Share

Lelakiku Sedingin Es
Lelakiku Sedingin Es
Penulis: Delly Marcha

Bab 1 Pertemuan Anak dan Bapaknya

Bola plastik itu menggelinding di area mall megah yang sedang banyak pengunjungnya, lalu bersarang di bawah kaki seseorang. Di belakangnya berlari seorang bocah laki-laki kecil sekitar tiga tahunan. sepertinya sedang mengejar bola itu.

Tubuhnya yang mungil, tampak bulat berisi, seperti bola yang di kejarnya. Wajah yang tampan, terlihat sangat menggemaskan.

Sementara di tempat lain lagi yang tidak begitu jauh dari sana, seorang perempuan cantik berambut panjang hendak mengejar anaknya yang bernama Gagah. Langkahnya terhenti seketika.

Deg! 

Ia mengenali siapa pemilik sepatu itu,  yang berdiri menjulang tinggi di hadapan anak laki-laki kecilnya. Dengan segera tubuh rampingnya menyelinap ke belakang sebuah pilar besar penopang bangunan mall, secara diam-diam. Dengan hati cemas, ia terus memperhatikan lokasi Gagah dan laki-laki tinggi itu berada.

Wajah Gagah terangkat, saat mengetahui bola miliknya tertahan di kaki seseorang yang tidak dikenalnya.

"Bolaku" tunjuk Gagah, mengarah pada sepatu lelaki itu. "Danan ijak bolaku." katanya lagi secara lantang. Sepertinya marah karena barang milik dia, ada di bawah sepatunya.

Namun, karena raut wajah ciliknya sangat tampan, mimik marahnya malah terlihat lucu.

Yang punya sepatu itu tersenyum, mulai tertarik dengan sikap beraninya.

"Bolamu baik-baik saja, kamu tidak usah marah." ucapnya dengan suara rendah. Kemudian dia mengambil bola dari bawah sepatu.

Dan entah kenapa, sepertinya dia ingin sejenak menahan bocah tampan yang lucu ini, padahal seumur hidup belum pernah bercengkrama dengan anak-anak. Dia tidak begitu menyukainya.

"Danan abil, itu punaku." tunjuk Gagah lagi pada bola yang dipegang lelaki itu. Suara cadelnya terdengar lucu.

Tubuh jangkungnya berjongkok, berusaha menyesuaikan dengan tinggi badan Gagah. "Kalau bola ini mau kembali, kamu harus memintanya." 

Mata Gagah membulat. "Nda mau! itu punaku." mulutnya mulai mengerucut, cemberut.

"Mintalah!" katanya. Semakin senang mengganggu. Kenapa anak ini, begitu menyita perhatiannya? Dia jadi bingung sendiri.

"Nda mauu ...!" teriak Gagah lagi. Bibirnya sudah semakin mengerucut.

"Anak baik, kalau menginginkan sesuatu harus memintanya dengan sopan." Dia mengusili Gagah yang menjadi marah, malah terlihat lucu dan menggemaskan.

Sepertinya Gagah sudah mulai tidak sabar, dia melangkah lebih mendekati dan menyambar bola dari tangannya. Laki-laki itu pun sengaja membiarkan bola dengan mudah didapatkannya.

Gagah langsung berlari menjauh, sambil membawa bola plastik dan sempat melirik kembali kepadanya yang sudah berdiri. Tangan kecilnya melambai sambil tersenyum. Dan dia tertegun ketika melihat senyumnya.

Senyumnya! Mengingatkan dia pada seseorang, dia jadi tertegun untuk sesaat. Wajah anak itu seperti cermin dirinya sendiri. Tidak mungkin! Sangkalnya. Tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri.

Dia sempat mengedarkan pandangan. Tidak mungkin seorang bocah sendirian di mall sebesar ini, tetapi tidak tampak ada tanda-tanda seseorang mendekatinya. Saat melihatnya lagi, ternyata Gagah sedang duduk manis di sebuah kursi. Di sekitar konter makanan cepat saji, karena memang mereka sedang berada di area food court. Seakan sedang menunggu seseorang. 

Anak pintar dan patuh, pikirnya. Segera berlalu. Tanpa merasa khawatir lagi yang sekilas sempat dirasakannya tadi. Pikiran dia, takut diracuni lagi oleh hal yang menurutnya tidak mungkin.

Ganistra Yunatha yang biasa dipanggil Ganis, adalah ibu dari anak lucu itu. Segera keluar dari persembunyiannya, setelah yakin kalau laki-laki yang menahan bola anaknya tidak terlihat lagi.

"Mami ...." teriak Gagah, saat melihat Ganis menghampirinya.

"Gagah, Mami mencarimu. Lain kali, jangan berlari-lari di tempat seperti ini." tegurnya dengan nada lembut.

"Mami, bolana ang lali-lali ... aku halus takap!" Gagah berusaha membela diri. Tangannya ditangkupkan, seolah sedang menangkap bola.

"Hmm ... bolanya tidak punya kaki, ya? Dan kaki Gagah yang kecil ini, kalah kencang sama bola yang tidak punya kaki. Huh! Kalau Gagah mau menang, harusnya Gagah taruh bolanya di lapangan berumput, bukan di sini."

"Iyaa, Mami. Bolana nda puna kaki, tapi bisa belali kecang!" celotehnya.

"Bola ajaib." komentar Ganis asal. Menanggapi pemikiran anaknya, secara praktis saja.

"Ndak adaib, Mami. Latai ini licin, ndak cepeti lumput."

OMG!!! Kalau sudah begini, Ganis suka kehabisan akal untuk menjawab kalimat-kalimat cerdas anaknya. Padahal usia Gagah baru tiga tahun lebih, sekolah saja belum, tetapi mengenal huruf pun sudah tahu.

"Gagah mau ice cream ?" tanyanya, untuk mengalihkan perhatian. Akan tetapi, dijawab secara spontan oleh Gagah. Terlihat sangat antusias.

"Gagah mau es klim, Mami ...."

"Yuk, kita cari ice cream-nya."

Gagah berjingkrak kegirangan, sambil berpegangan pada lengan maminya. Meloncat-loncat secara zig-zag. Ternyata, anak ini sudah melupakan kejadian tadi saat pertemuan dengan laki-laki yang menahan bolanya. Sebelum sempat menceritakan padanya.

Hampir saja, pikir Ganis. Dunia ini memang sempit.

"Gagah mau es krim rasa apa?" tanya Ganis. Ketika mereka sudah duduk, mau memesan es krimnya.

"laca ... emm ... stobeli, sama laca ... emm ... cotlat!" serunya dengan mimik yang sangat menggemaskan.

Tidak begitu lama, pesanan yang diharapkan sudah datang. cup kecil es krim itu penuh dengan topping warna-warni.

"Wow!" mata Gagah membulat. Terlihat gembira melihatnya.

Sebelum menyuapkan es krim ke mulutnya, bocah cilik itu melihat dulu ke maminya. "Mami, napa ndak beli ec klimna?"

"Mama lagi gak enak perutnya, sayang. Udah, Gagah aja yang habisin es krimnya, ya?" 

"Mami cakit?" tanyanya sedikit menunjukan rasa khawatirannya. "pelica ke dotel, Mami." 

"Sakitnya Mami, gak harus diperiksa ke dokter, Gagah. Mami masih kuat seperti biasanya." jawab Ganis, sambil menyikukan lengannya seperti binaragawan. Membuat Gagah tertawa.

"Ayo! Dimakan es krimnya, keburu cair nanti."

Gagah baru menyuapkan es krim ke mulutnya, setelah merasa yakin maminya tidak apa-apa. 

Ganis membiasakan untuk tidak selalu membantu anaknya makan, supaya mandiri. Ia lebih memilih mengelap bibir atau pipinya yang belepotan terkena makanan, karena tidak sepenuhnya masuk ke mulut kecilnya.

"Mami, tatut dicutik, ya? Ndak mau ke dotel." ternyata Gagah masih membahas soal sakitnya. 

Ia jadi menyesal telah membuat khawatir anaknya dengan memberi alasan yang sebenarnya asal saja. Tidak berpikir sama sekali akibatnya. Beginilah kalau punya anak pintar dan kritis. Tidak mudah untuk diyakinkan. 

"Danan tatut dicutik, Mami. Kan Mami biang, kaya di didit cemut lacana." Ganis jadi tersenyum dibuatnya.

"Mami juga gak pernah takut disuntik, Sayang. Dokter juga tidak sembarang kasih suntik ke yang sakit." ia kembali mengelap pipi gembil Gagah, dengan tisu.

"Abis! Mami." Gagah menggeser cup es krim, menjauhkan dari badannya. Banyak topping yang berceceran di meja, juga di lantai bawahnya. "Pemenna banak ang jatuh, Mami." Dia turun dari kursi kecilnya, melihat-lihat ke lantai.

Ganis terpaksa turun dan menghampiri anaknya. "Jangan ambil yang sudah jatuh ke bawah, sudah tidak bersih lagi, Sayang." Lalu menarik tisu yang tadi diselipkan di dada Gagah. Sebelum tadi dia mulai makan es krim, agar tidak mengotori baju yang dipakainya. 

"Pulang, yuk!" ajak Ganis kemudian, yang diangguki oleh Si tampan ciliknya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status