Share

Bab 5. Masih mencintai?

Bryan meneguk jus lemon yang sedari tadi ia genggam, sebelum bercerita. Kebiasaan kecil yang masih dan akan selalu Deline ingat. Setiap kali lelaki itu hendak memulai percakapan, jika ada minuman ia akan minum terlebih dulu.

"Banyak. Mereka sangat seksi dan gila!"

Deline yang mendengar permulaan cerita itu pun tertawa kecil. Deline dikenal sebagai gadis yang tenang, tetapi apa jadinya julukan itu jika dirinya sudah didekatkan dengan Bryan? Keduanya tampak tak ragu-ragu untuk saling bertukar cerita, tawa, dan kesedihan. Rasa canggung dengan cepat hilang.

"Kau mengerjai mereka? I mean, kudengar di sana sangat bebas."

"Yang benar saja?! Aku tidak mencintai satu pun dari mereka. Ayolah, El, kalau kau berpikir aku melakukan sesuatu dengan gadis-gadis Amerika itu, kau salah," bantah Bryan sambil memasang wajah jengkel. El berhasil membuatnya malu.

"Benarkah?"

Bryan mengalihkan pandangan menatap wajah El. "Y-ya, just kissing."

Gadis manis itu kembali tertawa, kali ini tawanya lebih renyah, tanpa dirinya sadari Bryan ikut tersenyum kecil. Lagi pula, Bryan sangat merindukan melihat Deline tertawa langsung di hadapannya. Begitu merindukan gadis tersebut. Merindukan kebersamaan mereka.

"Kenapa menanyakan itu? Kau takut aku mencintai gadis lain, bukan?" Kali ini Bryan balas menggoda.

Seketika tawa gadis itu berhenti. Entah desiran aneh apa yang mengalir dalam dirinya. Mengapa bisa sampai membuatnya terdiam? Mengapa pula Bryan bertanya seperti itu? Jika ini hanya candaan, sungguh! Dirinya seperti tak menganggap itu sebuah lelucon.

"Untuk apa aku takut? Kita bahkan hanya berteman," balas Deline seadanya.

"Maksudmu, ingin kita lebih dari teman?"

Susah payah Deline mencoba menenangkan hatinya yang tak karuan. Ia memilih memutar-mutar pasta dengan garpu. Apa-apaan ini! Ia tidak boleh berpikir lebih jauh, mereka hanya teman dan akan seterusnya begitu.

"Aku tidak tertarik padamu," ucapnya, lalu memasukkan gulungan pasta ke mulut.

***

Romantica Coffe adalah sebuah tempat minum kopi favorit hampir semua pencinta kopi. Memiliki banyak cabang, dikenal dengan sensasi yang tidak bisa dideskripsikan lewat kata, serta rumah bagi orang-orang yang ingin merasakan suasana tenang dan aroma khas.

Membuat orang berpikir, ketika kamu lelah mewarnai gelapnya hidup, maka lihatlah ke dalam cangkir berisi kopi, tak akan ada rasa manis bila gula tidak melengkapinya.

Kali ini, Romantica Coffe membawa serta nama Deline dalam rencana menyebar luaskan atau memperkenalkan lebih luas lagi kopi racik mereka ke seluruh penjuru dunia melalui jejaring sosial media, dan istimewanya lagi, Romantica Coffe juga ditawarkan untuk tampil di televisi.

Tentu saja, Bos Lin King menerima tawaran tersebut, menjadikan Deline sebagai Brand Ambassador-nya. Bukan tanpa alasan, selain karyawan terbaik dan peracik kopi terbaik Romantica Coffe, bentuk tubuh dan wajah Deline sangat cocok.

Lagi pula, gadis tersebut juga sangat mencintai pekerjaannya dari apa pun, bukan? Segala sesuatu butuh orang istimewa dan pemberani agar haslinya memuaskan, orang itu adalah Deline Hendriya.

"Setelah mempertimbangkan tawaran besar itu, aku tidak menyangka menerimanya," ujar Bos Lin King.

"El, berisap-siaplah untuk syuting iklan dan Fhoto Shoot. Kau harus terlihat perfect," lanjutnya bersemangat. Sebelum akhirnya berlalu mengontrol persiapan lain.

"Sulit dipercaya! Kafe kita akan semakin dikenal dunia!" Yuka berseru gembira.

Karena terlalu sibuk dan senang tentunya, Deline sampai tak menyadari seseorang mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja biru tanpa dasi sudah lumayan lama berdiri di belakangnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Semua karyawan lain sejak tadi menyadari, tetapi mereka diisyaratkan untuk diam saja.

Namun, karena langkah Deline yang memegang sebuah kardus kecil semakin mundur, membuatnya menabrak sesuatu di belakang. Betapa terkejutnya ia ketika berbalik dan mengetahui siapa orang tersebut.

"Bryan?! What are you doing here?"

"Waiting you. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat malam ini."

"Tapi, aku harus mempersiapkan segalanya untuk besok, Bry."

"Serahkan semuanya pada yang lain, lagi pula tadi bos-mu tidak keberatan aku membawamu." Begitu banyak cara yang Bryan lakukan agar keinginannya tidak dibantah.

***

Sebuah tempat yang indah, tempat yang tidak memandang status sosial, siapa pun boleh ke tempat ini. Ramai teriakan gembira anak-anak serta gelak tawa orang dewasa terdengar di mana-mana. Aksesoris, makanan ringan, wahana, semuanya tersedia berjejer rapi sesuai urutan.

Malam ini menjadi malam terindah Deline sebab setelah beberapa tahun ia berhenti mendatangi tempat penuh kegembiraan tersebut. Dirinya tidak menyangka bahwa Bryan akan membawanya ke tempat yang sangat dirindukan.

Dulu, Deline sering kali pergi bersama seseorang menghabiskan malam minggu, bersenang-senang, membeli gula-gula kapas yang besar, lalu menikmati bersama. Hei! Seharusnya ia tak memikirkan itu lagi!

Lihat, sekarang Deline kembali ada di sini dengan orang yang berbeda. Meskipun begitu, ia masih tetap bahagia, masih bisa merasakan kemeriahan festival. Ya, rasanya memang sedikit berbeda, tetapi Bryan sangat pandai menghibur hati siapa saja, itu cukup untuknya. Bryan adalah lelaki yang lembut.

"Aku tidak menyangka setelah beberapa tahun melewatkannya, tempat ini tak banyak berubah," ujar Deline. Mengedarkan pandangan.

"Ibumu yang memberitahu. Ya ... Aku tidak mengetahui jelas mengapa kau berhenti ke sini, El. Aku juga mencoba mengerti jika kau tidak mau bercerita, tetapi cobalah lupakan apa yang menurutmu pahit. Sekarang ada aku."

"Ya, aku senang punya sahabat sepertimu." Tanpa ragu El memeluk Bryan beberapa detik.

Lagi-lagi jawaban Bryan mampu membuat El tak karuan. "Tidakkah kau rasakan sesuatu saat bersamaku, El? Perasaan yang lebih?"

"What do you mean?" El mencoba berkelit. Sungguh! Ia belum siap jatuh cinta untuk yang ke dua kalinya.

"Mungkin tidak. Lupakan." Mungkin Bryan harus menahan apa yg ingin ia ungkapkan.

"Bry, ayo naik bianglala itu," pinta El. Hitung-hitung juga sebagai pemecah kecanggungan. Anggap saja perkataan tadi tidak pernah terjadi.

Kini keduanya sedang menikmati wahana tersebut yang mulai berputar. Gadis yang malam ini mengurai rambutnya tanpa memberi hiasan sedikitpun itu begitu bahagia melihat suasana dari ketinggian. Melihat senyum lepas Deline, membuat hati Bryan menghangat.

Selepas menaiki bianglala, mereka memasuki sebuah tempat di mana tanaman bunga-bunga mawar segar dijual. Ada berbagai macam warna, Deline berencana membeli satu pot mawar merah untuk menghiasi balkon kamarnya. Ia memilih sendirian sedangkan Bryan sedang mencari tempat yang sedikit senyap untuk mengangkat telepon dari rekan bisnis.

"Pilih saja bunganya, El. aku akan segera kembali."

Terlalu terbuai dengan keindahan bunga yang paling mencolok di matanya, sehingga tak sengaja tangan halus yang tadinya hanya ingin menyentuh batang bunga, tertusuk duri. Tiba-tiba seseorang datang meraih tangannya, kemudian dengan cekatan mengelap darah tersebut dengan ujung bajunya.

Lelaki berkalungkan kamera itu terlihat panik, padahal sudah jelas itu bukan luka yang serius. Deline tak menarik atau memberi pergerakan sedikitpun pada tangannya, gadis itu hanya tak bisa berkedip memandang tangan besar yang saat ini tengah memegangnya. 

Wajah yang sudah dibiarkan ditumbuhi berewok, kusut, bahkan jauh dari kata rapi dari ujung rambut hingga ujung kaki membuat Deline tertegun. Wajah tegas yang kini di hadapannya, sudah jauh berbeda dari beberapa tahun silam. Baru kali ini Deline benar-benar memperhatikannya, karena pada saat di kafe, gadis itu selalu saja mencoba tidak menghiraukan kehadiran orang itu.

"Aku tidak sengaja melihatmu saat menaiki bianglala." Suara berat Arya membuat Deline ingin menangis, sungguh!

Deline dapat mencium aroma parfum khas perempuan pada diri Arya, bahkan sangat tajam, bercampur, bukan hanya satu aroma. Namun, ia kembali tersadar, menarik tangannya dan mencoba tidak ambil pusing. Deline harus bersikap tidak peduli pada orang yang sudah ia anggap masa lalu.

"Apa masih sakit?"

"Terima kasih, tapi ini hanya luka kecil," jawab Deline.

"Luka kecil juga perlu diobati."

"Tetapi luka ini tidak akan membuatku kehilangan separuh kebahagiaanku." Sembilan kata penuh arti keluar dari bibir Deline.

Gadis tersebut memalingkan tubuh, beralih pada barisan bunga berwarna putih. Berpura-pura memilih, padahal susah payah ia sembunyikan netra yang berkaca-kaca. Bukan saatnya menangis.

"Yang putih bagus untukmu." Beberapa detik setelah mendengar itu, Deline berbalik dan tidak lagi mendapati sosok Arya.

Ya Tuhan! Apa Deline masih mencintainya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status