LOGINVanka datang ke bengkel Shankara sekitar setengah jam kemudian. Siang itu matahari begitu menyengat, tapi bengkel dua lantai itu tetap tampak adem.Beberapa mekanik terlihat sibuk memperbaiki motor di area servis. Di antara mereka ada Rendi, salah satu mekanik senior yang sudah lama bekerja untuk Shankara. Dia juga hadir saat Vanka dan Shankara menikah.Vanka turun dari taksi dengan membawa dua wadah besar berisi makanan. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap tersenyum saat disapa.“Siang, Vanka,” sapa Rendi ramah. “Abang lagi di atas. Mau aku panggilin?”Ya, semua orang di bengkel itu memanggil Shankara dengan sebutan 'Abang'.Vanka buru-buru menggeleng. “Oh, nggak usah, Mas. Aku cuma mau nitip makan siang buat Abang.” Ia membuka kantong kertasnya dan mengeluarkan wadah makan berbahan kaca yang masih hangat. Uapnya naik perlahan, membawa aroma iga bakar manis pedas yang menggoda.“Wah, enak banget nih baunya,” kata Rendi sambil tersenyum.Vanka tertawa kecil. “Iya, aku masak sendiri dar
"Gue rasa firasat gue nggak salah. Dia bohong. Malam itu nggak pernah terjadi apa-apa.""Gimana lo bisa seyakin itu? Udah unboxing ulang semalam?"Shankara tertawa getir. Ananta baru datang lima menit yang lalu. Shankara langsung bercerita padanya. "Mana ada yang namanya unboxing ulang, Ta. Kalo udah unboxing ya udah kebuka.""Lo tahulah apa maksud gue," balas Ananta. Di depannya ada sepiring mangga muda yang sudah dikupas bersih, diberi garam dan bubuk cabai. Ia mengambil satu potong, mencelupkannya ke garam, lalu menggigit dengan santai. Mangga muda itu persembahan khusus dari Shankara untuk Ananta."Dia haid katanya.""Terus?""Pas gue mau ngeliat, dia nggak mau. Mana haidnya lama, hampir sepuluh hari. Paling itu cuma akal-akalan," gerutu Shankara. Kemarin malam ia hanya ingin membuktikan mengenai kejadian one night stand di Milan. Bukan karena Shankara benar-benar ingin meniduri Vanka. Tapi rencananya gagal total.Ananta tertawa menanggapi gerutuan sahabat sekaligus kakak iparnya
Vanka sangat terkejut mendengar permintaan lugas laki-laki yang baru tadi pagi menjadi suaminya. Shankara menyampaikannya tanpa basa-basi dan langsung ke inti.Sejujurnya Vanka menyukai laki-laki yang to the point seperti Shankara. Tapi tidak dalam hal ini. Vanka justru tersinggung."Jadi Abang nggak percaya kalau aku haid? Abang pikir aku bohong?" Vanka menatapnya dengan sorot terluka.Shankara tidak bermaksud menyinggung, tapi cara bicaranya tadi memang terdengar terlalu langsung. "Bukan gitu maksud Abang," ujarnya pelan, mencoba memperbaiki keadaan. "Abang cuma nanya aja. Sama sekali nggak bermaksud menuduh kamu berbohong."Namun Vanka tetap menatapnya tajam, matanya berkaca. Ada luka kecil di sana, bukan karena marah, tapi karena kecewa. “Aku tuh baru aja jadi istri Abang. Belum sempat ngerasain tenangnya status ini, tapi yang pertama Abang minta malah itu. Aku tahu Abang punya hak. Tapi aku juga pengen Abang ngeliat aku bukan cuma dari sisi itu.”Shankara terdiam. Ia bisa merasak
Sebuah senyum kecil sempat terbit di bibir Vanka, tapi perlahan memudar ketika ia sadar bahwa di balik kata 'sah' barusan tidak ada cinta yang ikut terucap.Petugas pencatat pernikahan kemudian mempersilakan kedua mempelai untuk menandatangani buku nikah. Shankara memandang halaman yang akan ia tanda tangani begitu lama sampai akhirnya ia memutuskan untuk membubuhkan tanda tangannya di sana. Sedangkan Vanka langsung menandatanganinya dengan ringan tanpa berpikir apa-apa."Selamat ya, sudah resmi jadi suami istri. Semoga bahagia selamanya," ucap petugas dengan senyum hangat.Vanka menerbitkan senyum tipis dari bibirnya kemudian ditatapnya Shankara. Berharap ada sedikit perubahan di wajahnya. Mungkin seulas senyum, atau sekadar tatapan yang menenangkan. Tapi Shankara tetap sama seperti tadi, seolah semua yang terjadi hanyalah kewajiban yang harus diselesaikan.Vanka menjabat tangan Shankara dan mencium punggung tangannya. Tapi Shankara tidak membalas dengan mengecup keningnya seperti y
Pernikahan itu akhirnya pun terselenggara.Shankara merealisasikan janjinya. Ia membuktikan kata-katanya. Menikahi Vanka adalah bentuk tanggung jawabnya atas sesuatu yang sampai detik ini masih menjadi keraguan di benaknya Pernikahan tersebut diadakan di rumah Shankara tanpa ada pesta besar-besaran. Hanya orang-orang terdekatnya yang hadir, seperti Ananta, Andara, beberapa orang temannya dan anak-anak bengkel. Sedangkan dari pihak Vanka tidak seorang pun yang menyaksikan karena memang pernikahan tersebut terselenggara tanpa restu orang tuanya.Andara membantu merias wajah Vanka meskipun sahabatnya itu bisa melakukannya sendiri."Nggak dirias juga tetap cantik," puji Andara sembari menyapukan blush on ke pipi mulus Vanka.Vanka tersenyum dan mengatakan, "Thanks ya, Ra, udah ngenalin aku ke Abang.""Aku cuma perantara, Van. Pada dasarnya kalian yang saling menemukan," ujar Andara pelan sambil merapikan alis Vanka."Tapi tetap aja kamu punya andil yang nggak sedikit. Kalau bukan karena
Calista terpaku di tempatnya. Untuk sesaat, ruangan itu terasa benar-benar sunyi. Bahkan, napas pun enggan keluar dari dada mereka. Calista menatap nanar. Ia kaget dan setengah tidak percaya bahwa perempuan muda di depannya berani melakukan hal seberani itu. Perlahan kepalanya menoleh kembali, mata tajamnya berubah jadi bara yang membakar.“Berani kamu tampar aku?!” Suaranya melengking tinggi.Vanka berdiri tegak. Telapak tangannya masih terasa panas, tapi tatapannya tidak goyah. “Aku tampar karena kamu keterlaluan. Aku datang ke sini bukan buat merebut siapa-siapa. Aku di sini karena ada urusan. Nggak lebih.”"Urusan? Urusan apa?""Urusan kerja. Kamu nggak perlu tahu."“Kerja?!” Calista menertawakan dengan nada menghina. “Kerja apa?! Tidur di rumah laki-laki yang bukan suamimu itu kerja juga, hah?!”Vanka mengatupkan rahangnya, menahan emosi yang mulai mendidih. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Calista sudah menerjang, menarik rambutnya dengan kasar hingga tubuh Vanka sedikit tertar







