Bola plastik itu menggelinding di area mall megah yang sedang banyak pengunjungnya, lalu bersarang di bawah kaki seseorang. Di belakangnya berlari seorang bocah laki-laki kecil sekitar tiga tahunan. sepertinya sedang mengejar bola itu.
Tubuhnya yang mungil, tampak bulat berisi, seperti bola yang di kejarnya. Wajah yang tampan, terlihat sangat menggemaskan.Sementara di tempat lain lagi yang tidak begitu jauh dari sana, seorang perempuan cantik berambut panjang hendak mengejar anaknya yang bernama Gagah. Langkahnya terhenti seketika.Deg! Ia mengenali siapa pemilik sepatu itu, yang berdiri menjulang tinggi di hadapan anak laki-laki kecilnya. Dengan segera tubuh rampingnya menyelinap ke belakang sebuah pilar besar penopang bangunan mall, secara diam-diam. Dengan hati cemas, ia terus memperhatikan lokasi Gagah dan laki-laki tinggi itu berada.Wajah Gagah terangkat, saat mengetahui bola miliknya tertahan di kaki seseorang yang tidak dikenalnya."Bolaku" tunjuk Gagah, mengarah pada sepatu lelaki itu. "Danan ijak bolaku." katanya lagi secara lantang. Sepertinya marah karena barang milik dia, ada di bawah sepatunya.Namun, karena raut wajah ciliknya sangat tampan, mimik marahnya malah terlihat lucu.Yang punya sepatu itu tersenyum, mulai tertarik dengan sikap beraninya."Bolamu baik-baik saja, kamu tidak usah marah." ucapnya dengan suara rendah. Kemudian dia mengambil bola dari bawah sepatu.Dan entah kenapa, sepertinya dia ingin sejenak menahan bocah tampan yang lucu ini, padahal seumur hidup belum pernah bercengkrama dengan anak-anak. Dia tidak begitu menyukainya."Danan abil, itu punaku." tunjuk Gagah lagi pada bola yang dipegang lelaki itu. Suara cadelnya terdengar lucu.Tubuh jangkungnya berjongkok, berusaha menyesuaikan dengan tinggi badan Gagah. "Kalau bola ini mau kembali, kamu harus memintanya." Mata Gagah membulat. "Nda mau! itu punaku." mulutnya mulai mengerucut, cemberut."Mintalah!" katanya. Semakin senang mengganggu. Kenapa anak ini, begitu menyita perhatiannya? Dia jadi bingung sendiri."Nda mauu ...!" teriak Gagah lagi. Bibirnya sudah semakin mengerucut."Anak baik, kalau menginginkan sesuatu harus memintanya dengan sopan." Dia mengusili Gagah yang menjadi marah, malah terlihat lucu dan menggemaskan.Sepertinya Gagah sudah mulai tidak sabar, dia melangkah lebih mendekati dan menyambar bola dari tangannya. Laki-laki itu pun sengaja membiarkan bola dengan mudah didapatkannya.Gagah langsung berlari menjauh, sambil membawa bola plastik dan sempat melirik kembali kepadanya yang sudah berdiri. Tangan kecilnya melambai sambil tersenyum. Dan dia tertegun ketika melihat senyumnya.Senyumnya! Mengingatkan dia pada seseorang, dia jadi tertegun untuk sesaat. Wajah anak itu seperti cermin dirinya sendiri. Tidak mungkin! Sangkalnya. Tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri.Dia sempat mengedarkan pandangan. Tidak mungkin seorang bocah sendirian di mall sebesar ini, tetapi tidak tampak ada tanda-tanda seseorang mendekatinya. Saat melihatnya lagi, ternyata Gagah sedang duduk manis di sebuah kursi. Di sekitar konter makanan cepat saji, karena memang mereka sedang berada di area food court. Seakan sedang menunggu seseorang. Anak pintar dan patuh, pikirnya. Segera berlalu. Tanpa merasa khawatir lagi yang sekilas sempat dirasakannya tadi. Pikiran dia, takut diracuni lagi oleh hal yang menurutnya tidak mungkin.Ganistra Yunatha yang biasa dipanggil Ganis, adalah ibu dari anak lucu itu. Segera keluar dari persembunyiannya, setelah yakin kalau laki-laki yang menahan bola anaknya tidak terlihat lagi."Mami ...." teriak Gagah, saat melihat Ganis menghampirinya."Gagah, Mami mencarimu. Lain kali, jangan berlari-lari di tempat seperti ini." tegurnya dengan nada lembut."Mami, bolana ang lali-lali ... aku halus takap!" Gagah berusaha membela diri. Tangannya ditangkupkan, seolah sedang menangkap bola."Hmm ... bolanya tidak punya kaki, ya? Dan kaki Gagah yang kecil ini, kalah kencang sama bola yang tidak punya kaki. Huh! Kalau Gagah mau menang, harusnya Gagah taruh bolanya di lapangan berumput, bukan di sini.""Iyaa, Mami. Bolana nda puna kaki, tapi bisa belali kecang!" celotehnya."Bola ajaib." komentar Ganis asal. Menanggapi pemikiran anaknya, secara praktis saja."Ndak adaib, Mami. Latai ini licin, ndak cepeti lumput."OMG!!! Kalau sudah begini, Ganis suka kehabisan akal untuk menjawab kalimat-kalimat cerdas anaknya. Padahal usia Gagah baru tiga tahun lebih, sekolah saja belum, tetapi mengenal huruf pun sudah tahu."Gagah mau ice cream ?" tanyanya, untuk mengalihkan perhatian. Akan tetapi, dijawab secara spontan oleh Gagah. Terlihat sangat antusias."Gagah mau es klim, Mami ....""Yuk, kita cari ice cream-nya."Gagah berjingkrak kegirangan, sambil berpegangan pada lengan maminya. Meloncat-loncat secara zig-zag. Ternyata, anak ini sudah melupakan kejadian tadi saat pertemuan dengan laki-laki yang menahan bolanya. Sebelum sempat menceritakan padanya.Hampir saja, pikir Ganis. Dunia ini memang sempit."Gagah mau es krim rasa apa?" tanya Ganis. Ketika mereka sudah duduk, mau memesan es krimnya."laca ... emm ... stobeli, sama laca ... emm ... cotlat!" serunya dengan mimik yang sangat menggemaskan.Tidak begitu lama, pesanan yang diharapkan sudah datang. cup kecil es krim itu penuh dengan topping warna-warni."Wow!" mata Gagah membulat. Terlihat gembira melihatnya.Sebelum menyuapkan es krim ke mulutnya, bocah cilik itu melihat dulu ke maminya. "Mami, napa ndak beli ec klimna?""Mama lagi gak enak perutnya, sayang. Udah, Gagah aja yang habisin es krimnya, ya?" "Mami cakit?" tanyanya sedikit menunjukan rasa khawatirannya. "pelica ke dotel, Mami." "Sakitnya Mami, gak harus diperiksa ke dokter, Gagah. Mami masih kuat seperti biasanya." jawab Ganis, sambil menyikukan lengannya seperti binaragawan. Membuat Gagah tertawa."Ayo! Dimakan es krimnya, keburu cair nanti."Gagah baru menyuapkan es krim ke mulutnya, setelah merasa yakin maminya tidak apa-apa. Ganis membiasakan untuk tidak selalu membantu anaknya makan, supaya mandiri. Ia lebih memilih mengelap bibir atau pipinya yang belepotan terkena makanan, karena tidak sepenuhnya masuk ke mulut kecilnya."Mami, tatut dicutik, ya? Ndak mau ke dotel." ternyata Gagah masih membahas soal sakitnya. Ia jadi menyesal telah membuat khawatir anaknya dengan memberi alasan yang sebenarnya asal saja. Tidak berpikir sama sekali akibatnya. Beginilah kalau punya anak pintar dan kritis. Tidak mudah untuk diyakinkan. "Danan tatut dicutik, Mami. Kan Mami biang, kaya di didit cemut lacana." Ganis jadi tersenyum dibuatnya."Mami juga gak pernah takut disuntik, Sayang. Dokter juga tidak sembarang kasih suntik ke yang sakit." ia kembali mengelap pipi gembil Gagah, dengan tisu."Abis! Mami." Gagah menggeser cup es krim, menjauhkan dari badannya. Banyak topping yang berceceran di meja, juga di lantai bawahnya. "Pemenna banak ang jatuh, Mami." Dia turun dari kursi kecilnya, melihat-lihat ke lantai.Ganis terpaksa turun dan menghampiri anaknya. "Jangan ambil yang sudah jatuh ke bawah, sudah tidak bersih lagi, Sayang." Lalu menarik tisu yang tadi diselipkan di dada Gagah. Sebelum tadi dia mulai makan es krim, agar tidak mengotori baju yang dipakainya. "Pulang, yuk!" ajak Ganis kemudian, yang diangguki oleh Si tampan ciliknya ini.Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b