Hari-hari yang Andara lalui benar-benar seperti di neraka. Tinggal dengan lelaki dingin yang setiap malam berganti wanita dan pulang dengan keadaan mabuk membuatnya seperti berada dalam mimpi buruk tanpa akhir.
Ananta, lelaki yang dulu Andara kenal penuh pesona, bertutur lembut dan baik hati, kini menjelma menjadi pria asing, dingin dan sinis padanya.
Setiap malam Andara mendengar pintu dibanting, tawa manja wanita, serta bau alkohol yang membuatnya mual.
Dia mengunci pintu, memeluk dirinya sendiri dan berdoa agar malam segera berakhir. Namun saat pagi datang, Andara tetap tidak menemukan ketenangan. Ananta tidak pernah menganggapnya ada. Dia seperti makhluk asing di rumah itu yang dibutuhkan hanya sebagai pembantu. Setiap kali mata mereka bertemu, yang Andara temukan hanya kebencian dan kehampaan.
Andara tahu, ini bukan rumah, tapi penjara. Sayangnya dia belum menemukan kunci untuk bebas. Atau mungkin... dia akan terkurung selamanya di rumah itu.
Pagi ini hari Minggu. Kebetulan Andara mendapat shift pagi. Di hari libur biasanya pengunjung bioskop lebih ramai dari biasanya.
Andara membuatkan sarapan untuk Ananta sambil menahan mual. Semakin hari hampir setiap pagi dia muntah-muntah. Morning sickness yang semakin sering datang membuatnya tidak sanggup menelan apa-apa selain udara pahit kenyataan.
Ananta masih tidur di kamarnya saat sarapan selesai. Entah perempuan random mana lagi yang laki-laki itu bawa pulang.
Andara menulis pesan di kertas agar Ananta bisa membacanya nanti.
[Mas, aku shift pagi hari ini. Sarapannya udah aku siapin. Untuk kamu dan wanita itu.]
Andara membaca pesan yang dia tulis di dalam hati dengan getir. Setelahnya dia pergi.
Sorenya setelah shift selesai Andara menyempatkan diri mengunjungi Shankara. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu.
Shankara sendiri yang membuka pintu. Kakaknya itu sedikit terkejut melihat kedatangan Andara.
"Andara...."
Andara memaksakan senyum. Senyum yang samar, lelah, dan penuh kepura-puraan.
"Kamu sendiri?" tanya Shankara sambil melirik ke halaman yang kosong dari mobil Ananta.
"Iya. Boleh aku masuk, Bang?"
"Masuk aja, Dek. Ini, kan, masih rumahmu." Shankara menggeser kakinya, memberi ruang.
Andara melangkah lalu duduk di sofa tua yang sebagian kulitnya sudah robek. Jari-jemarinya menelusuri garis-garis pada bagian yang robek itu. Dulu mereka sering berebutan tempat di sofa tersebut.
Shankara membuatkan teh hangat. Sedangkan Andara merenung memerhatikan keadaan rumah. Tidak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dulu. Satu-satunya yang berbeda adalah Andara tidak lagi tinggal di rumah itu.
"Kenapa sendiri? Ananta mana?"
Lamunan Andara buyar oleh Shankara yang meletakkan teh di meja kayu di hadapannya lalu ikut duduk sepertinya.
"Mas Nata lagi sibuk, Bang."
Ya, lelaki itu memang sibuk dengan para wanitanya.
"Sibuk apa? Ini, kan, hari Minggu." Shankara mengerutkan dahi.
"D-dia hangout sama teman-temannya." Lagi, Andara berbohong.
"Kamu nggak diajak?"
"Kan, temannya laki-laki semua, Bang. Malu ah, aku sendiri perempuan." Andara membuat tawa, tangannya meraih gelas teh lalu buru-buru menyesapnya. Dia ingin segera mengalihkan topik. Tolong bicarakan apa saja, asal jangan Ananta.
Sementara Shankara terus memerhatikan Andara yang membuatnya sedikit gugup.
"Kak Calista mana, Bang?" Andara bertanya setelah mengembalikan gelas teh ke meja.
"Ada. Tadi ke rumah tetangga."
"Gimana kandungannya?"
"Sehat." Shankara menjawab singkat. "Kamu sendiri gimana? Kandunganmu?"
"Aku sehat. Kandunganku juga," jawab Andara riang. Dia mengubah sikapnya. Berpura-pura ceria di depan kakaknya untuk menutupi penderitaannya.
Shankara diam sejenak. Matanya menelisik wajah Andara.
"Gimana Ananta? Dia... memperlakukan kamu dengan baik, kan?" tanyanya hati-hati.
Pertanyaan itu bagaikan anak panah yang menancap tepat ke jantung Andara.
"I-iya, b-baik." Andara merutuki diri yang menjawab dengan gugup. Dia memasang senyumnya untuk menutupi kegugupannya.
Shankara masih menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Tapi diamnya pria itu seperti udara panas yang menyesakkan dada.
"Mas Nata baik. Dia sayang sama aku, Bang. Juga sama anak ini." Andara terpaksa menciptakan kebohongan lain sambil mengusap perutnya.
"Syukurlah." Shankara tersenyum tipis.
Andara juga tersenyum.
Hening menyelinap di antara mereka. Suara detak jarum dinding terdengar lebih keras dari biasa. Shankara terus menatap Andara. Andara tidak tahu apa yang tengah dipikirkan kakaknya itu.
"Andara...," panggil Shankara memecah hening.
"Ya?"
Shankara menarik napasnya, seperti ada beban berat yang akan dia ucapkan. "Abang minta maaf. Kalau bukan karena Abang kamu nggak akan begini. Masa depan kamu masih panjang. Kamu nggak perlu menikah secepat ini," sesal lelaki itu.
"Udah ah, Bang. Jangan minta maaf terus. Semua, kan, udah lewat. Aku juga bahagia sama Mas Nata." Andara tersenyum seolah semua baik-baik saja. "Bentar ya, Bang. Handphoneku bunyi. Kayaknya ada yang nelepon deh."
Andara mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Dahinya sontak berkerut ketika melihat nama Ananta tertera di layar.
Untuk apa lelaki itu meneleponnya?
**
Andara melangkah lunglai memasuki gedung Lyncore. Ia langsung menuju toilet. Di sana ia akan mengganti pakaian. Andara sengaja tidak mengenakan seragam kerjanya di rumah. Ia tidak akan membiarkan Shankara dan Calista melihat tulisan 'Office Girl' di punggungnya.Setiba di toilet Andara tidak langsung berganti pakaian. Ia berkaca di cermin wastafel. Seorang perempuan berwajah sedikit pucat dan raut tanpa semangat membalas tatapannya. Dia adalah refleksi dirinya sendiri.Semalam Andara tidak bisa tidur. Ia baru mampu memejamkan mata sesaat sebelum subuh dan tak lama setelahnya ia pun harus bangun. Tidak hanya pikirannya yang kacau. Tubuhnya juga terasa lemas saat ini akibat tidak sarapan. Tadi Shankara mengomelinya karena itu. Agar omelan kakaknya itu tidak melebar ke mana-mana Andara mengatakan akan sarapan di kantor.Andara mengingat lagi percakapannya dengan Calista sebelum berangkat tadi ketika tahu Andara akan menggunakan ojek."Ra, ini serius kamu mau pake ojek?"Andara mengiyaka
"Nggak jadi tidur, Ra?" sapa Calista saat melihat Andara muncul dan duduk di sebelahnya. Ia sedang menyetrika di ruang tengah karena juga tidak bisa tidur.Andara menggelengkan kepala. "Nggak bisa tidur.""Kenapa?""Lagi kepikiran Mas Nata aku, Kak."Calista meletakkan setrika dalam posisi berdiri, lalu melipat sebuah kaus dan menaruhnya di atas tumpukan kain. Andara melanjutkan. "Dari tadi pagi pergi sampai sekarang nggak ada kabar. Katanya sih mau hubungi aku kalau udah sampai, tapi..."Calista tertawa kecil, namun mungkin Andara tidak menangkap nada sinis di dalamnya. "Dulu waktu masih sama aku Nata nggak pernah kayak gitu. Tiap sampai di tempat baru pasti langsung kirim kabar. Satu pesan bisa lima foto. Entah itu foto boarding pass, makanan hotel, bahkan pemandangan dari jendela kamar. Dia juga selalu beliin aku sesuatu terus kirim fotonya, nanya aku suka atau enggak. Tapi kadang dia nggak bilang-bilang sih. Tiba-tiba pas pulang aku dikasih oleh-oleh segunung. Dan yang paling ber
Andara berdiri di beranda melepas mobil yang membawa Ananta meluncur pelan keluar dari gerbang. Beberapa detik setelah mobil menghilang dari pandangan, Andara masih berdiri diam di tempat. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi lebih dingin lagi adalah perasaan di dalam dadanya. Ada ruang kosong yang tiba-tiba menganga begitu saja.Ia menghela napas, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Menutup pintu pelan-pelan, seolah takut membangunkan kesunyian.Hari pertama tanpa Ananta terasa kosong. Andara melalui sarapan berteman sepi, meski ia menyalakan televisi dengan volume tinggi, pura-pura sibuk menikmati berita pagi. Tapi mata dan telinganya tidak benar-benar menyimak.Ia berjalan menyusuri rumah, melihat-lihat sudut yang biasanya tidak diperhatikan. Ranjang tempat mereka bergumul kini tampak sangat rapi. Ia juga melihat baju-baju Ananta yang tersusun di lemari seolah itu bisa menggantikannya. Bahkan bau sabun yang biasa dipakai Ananta masih menempel di hidung Andara.Tiba-tiba ia
Berpergian untuk urusan bisnis entah itu ke luar negeri atau masih di dalam negeri atau disebut juga dengan business trip itulah yang akan Ananta lakukan. Bukan hal baru sebenarnya. Tapi selama mereka menikah ini adalah kepergian pertama laki-laki itu yang diketahui Andara."Aku pergi tiga hari," ucap Ananta tanpa menoleh. Ia sibuk melipat baju dan memasukkannya ke koper dengan tangan cekatan. "Mas pergi sama siapa?" tanya Andara. Tadi saat ia ingin membantu mengemas pakaian yang akan dibawanya, Ananta menolak."Sendiri.""Masayu nggak ikut?""Nggak.""Kalau aku ikut boleh nggak, Mas?"Ananta menghentikan gerakannya. Hanya sebentar. Lalu kembali sibuk menggulung dasinya."Ada meeting pagi dan malam. Waktunya padat. Nggak enak kalau kamu ikut tapi cuma ditinggal sendirian di hotel.""Aku nggak keberatan kok sendirian."Kali ini Ananta menoleh, menatap pada Andara. "Kenapa ngotot mau ikut? Kamu takut sendiri di rumah?""Nggak. Aku cuma pengen nemenin Mas Nata." Andara bangkit dari dudu
Ananta membantu membaringkan tubuh Andara di ranjang ketika tiba di kamar pribadi mereka. Ia juga membantu melepas sepatu perempuan itu dari kedua kakinya."Nyaman?" tanyanya pelan.Andara mengangguk. Matanya mulai terasa berat. Rasa lelah menumpuk akibat kurang istirahat dan juga tensi emosi yang tidak bisa ia bagi dengan siapa pun."Aku ambilin air minum." Ananta berdiri dari sisi ranjang. Namun sebelum ia benar-benar pergi, tangan Andara menarik ujung bajunya."Di sini aja dulu."Ananta menatap wajah perempuan itu. Ia pun kembali duduk di tepi ranjang dan mengusap pelan punggung tangan Andara."Perut kamu sakit lagi?" tanyanya."Sedikit sih, Mas."Ananta menyingkap baju Andara lalu meletakkan tangannya di atas perut besar itu selama beberapa saat. Kendati hanya diam tapi Andara tidak melepaskan tatapan dari suaminya. Dengan tangan Ananta yang berada di atas perutnya ada rasa nyaman yang melingkupi hati Andara."Dia lagi gerak." Ananta menggumam pelan. "Iya, Mas."Ananta menunduk,
Andara tidak tahu entah berapa lama dirinya berbaring di sofa. Yang ia tahu saat ini Shankara sudah berada di dekatnya, menanyakan keadaannya karena melihat kondisinya yang tampak begitu lemah."Dek, kamu sakit?"Andara menggeleng cepat dan menyunggingkan senyum tipis. Ia memang tidak pernah mengizinkan dirinya membuat kakaknya khawatir. "Abang lihat muka kamu pucat."Andara menaikkan tangan mengusap wajahnya, seolah dengan begitu ia bisa merasakannya sendiri. "Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak, Bang," ucapnya dan berharap kakaknya itu akan percaya.Tatapan Shankara masih belum lepas dari wajah adiknya. "Oh, gitu ya?""Iya, Bang. Lagian selama hamil wajahku ya kayak gini.""Iya deh, Abang percaya. Tapi Abang minta kalau ada apa-apa, ada yang sakit, walau sakitnya cuma dikit jangan ditahan sendiri. Bilang sama Abang, dan terutama sama Nata.""Iya, Bang. Tenang aja. Mas Nata udah sering aku repotin kok. Kalau ada apa-apa aku nggak pernah simpan sendiri. Mas Nata pasti jadi orang