LOGINAndara duduk sendiri di tepi ranjang. Gaun pengantin yang membalut tubuhnya terasa dingin dan asing.
Tadi akhirnya dia resmi menikah dengan Ananta. Menjadi istri sahabat kakaknya sendiri. Namun, saat ini, lelaki yang dia sebut suami itu tidak ada di sebelahnya. Ananta pergi entah ke mana. Setelah akad selesai, lelaki itu memboyong Andara ke rumahnya lalu menghilang begitu saja. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagianya. Hari di mana seorang istri dipeluk mesra oleh suaminya. Namun yang menemani Andara hanya dinginnya udara malam dan sunyi yang menggigit sampai ke tulang. "Apa yang aku harapkan?" lirihnya sambil tersenyum miris. Berada di rumah besar ini, dia merasa seperti bayangan yang tidak terlihat. Andara mengingat kembali, tadi sebelum menikah, kakaknya meminta maaf berkali-kali atas kesalahannya yang mengakibatkan Andara harus melewati semua ini. Lelaki itu juga menangis dan menyesali kesalahannya di masa lalu yang menyeret adik kandungnya. Andara sudah memaafkan kesalahan Shankara. Dia pasrah jika memang menjadi istri Ananta adalah jalan hidup yang harus dilaluinya. Andara juga meyakinkan kakaknya bahwa dia akan bahagia hidup dengan Ananta. Terlepas dari masalahnya dengan Shankara, Andara tahu lelaki itu adalah orang yang baik. Jadi apa lagi yang harus Andara khawatirkan? Sementara di sebuah kelab malam di pusat kota, Ananta sedang duduk di kursi VIP. Sebatang rokok terselip di bibirnya. Sedangkan tangannya berisi gelas minuman. Wajah tampannya yang dingin tersamarkan cahaya redup dan asap tebal di udara. Lampu-lampu disko menari liar. Mengiringi dentuman musik dan tawa para pengunjung. Ananta tidak sendiri. Seorang perempuan berambut pirang duduk tanpa malu di atas pangkuannya. Perempuan itu sibuk meraba-raba dada Ananta, mencium pipinya dan membisikkan sesuatu yang membuat lelaki itu terkekeh pelan. "Jadi ceritanya kamu baru pulang dari pemakaman?" Perempuan genit itu mengusap dada Ananta yang terbalut kemeja hitam. Kemeja hitam itu adalah kemeja yang dipakainya saat akad nikah tadi. Di saat orang-orang mengenakan pakaian putih saat menikah, Ananta malah memakai baju hitam untuk menunjukkan sakit hatinya pada Andara, dan terutama Shankara. Ananta meneguk minumannya. "Bukan pemakaman, tapi pernikahan," koreksinya datar. Perempuan itu kaget lalu tertawa. "Jadi kamu pengantin baru?" "Ya." "Lalu kenapa kamu di sini? Bukannya bikin anak di rumah?" Perempuan itu tertawa lagi sambil mengelus dagu Ananta. Ananta mengembuskan asap rokoknya ke wajah perempuan itu hingga si pirang itu terbatuk-batuk. "Karena wanita seperti dia harus tahu hidup bersamaku tidak akan mudah. Aku menikahi dia bukan karena cinta, tapi karena pengkhianatan." "Oh, wow, kasihan sekali dia." Ananta tersenyum miring. Bukan Andara yang harus dikasihani tapi dirinya. Di rumah mewah milik Ananta, Andara baru saja mengganti lampu kamar dengan lampu tidur. Dia membaringkan tubuhnya, mencoba untuk tidur. Sudah pukul satu malam, tapi tidak ada tanda-tanda Ananta akan pulang. Agaknya lelaki itu lupa status barunya sebagai suami. Andara memejamkan mata. Baru beberapa menit, deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah melalui pagar otomatis memaksa Andara membuka mata. Andara bangkit lalu mengintip dari jendela. Jantungnya berdebar. Dia melihat siluet Ananta turun dari mobil. Namun yang membuat lututnya lemas adalah ketika mengetahui lelaki itu tidak sendiri. Seorang perempuan lain turun dari kursi penumpang. Perempuan itu berjalan melenggak-lenggok sambil tertawa lalu merangkul Ananta masuk ke dalam rumah. Andara mundur beberapa langkah. Dadanya sesak. Napasnya tercekat. Siapa perempuan berambut pirang yang dibawa Ananta pulang? Andara lantas keluar dari kamar untuk menyambut suaminya. Pintu rumah dibuka. Andara berdiri mematung di balik lemari. Suara high heels mengetuk lantai berpadu dengan tawa renyah. Ananta dan perempuan yang bergelayut manja di lengannya menghentikan langkah ketika menyadari keberadaan Andara. Tawanya lenyap, berganti dengan tatapan dingin yang menusuk. "Kenapa belum tidur?" tanyanya pada Andara. "Aku menunggu Mas Nata pulang," jawab Andara pelan. "Menungguku? Buat apa? Kamu pikir aku akan membawa bunga lalu mencium pipimu seperti pengantin baru di drama-drama cheesy itu?" Andara terdiam. Tidak menyangka inilah yang akan didengarnya dari mulut suaminya. "Jangan pernah berharap apapun dariku, Andara. Aku menikahimu bukan karena mencintaimu atau karena merasa bertanggung jawab atas kehamilanmu, tapi karena aku ingin menyakitimu agar kakakmu mengerti seberapa dalam luka yang kurasakan." Lelaki itu mendesis tajam tepat di depan Andara. "Mas Nata...." Andara menggelengkan kepalanya. "Apa? Mau ngadu sama kakakmu yang pengkhianat itu?" Api kebencian menyala tinggi di wajah Ananta. "Silakan lakukan. Berdoalah agar kakakmu bisa menyelamatkanmu karena hidup denganku tidak pernah mudah, Andara." Air mata gadis polos itu mulai merebak dan siap untuk ditumpahkan. "Jadi Mas Nata menikahiku hanya karena dendam?" lirihnya nyaris menangis. Ananta mendengkus menertawai kebodohan Andara. "Jangan terlalu naif, Andara. Sejak malam itu kamu tahu persis aku melakukannya bukan karena menginginkanmu." Andara terpaku. Hatinya hancur berderai. Air mata yang sejak tadi dia bendung akhirnya jatuh juga mengaliri pipinya yang pucat. Perempuan pirang itu, yang berdiri di sebelah Ananta, tersenyum sinis, seolah sedang menikmati penderitaan Andara. "Jangan menangis, anak manis. Seharusnya kamu bahagia karena menjadi istri Ananta. Padahal seharusnya aku yang menjadi istri Ananta," kata perempuan itu menggoda, membuat Ananta terkekeh kecil. Kemudian keduanya kembali melangkah. Perempuan itu sengaja menyenggol bahu Andara saat melewatinya. Andara mengekor di belakang keduanya sampai ke depan kamar. "Mau apa?" tanya Ananta saat Andara hendak masuk ke kamar yang sama dengannya. "M-mau tidur." "Ya tidur aja. Banyak kamar di rumah ini. Terserah mau yang mana asal jangan kamarku. Kamu pikir kamu siapa, hah?! Dan ingat, aku biasa tidur dengan wanita manapun, dan malam ini bukan dengan kamu." Pintu lalu ditutup tepat di depan hidung Andara setelah Ananta dan wanitanya masuk ke kamar. Andara membeku di tempatnya berdiri. Dari sekian banyak cara yang bisa dilakukan lelaki itu, kenapa cara ini yang dipilih oleh Ananta untuk menyakitinya? Dengan perasaan terluka dan air mata yang bercucuran Andara membawa langkah, mencari kamar lain tempatnya tidur malam ini. Dan mungkin... juga untuk malam-malam selanjutnya. **Shankara menyilang satu lagi tanggal di kalender meja. Satu hari lagi telah terlewati dan masih tidak ada kabar dari Vanka.Kadang Shankara berpikir, apa laporan orang hilang yang dibuatnya benar diproses polisi? Atau tidak pernah dilakukan pencarian sama sekali?Di mana Vanka saat ini? Apa dia masih hidup? Atau ...Shankara mengusap mukanya dengan kasar. Ia buru-buru menepis pikiran buruk tersebut."Papa masih mikirin Tante Vanka?"Suara itu mengeluarkan Shankara dari lamunannya. Thalia kini sudah berada di dekatnya dengan tangan menggenggam handphone. "Nggak. Papa nggak mikirin apa-apa," dusta Shankara."Move on dong, Pa. Jangan mikirin Tante Vanka terus," kata Thalia tidak percaya. Shankara pun tertawa. Anak sekecil ini bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. "Move on itu apa, Thal?" ujinya.“Kayak ... berhenti sedih. Mulai bahagia lagi,” jawab Thalia sambil menatap ayahnya dengan serius, seperti menasihati orang dewasa.Shankara terdiam lama. Matanya menatap ke arah jendela, k
Tujuh bulan kemudian ... Andara sangat menikmati hari demi hari selama kehamilannya. Hari-harinya memang berat karena kehamilan kembarnya, tapi Andara tidak ingin menyerah. Hanya tinggal sedikit lagi maka buah hatinya akan lahir ke dunia. Tanpa terasa saat ini sudah menginjak bulan ke sembilan kehamilan Andara. Menurut prediksi dokter sekitar satu minggu lagi bayinya akan lahir. Andara semakin kewalahan berjalan akibat bobot tubuhnya yang berat. Apalagi ia mengandung dua bayi. Jangankan dua, mengandung satu anak saja bukanlah hal yang mudah. Tapi Andara tidak henti bersyukur karena memiliki Ananta yang selalu ada di sisinya. Perlengkapan bayi sudah dibeli sejak lama. Kamarnya juga sudah disiapkan untuk menyambut anak kembar itu. Kamar tersebut didominasi oleh nuansa biru dan putih. Sedangkan untuk rumah sakit, Ananta juga sudah sejak jauh-jauh hari mem-boooking-nya. Ananta memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintainya. Semakin mendekati hari kelahiran si kembar, A
Shankara tidak membuang waktu. Setibanya di Indonesia ia hanya melepas lelah sejenak sebelum bergerak mencari Vanka.Dilihatnya kamar Vanka. Barang-barang perempuan itu masih ada di sana. Pakaiannya terlipat rapi di lemari. Hal tersebut membuat Shankara cukup lega. Bisa saja Vanka akan kembali ke rumahnya.Shankara mencoba menghubunginya, berharap kali ini panggilannya direspons. Tapi ia harus kecewa.Lalu Shankara menghubungi semua teman-teman Vanka yang kontaknya ia dapat dari Andara. Tapi semua mengatakan tidak tahu. Kata mereka Vanka tidak pernah menghubungi mereka dalam waktu dekat ini.Shankara meremas rambutnya frustrasi sambil menatap layar handphonenya. Benda itu sudah panas karena Shankara tidak berhenti menghubungi orang-orang."Abang harus nyari kamu ke mana lagi, Van?" erang Shankara putus asa.Satu-satunya tempat yang belum Shankara datangi adalah rumah orang tua Vanka.Shankara memutuskan untuk pergi ke sana meski hatinya diliputi ragu. Ia tahu betul agak mustahil Vanka
"Gimana hasilnya, Mas?" buru Andara tidak sabar setelah suaminya pulang."Nihil," jawab Ananta sembari membuka jas dan melemparkannya dengan asal ke sofa. "Nggak ada jejak sama sekali. Dari bandara, stasiun, kafe, butik, sampai pelabuhan, semuanya."Andara menatap suaminya yang terlihat benar-benar lelah. Kemeja Ananta kusut, rambutnya sedikit berantakan, bahkan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. "Kalian udah nyari ke semua tempat?""Iya, Andaraaa. Tadi ke bandara dulu. Terus stasiun, pelabuhan, promenade, cafe, butik, casino." Ananta berhenti sebentar, menghela napas berat. "Semuanya. Dan hasilnya sama. Nol besar.""Hah? Nyari ke casino juga?" Andara tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Gila ya kalian? Emangnya Vanka mau main judi?""Siapa tahu aja. Tapi tetap nggak ada."Andara tercenung. Tadi ia juga sudah mencoba menghubungi Vanka sampai berkali-kali, dan hasilnya tetap sama. Kakak iparnya itu sama sekali tidak bisa dihubungi. "Emang masalahnya apa sih sampai Vank
"Mas Nata mau ke mana?" tanya Andara begitu bertemu dengan suaminya di lobi. Sejak tadi Andara mencarinya."Vanka hilang. Aku dan Abang mau nyari dia.""Apa, Mas? Hilang?!" pekik Andara tertahan dan cepat-cepat membekap mulutnya dengan telapak tangan lantaran orang-orang di sekeliling memandang ke arahnya. "Gimana bisa hilang, Bang?" Andara menggeser tatapannya pada Shankara."Nanti Abang cerita ya, Ra. Abang mau nyari Vanka dulu. Abang titip Thalia," kata Shankara."Iya, Bang, hati-hati. Kamu juga, Mas."Ananta mengusap lembut pundak Andara kemudian berlalu dari sana.Monaco terasa lebih panas daripada biasanya meskipun angin laut sesekali membawa kesejukan. Ananta dan Shankara duduk di dalam mobil yang disewa. Mereka meluncur cepat menuju bandara. Mereka sepakat tidak membuang waktu untuk memeriksa hotel. Karena keyakinan Ananta dan Shankara adalah Vanka pasti sudah pergi jauh dari situ.Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah bandara. Berdasarkan analisa Ananta, kemungkinan bes
Pagi itu Ananta dengan keluarga kecilnya sudah berada di restoran. Mereka duduk melingkari meja yang di atasnya terdapat hidangan kontinental yang menggugah selera seperti croissant hangat berlapis mentega, omelet keju yang masih mengepulkan uap, potongan keju brie dan smoked salmon, serta semangkuk buah beri segar berwarna-warni.Tidak ada sekat antara pembantu dan majikan. Darmi juga ikut duduk bersama mereka untuk sarapan bersama."Ini buah apa namanya, Ma?" Kaivan mengambil buah berry dan menunjukkannya pada Andara.Andara tersenyum lembut, memandangi anak laki-lakinya yang tengah memiringkan kepala dengan rasa ingin tahu. "Itu namanya blueberry, Sayang," jawabnya sambil menyodorkan sendok kecil. "Rasanya agak asam tapi segar. Coba deh satu."Kaivan mengendus-endus buah itu lebih dulu sebelum akhirnya memakannya. Wajahnya langsung meringis. "Ih, asam, Ma!" serunya polos, membuat Thalia yang duduk di sebelahnya tertawa kecil sampai pipinya memerah.“Shankara belum turun ya?” tanya







