Sudah dua bulan berlalu sejak malam itu. Dua bulan yang penuh oleh mimpi buruk dan ketakutan. Dua bulan yang mengubah Andara menjadi gadis yang tidak lagi mengenal dirinya sendiri.
Andara tidak pernah benar-benar tidur. Kalaupun dia tidur karena tubuhnya terlalu lelah, dia akan terbangun dengan napas memburu dan keringat yang membanjiri.
Bayangan wajah Ananta dan tatapan dinginnya tidak pernah berhenti menghantui Andara. Bahkan, saat matahari bersinar terang, Andara tetap berada dalam kegelapan yang pekat.
Lalu sekarang tidak hanya ada kegelapan, tapi juga ketakutan.
Andara duduk di ujung ranjang kecilnya. Tangannya gemetar memegang benda pipih bernama test pack yang menunjukkan dua garis tegas.
Positif!
Andara sudah lelah menangis. Lebih tepatnya sejak dia mengetahui kehamilannya satu minggu yang lalu. Test pack yang dipegangnya saat ini adalah test pack ketiga. Dan hasilnya tetap tidak berubah sejak test pack pertama.
Langkah kaki terdengar samar mendekati kamar Andara. Lalu pintu kamar diketuk.
"Andara, kamu sudah bangun? Abang bawain sarapan nih." Suara Shankara terdengar dari balik pintu.
Andara cepat-cepat menyeka air mata. Disembunyikannya test pack ke bawah bantal sebelum membuka pintu.
Wajah kakaknya terlihat seperti biasa. Andara hanya bisa memandang wajah itu dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia ingin marah. Karena perbuatan Shankara yang merebut pacar sahabatnyalah Andara harus jadi korban.
Tapi akal sehatnya mengingatkan Andara, selama ini Shankaralah yang membesarkannya, menyekolahkannya, dan menghidupinya. Hanya Shankara satu-satunya yang dia miliki.
Di lain sisi, Andara juga merasa bersalah karena tidak bisa menjaga diri. Shankara pasti sedih dan kecewa jika mengetahui apa yang telah terjadi. Namun, Andara juga tidak bisa terlalu lama menyimpan rahasia besar ini.
"Abang lihat kamu nggak makan dari kemarin sore. Mukamu pucat. Kamu sakit?" Shankara bertanya sembari meletakkan piring berisi nasi goreng buatannya serta segelas teh hangat di atas meja di samping tempat tidur.
Andara menggeleng. Air mata meluncur menuruni kedua sisi pipinya.
"Andara? Kenapa?" heran Shankara.
Andara memeluk Shankara erat-erat. Dia terisak. Tubuhnya bergetar hebat. Shankara yang belum tahu apa yang terjadi membalas pelukan adiknya sambil mengusap-usap punggung Andara penuh kasih sayang.
"Ada apa, Ra? Apa yang terjadi? Cerita sama Abang."
Andara menarik diri dari pelukan kakaknya. Ditatapnya lelaki itu dari balik netranya yang buram oleh air mata.
"A-a-aku h-hamil, Bang," lirihnya mengaku sambil menunjukkan test pack.
Beberapa detik Shankara terdiam. Tidak percaya pada apa yang didengarnya. Dia menatap wajah adiknya yang basah oleh air mata. Jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Dia mendengar dengan jelas pengakuan itu, namun otaknya menolak.
"Kamu bilang apa tadi?"
"A-aku hamil, Bang." Andara mengulangi, suaranya nyaris tidak terdengar.
Tubuh Shankara menegang. Pandangannya kosong beberapa detik sebelum akhirnya menarik napas panjang, mencoba meredam gelombang emosi yang meluap di dalam dadanya.
"Siapa yang melakukannya?" Pertanyaan itu keluar dengan suara berat.
Andara menunduk. Jari-jemarinya saling meremas di atas pangkuan. "A-a-ku nggak bisa bilang."
"Kenapa nggak bisa bilang?!" Suara Shankara meninggi. "Dia harus bertanggung jawab!"
Isak Andara mengencang. Dia takut mengatakannya. Sangat takut.
"Apa dia teman kerjamu? Tetangga kita? Pacar kamu? Atau siapa? Bilang, Andara! Jangan bikin Abang gila!" paksa Shankara. Rahangnya yang sudah kokoh bertambah keras.
Andara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar. Napasnya tersengal menahan tangis yang bertambah kencang.
"D-dia bukan pacar atau teman kerjaku. Aku nggak mau semua ini terjadi. Tapi dia memaksa...."
"Dia memaksa? Berarti dia—" Shankara menghentikan ucapannya. Napasnya tercekat di kerongkongan.
Dia tahu apa arti kata-kata itu. Adiknya diperkosa. Dan itu membuat darahnya mendidih.
Shankara menjatuhkan diri di pinggir ranjang, tepat di sebelah Andara. "Jangan lindungi dia, Ra. Katakan siapa orangnya. Abang nggak akan marah sama kamu."
"M-mas N-nata," jawab Andara tergagap. Tangisnya semakin kencang setelah mengatakan itu.
Shankara tidak bisa tidak terkejut mendengar nama itu diucapkan. Bagaimana tidak? Ananta adalah sahabatnya walau pada akhirnya hubungan mereka hancur karena kesalahan yang Shankara lakukan.
"Maksud kamu Ananta?"
Andara mengangguk mengiyakan. Dia tidak sanggup menatap wajah Shankara yang saat ini merah padam.
Buku-buku jari Shankara terkepal erat hingga memutih.
Bagaimana mungkin Ananta melakukannya?
Ananta yang sering makan hasil masakan Andara. Ananta yang sering tidur di rumah mereka. Ananta yang katanya sudah menganggap Andara sebagai adiknya sendiri.
Tidak kuat menanggung emosi, Shankara mengambil test pack di sisi Andara lalu membawanya pergi. Masih dia dengar teriakan Andara yang memanggilnya, namun Shankara tidak menggubris.
Shankara memacu motornya menuju kantor Ananta. Tempat lelaki itu bekerja sebagai CEO.
Shankara tidak peduli pada tatapan orang-orang saat dia menerobos masuk ke lobi gedung mewah itu. Napasnya berat, langkahnya memburu, penuh dengan kemarahan yang tidak mampu dibendung. Tangannya menggenggam test pack dengan dua garis biru. Bukti pengkhianatan. Bukti kehancuran adiknya.
Resepsionis di balik meja berusaha mencegah karena Shankara tidak melapor. Namun lelaki yang sedang dikuasai emosi itu terus menerobos.
Pintu dibuka dengan keras. Mengejutkan Ananta yang sedang duduk tenang di atas kursi kerjanya yang nyaman.
Shankara langsung menyerang, menarik Ananta dari duduk lalu mencekal kerah kemejanya.
"Lo apain adek gue, bajingan?!" hardik Shankara keras. Suaranya nyaris memecahkan ruangan.
Ananta mendengkus lalu menyingkirkan tangan Shankara dari lehernya. "Gue cuma ngelakuin yang pernah lo lakuin ke cewek murahan itu," desisnya dingin.
Shankara meneguk saliva. Cewek murahan yang dimaksud Ananta adalah Calista. Mantan kekasih Ananta yang kini menjadi istri Shankara dan sedang hamil lima bulan.
Ananta mengibas-ngibas kerah bajunya seolah sedang membersihkannya dari sisa tangan Shankara.
"Gue tahu gue emang salah. Tapi semuanya udah berlalu, Ta. Gue udah minta maaf sama lo. Nggak seharusnya lo balas semua itu pada Andara. Kalau lo marah seharusnya lo balas ke gue, bukan adek gue!" cecar Shankara emosi.
Ananta hanya memandang Shankara dengan senyum miring di bibirnya.
"Lo nyadar nggak sih, Ta? Lo udah ngerusak hidup Andara. Lo udah hancurin masa depannya!" Sklera Shankara memerah menanggung emosi. Dia merasa gagal jadi kakak. Tidak ada lagi yang tersisa dari Andara selain kehancuran.
"Dan sekarang lihat akibat perbuatan lo!" Shankara menghempaskan test pack ke atas meja.
Ananta melihatnya. Terkejut ketika menyaksikan garis dua di benda pipih itu. Namun kemudian segaris senyum puas terulas di bibirnya.
"Jadi mau lo apa?" tanyanya santai namun sinis.
Shankara menatap Ananta lekat-lekat. Ada kebencian di mata Ananta. Tapi Shankara tidak punya jalan lain. Satu-satunya opsi yang dia miliki adalah meminta tanggung jawab Ananta.
"Lo harus tanggung jawab. Nikahi Andara."
Ananta terdiam sejenak hingga Shankara berpikir pria itu pasti akan menolak.
Namun dugaannya terbukti salah karena dengan tenang Ananta menjawab, "Oke."
Shankara tertegun. Dia tidak menduga Ananta akan terima begitu saja. Tanpa ada bantahan. Tanpa ada argumen.
Dan yang Shankara tidak tahu adalah di balik kata setujunya Ananta menyimpan dendam yang belum selesai.
**
Andara melangkah lunglai memasuki gedung Lyncore. Ia langsung menuju toilet. Di sana ia akan mengganti pakaian. Andara sengaja tidak mengenakan seragam kerjanya di rumah. Ia tidak akan membiarkan Shankara dan Calista melihat tulisan 'Office Girl' di punggungnya.Setiba di toilet Andara tidak langsung berganti pakaian. Ia berkaca di cermin wastafel. Seorang perempuan berwajah sedikit pucat dan raut tanpa semangat membalas tatapannya. Dia adalah refleksi dirinya sendiri.Semalam Andara tidak bisa tidur. Ia baru mampu memejamkan mata sesaat sebelum subuh dan tak lama setelahnya ia pun harus bangun. Tidak hanya pikirannya yang kacau. Tubuhnya juga terasa lemas saat ini akibat tidak sarapan. Tadi Shankara mengomelinya karena itu. Agar omelan kakaknya itu tidak melebar ke mana-mana Andara mengatakan akan sarapan di kantor.Andara mengingat lagi percakapannya dengan Calista sebelum berangkat tadi ketika tahu Andara akan menggunakan ojek."Ra, ini serius kamu mau pake ojek?"Andara mengiyaka
"Nggak jadi tidur, Ra?" sapa Calista saat melihat Andara muncul dan duduk di sebelahnya. Ia sedang menyetrika di ruang tengah karena juga tidak bisa tidur.Andara menggelengkan kepala. "Nggak bisa tidur.""Kenapa?""Lagi kepikiran Mas Nata aku, Kak."Calista meletakkan setrika dalam posisi berdiri, lalu melipat sebuah kaus dan menaruhnya di atas tumpukan kain. Andara melanjutkan. "Dari tadi pagi pergi sampai sekarang nggak ada kabar. Katanya sih mau hubungi aku kalau udah sampai, tapi..."Calista tertawa kecil, namun mungkin Andara tidak menangkap nada sinis di dalamnya. "Dulu waktu masih sama aku Nata nggak pernah kayak gitu. Tiap sampai di tempat baru pasti langsung kirim kabar. Satu pesan bisa lima foto. Entah itu foto boarding pass, makanan hotel, bahkan pemandangan dari jendela kamar. Dia juga selalu beliin aku sesuatu terus kirim fotonya, nanya aku suka atau enggak. Tapi kadang dia nggak bilang-bilang sih. Tiba-tiba pas pulang aku dikasih oleh-oleh segunung. Dan yang paling ber
Andara berdiri di beranda melepas mobil yang membawa Ananta meluncur pelan keluar dari gerbang. Beberapa detik setelah mobil menghilang dari pandangan, Andara masih berdiri diam di tempat. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi lebih dingin lagi adalah perasaan di dalam dadanya. Ada ruang kosong yang tiba-tiba menganga begitu saja.Ia menghela napas, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Menutup pintu pelan-pelan, seolah takut membangunkan kesunyian.Hari pertama tanpa Ananta terasa kosong. Andara melalui sarapan berteman sepi, meski ia menyalakan televisi dengan volume tinggi, pura-pura sibuk menikmati berita pagi. Tapi mata dan telinganya tidak benar-benar menyimak.Ia berjalan menyusuri rumah, melihat-lihat sudut yang biasanya tidak diperhatikan. Ranjang tempat mereka bergumul kini tampak sangat rapi. Ia juga melihat baju-baju Ananta yang tersusun di lemari seolah itu bisa menggantikannya. Bahkan bau sabun yang biasa dipakai Ananta masih menempel di hidung Andara.Tiba-tiba ia
Berpergian untuk urusan bisnis entah itu ke luar negeri atau masih di dalam negeri atau disebut juga dengan business trip itulah yang akan Ananta lakukan. Bukan hal baru sebenarnya. Tapi selama mereka menikah ini adalah kepergian pertama laki-laki itu yang diketahui Andara."Aku pergi tiga hari," ucap Ananta tanpa menoleh. Ia sibuk melipat baju dan memasukkannya ke koper dengan tangan cekatan. "Mas pergi sama siapa?" tanya Andara. Tadi saat ia ingin membantu mengemas pakaian yang akan dibawanya, Ananta menolak."Sendiri.""Masayu nggak ikut?""Nggak.""Kalau aku ikut boleh nggak, Mas?"Ananta menghentikan gerakannya. Hanya sebentar. Lalu kembali sibuk menggulung dasinya."Ada meeting pagi dan malam. Waktunya padat. Nggak enak kalau kamu ikut tapi cuma ditinggal sendirian di hotel.""Aku nggak keberatan kok sendirian."Kali ini Ananta menoleh, menatap pada Andara. "Kenapa ngotot mau ikut? Kamu takut sendiri di rumah?""Nggak. Aku cuma pengen nemenin Mas Nata." Andara bangkit dari dudu
Ananta membantu membaringkan tubuh Andara di ranjang ketika tiba di kamar pribadi mereka. Ia juga membantu melepas sepatu perempuan itu dari kedua kakinya."Nyaman?" tanyanya pelan.Andara mengangguk. Matanya mulai terasa berat. Rasa lelah menumpuk akibat kurang istirahat dan juga tensi emosi yang tidak bisa ia bagi dengan siapa pun."Aku ambilin air minum." Ananta berdiri dari sisi ranjang. Namun sebelum ia benar-benar pergi, tangan Andara menarik ujung bajunya."Di sini aja dulu."Ananta menatap wajah perempuan itu. Ia pun kembali duduk di tepi ranjang dan mengusap pelan punggung tangan Andara."Perut kamu sakit lagi?" tanyanya."Sedikit sih, Mas."Ananta menyingkap baju Andara lalu meletakkan tangannya di atas perut besar itu selama beberapa saat. Kendati hanya diam tapi Andara tidak melepaskan tatapan dari suaminya. Dengan tangan Ananta yang berada di atas perutnya ada rasa nyaman yang melingkupi hati Andara."Dia lagi gerak." Ananta menggumam pelan. "Iya, Mas."Ananta menunduk,
Andara tidak tahu entah berapa lama dirinya berbaring di sofa. Yang ia tahu saat ini Shankara sudah berada di dekatnya, menanyakan keadaannya karena melihat kondisinya yang tampak begitu lemah."Dek, kamu sakit?"Andara menggeleng cepat dan menyunggingkan senyum tipis. Ia memang tidak pernah mengizinkan dirinya membuat kakaknya khawatir. "Abang lihat muka kamu pucat."Andara menaikkan tangan mengusap wajahnya, seolah dengan begitu ia bisa merasakannya sendiri. "Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak, Bang," ucapnya dan berharap kakaknya itu akan percaya.Tatapan Shankara masih belum lepas dari wajah adiknya. "Oh, gitu ya?""Iya, Bang. Lagian selama hamil wajahku ya kayak gini.""Iya deh, Abang percaya. Tapi Abang minta kalau ada apa-apa, ada yang sakit, walau sakitnya cuma dikit jangan ditahan sendiri. Bilang sama Abang, dan terutama sama Nata.""Iya, Bang. Tenang aja. Mas Nata udah sering aku repotin kok. Kalau ada apa-apa aku nggak pernah simpan sendiri. Mas Nata pasti jadi orang