hati-hati. Kamu juga, Mas."Ananta mengusap lembut pundak Andara kemudian berlalu dari sana.Monaco terasa lebih panas daripada biasanya meskipun angin laut sesekali membawa kesejukan. Ananta dan Shankara duduk di dalam mobil yang disewa. Mereka meluncur cepat menuju bandara. Mereka sepakat tidak membuang waktu untuk memeriksa hotel. Karena keyakinan Ananta dan Shankara adalah Vanka pasti sudah pergi jauh dari situ.Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah bandara. Berdasarkan analisa Ananta, kemungkinan bes
Pagi itu Ananta dengan keluarga kecilnya sudah berada di restoran. Mereka duduk melingkari meja yang di atasnya terdapat hidangan kontinental yang menggugah selera seperti croissant hangat berlapis mentega, omelet keju yang masih mengepulkan uap, potongan keju brie dan smoked salmon, serta semangkuk buah beri segar berwarna-warni.Tidak ada sekat antara pembantu dan majikan. Darmi juga ikut duduk bersama mereka untuk sarapan bersama."Ini buah apa namanya, Ma?" Kaivan mengambil buah berry dan menunjukkannya pada Andara.Andara tersenyum lembut, memandangi anak laki-lakinya yang tengah memiringkan kepala dengan rasa ingin tahu. "Itu namanya blueberry, Sayang," jawabnya sambil menyodorkan sendok kecil. "Rasanya agak asam tapi segar. Coba deh satu."Kaivan mengendus-endus buah itu lebih dulu sebelum akhirnya memakannya. Wajahnya langsung meringis. "Ih, asam, Ma!" serunya polos, membuat Thalia yang duduk di sebelahnya tertawa kecil sampai pipinya memerah.“Shankara belum turun ya?” tanya
Betapa kecewa dan hancurnya hati Vanka mendengar ucapan Shankara yang tidak disangka-sangka.Masih dari atas tempat tidur, ia mendongak menatap lelaki itu dengan pandangan memburam oleh air mata."Aku tahu aku salah, tapi aku mohon jangan mengambil keputusan di saat emosi, Bang. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan untuk dipermainkan," ujarnya mengingatkan.Perkataan yang diucapkan dengan deraian air mata itu justru membuat Shankara kian meradang."Jadi menurut kamu aku yang mempermainkan pernikahan ini? Aku yang salah?""Bukan begitu, Bang. Aku nggak menyalahkan Abang. Dalam hal ini aku yang salah. Tapi Abang perlu tahu apa alasannya. Kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya," lirih Vanka dengan begitu memohon sambil menahan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya akibat lepas perawan dan permainan kasar Shankara. Lelaki itu melakukannya tanpa kelembutan, tanpa mencumbuinya, seolah tujuannya hanya satu, untuk membuktikan sesuatu yang membuatnya penasaran, bukan untuk menikma
Kini Vanka sudah telentang di tempat tidur dalam keadaan polos tanpa busana. Ia terlihat begitu gugup dan tegang. Kedua tangannya tersilang di depan dada menutupi payudaranya. Begitu juga dengan kakinya yang disilangkan. Kenapa harus malu? pikir Shankara. Bukankah malam itu mereka sudah melakukannya?"Kalau semuanya ditutupin gimana caranya Abang mau masuk?" Shankara tersenyum menggoda."Aku malu, Bang." Vanka semakin erat melindungi aset berharganya."Kenapa harus malu? Bukankah malam itu kita juga kayak gini?""Aku nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa ini terlalu nyata, sedangkan malam itu kita sama-sama nggak sadar.""Oh, gitu ya?""Iya, Bang.""Abang kira nggak ada bedanya."Vanka tidak menjawab. Ia memalingkan mukanya yang mendadak panas ketika Shankara melucuti seluruh pakaian tepat di hadapannya.Shankara mengambil posisi di sebelah Vanka. Pria itu berbaring miring dengan siku tertumpu di kasur. Tatapannya begitu intens.Ditatap seperti itu Vanka semakin grogi."Vanka, ma







