Prosedur pemeriksaan pun dilakukan. Dimulai dari tes darah yang menjadi awal dari tes-tes selanjutnya.Andara, Shankara serta Rania mengikuti tes tersebut. Ello juga ingin mendaftarkan diri, tapi tidak mendapatkan izin dari Hermawan.Setelah pemeriksaan darah dilakukan, mereka dipanggil ke ruang konsul.“Baik, hasil tes darah sudah keluar,” ucap dokter dengan nada formal tapi berhati-hati. “Langkah pertama yang kami lakukan adalah mencocokkan golongan darah pendonor dengan pasien. Karena pasien, Saudara Ananta, memiliki golongan darah O, maka hanya donor dengan golongan O yang bisa dipertimbangkan.”Ketegangan langsung terasa di ruangan itu.“Untuk Ibu Rania, hasil pemeriksaan menunjukkan golongan darah Anda adalah B.”Rani terdiam. Sejak pertama ia tahu golongan darahnya apa, tapi tidak tahu golongan darah Ananta. “Tapi saya ibu kandungnya, Dok. Masa tidak bisa?” protesnya.Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Saya mengerti, Bu. Hubungan keluarga memang dekat, tapi sayangny
Begitu Andara tiba di luar, ia mendengar suara perdebatan yang lebih mengarah pada pertengkaran, membuatnya sontak menghentikan langkah."Mas, aku udah pikirin. Aku akan donorin hatiku buat Nata," kata Rani pada suaminya.Hermawan bereaksi dengan cepat. "Kamu jangan aneh-aneh, Ma. Donor hati itu nggak main-main, nggak segampang donorin darah. Dan belum tentu juga cocok.""Aku yakin cocok, Mas. Aku ini ibu kandungnya," jawab wanita itu penuh keyakinan. Rani menatap Hermawan dengan mata berair. "Nata itu anakku. Aku nggak bisa diam aja. Kalau ada kesempatan untuk menolong, aku mau melakukannya."Hermawan membalas tatapan istrinya dengan wajah tegang, suaranya meninggi. "Lalu kalau ada komplikasi? Kalau kamu kenapa-kenapa? Kamu pikir aku sanggup kehilangan kamu?!"Air mata Rani jatuh. "Tapi aku nggak sanggup kehilangan anakku."Shankara yang duduk di dekat mereka hanya bisa diam mendengarkan ketegangan itu. Ia yakin Ananta tidak akan sudi menerima donor dari Rani. Ananta akan memilih l
Aroma antiseptik yang menusuk langsung menyambar penciuman Andara begitu ia melangkah ke dalam ruangan tersebut. Sementara perawat berjalan di depannya, memberi arahan.Ruang itu penuh dengan suara mesin. Bunyi bib bib monitor jantung terdengar begitu jelas, seakan menegaskan betapa rapuhnya kehidupan yang sedang dipertahankan. Andara berhenti di sisi ranjang. Jantungnya seolah diremas. Ia nyaris tidak mengenali sosok yang selama ini selalu ia lihat gagah dan berwibawa. Kini, Ananta tampak begitu rapuh, terbaring dengan tubuh yang tidak berdaya.Napas Ananta terdengar berat melalui selang canula oksigen yang menempel di hidungnya. Sesekali terdengar desahan halus. Wajah lelaki itu pucat kekuningan. Begitu pun dengan bibirnya. Gaya hidup Ananta yang tidak sehat dan kebiasaannya mengonsumsi alkohollah yang membuatnya mendapat penyakit itu.Perawat berbisik, “Silakan, Bu. Jangan sentuh alat-alat medisnya. Kalau ingin menggenggam tangannya, boleh.”Setelah mengatakan itu perawat menjauh
Para petinggi Lyncore berdatangan ke rumah sakit hari itu. Wajah-wajah tegang mereka menambah suasana mencekam di koridor ICU yang sudah penuh dengan aroma obat-obatan.Satu per satu, mereka menyalami Shankara yang berdiri di depan pintu ruang perawatan intensif."Bagaimana kondisi Pak Ananta, Pak?" tanya salah satu direktur.Shankara menarik napas dalam. "Masih kritis. Dokter belum mengizinkan siapa pun masuk selain keluarga inti."Mereka semua terdiam. Hanya suara mesin monitor jantung dari balik pintu ICU yang terdengar samar-samar, membuat dada setiap orang semakin berat.Beberapa petinggi memilih duduk di kursi tunggu, sebagian lagi berdiri, menundukkan kepala. Ada yang berdoa dalam diam, ada pula yang tampak menahan perasaan.“Pak Ananta itu pondasi kita semua. Lyncore nggak akan ada tanpa beliau,” ucap direktur keuangan dengan wajah sedih.Shankara mengangguk singkat. Ia tidak menampik bahwa Ananta memang dihormati banyak orang.Seorang dokter keluar dari ruang ICU, membuat sem
Ponsel Andara hampir lepas dari genggamannya mendengar kabar dari Shankara. Tubuhnya hampir saja limbung saking terkejut mengetahui berita tersebut."Abang minta kamu ke sini bukan buat balikan. Kamu jangan salah paham. Tapi sebagai manusia yang memiliki hati nurani Abang harap kamu bisa datang. Lihat kondisinya, sekaliii aja." Suara Shankara begitu memohon.Andara hampir saja luluh. Namun seketika adegan demi adegan masa lalu melintas di depan mata. Rasa sakit yang ditorehkan Ananta masih membekas hingga saat ini."Ke mana hati nuraninya waktu nyakitin aku?" ucap Andara dengan perasaan perih. "Waktu aku hancur sendirian dia di mana?!""Ra--"“Cukup, Bang!” potong Andara cepat. “Aku nggak mau dengar lagi. Jangan paksa aku untuk peduli sama dia. Aku sudah mati-matian bangun hidupku lagi tanpa dia. Sekarang Abang mau jatuhin aku ke jurang yang sama?”Keheningan kembali menyelimuti percakapan itu. Hanya terdengar helaan napas berat Shankara."Andara... iya Abang tahu kamu terlalu sakit k
Acara makan malam adalah waktu yang sering digunakan sebuah keluarga untuk berkumpul dan berbagi cerita. Begitu pula dengan keluarga kecil Hermawan.Saat ini mereka tengah makan malam bersama. Topik pembicaraan tidak jauh-jauh dari kuda milik Kaivan. Anak itu berceloteh riang tanpa henti yang ditimpali oleh opa dan omanya. Sedangkan Andara lebih banyak diam. Suasana hatinya belum membaik pasca pengkhianatan Shankara. Sampai detik ini Shankara masih belum merespons panggilan darinya. Andara tahu kakaknya itu pasti sengaja karena takut kebusukannya terbongkar."Kai, ayo satu suap lagi, Nak." Ello yang sejak tadi makan sambil menyuapi Kaivan, menyodorkan sendok ke depan mulut anak itu.Kaivan menggeleng kuat-kuat. "Kai udah kenyang, Pa.""Satu sendok lagi aja, ayo.""Nggak mau." Kaivan menutup mulutnya rapat-rapat."Papa janji nanti kalau Kai ngabisin semua nasinya Papa bakal jadi kuda kayak biasa." Ello terus membujuk agar anak itu mau menghabiskan nasinya."Tapi Kai udah punya kuda."