Tekad kuat kepindahan Ganis dari Yogyakarta ke Jakarta, karena sudah diterima bekerja di perusahaan kontraktor PT Multi Karya tbk. Sebuah perusahaan yang sedang berkembang, walau belum dikatakan jadi besar, tapi prospeknya cukup menjanjikan.
Mila teman satu kelas saat kuliahnya dulu, yang memberitahukan ada lowongan kerja di perusahaan di mana ia bekerja. Mereka sangat membutuhkan seorang desain interior yang sesuai dengan keahliannya, setelah menimba ilmu dengan susah payah selama ini. Ganis tidak ingin untuk terus jadi penata dekorasi di sebuah EO. Selain gajinya yang tidak begitu besar, meski hampir mirip-mirip, ia merasa itu bukan bidangnya.Pertama masuk kerja, Ganis diperkenalkan pada CEO yang bernama Felix. Seorang yang masih muda, tampan dan punya kharisma. Ia disambut dengan senyum ramahnya, sama sekali tidak ada kesan seramnya. Seperti biasa ia temui, bila berhadapan dengan para petinggi perusahaan. Felix membawanya ke sebuah ruangan besar, dengan orang-orang yang memiliki meja kerjanya masing-masing. Di tengah-tengahnya ada meja panjang, mungkin untuk rapat kecil yang mereka adakan setiap harinya.Felix memperkenalkan Ganis kepada mereka. Tidak ada yang ia kenal, kecuali satu orang, yaitu Mila. Mila langsung memeluknya. "Selamat bergabung dengan kita, Nis." ucapnya dengan senyuman yang tampil di wajahnya yang memang manis."Terima kasih, Mil. Berkat kamu, aku diterima bekerja di perusahaan ini.""Karena aku membutuhkan teman, Nis. Aku sudah keteteran mengerjakan tugas proyek yang seabrek, jadi aku merayu Felix untuk segera menerima lamaran kerja kamu." liriknya pada Felix dengan senyumnya.Kemudian Mila mengurai pelukan sahabatnya itu, lalu menatap wajahnya dengan perasaan kagum. "Kamu terlihat semakin cantik, Nis." sorot matanya menilai-nilai, karena sudah dua tahun tidak bertemu. Sejak menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta, mereka belum bertemu kembali."Terima kasih, Mil. Telah mengingatku." Wajah cantik Ganis, menunjukan rasa terima kasih yang tak terkira, membuat Mila kembali tersenyum."Sama-sama, Nis. Karena kamu adalah sahabat terbaikku." Mila menggandeng Ganis. "Aku akan memperkenalkan kamu pada para ahli di sini." Ia membawanya berkeliling untuk mendatangi setiap meja. Memperkenalkan Ganis, ke rekan-rekan yang ada di ruangan itu.Satu per satu Ganis menyalaminya. Wajah-wajah yang sangat ramah, mungkin sekitar tujuh orang, tidak begitu banyak."Saya, Aldy. Selamat bergabung di Divisi Site Engineer, tempat berkumpulnya para desainer perusahaan." Aldy berdiri. "Ada tiga orang arsitektur bangunan, satu orang arsitektur lanskap, surveyor dan arsitektur interior yang tiada lain adalah temanmu, Mila." tunjuknya kepada orang-orang yang disebutkan profesinya. "Jangan takut kepada wajah-wajah seram mereka. Mila yang satu-satunya wanita di sini saja, merasa aman dan sentosa." gurau Aldy dengan wajah jenakanya. Semua tersenyum, tidak aneh dengan orang yang satu ini."Lo, gak pernah buang-buang kesempatan, ya, Al? Ingat aja sama bini lo yang di rumah." seloroh Felix, sambil menyenderkan bokongnya di meja panjang itu"Di sini gue bujangan, di rumah laen lagi. Lo, gak perlu ribut-ribut gitulah, Fe." kilahnya sambil terkekeh."Udah deh, kalian kalau udah bercanda gini, gak bakalan ada selesainya." Mila mengingatkan mereka. "Ayo, Nis. Ini mejamu, di sebelahku." ia menarik Ganis, ke meja yang masih kosong."Terima kasih, Mil." tatapnya pada Mila, kemudian kepada semua yang ada di ruangan itu."Terima kasih atas penerimaan yang baik kepada saya, semoga saya tidak mengecewakan. Mohon kerjasama dan bimbingannya." Sedikit membungkukkan tubuhnya, Ganis tersenyum, lalu duduk di samping Mila.Felix menatapnya, merasa ada yang menarik di diri wanita itu. Bukan karena kecantikannya saja, tetapi dia menangkap sesuatu hal lain yang bagi dirinya sendiri belum tahu apa itu."Ya sudah, kita telah menambah tenaga baru kita di desain interior. Semoga Ibu Ganis betah kerjanya di sini, dan kalau butuh bantuan pasti kita pun akan siap membantu. Selamat bekerja, Bu Ganis." kata Felix dengan sopan, sebelum berlalu dari ruangan.Suasana kembali sepi, Mila sedang menjelaskan kepada Ganis, soal pekerjaannya."Jadi ini Mil, yang di ceritakan itu?" Seorang lelaki yang baru datang ke ruangan, menghampiri Ganis, sambil mengulurkan tangan. Lumayan ganteng, berkulit agak gelap dengan tinggi sedang. Tidak seperti Felix yang seperti tiang listrik, saking tinggi dan kurusnya.Mila langsung menoleh pada sumber suara itu. "Iya, Bram. Perkenalkan temanku Ganistra Yunatha, biasa di panggil Ganis." jawabnya ceria.Ganis menyambut uluran tangannya dengan senyuman di bibir. "Bram" terdengar suara Bass-nya. "Semoga betah, ya?" Ganis menganggukan kepalanya. "Terima kasih. Saya akan berusaha bekerja dengan baik." ucapnya.Bram melangkah menuju meja kerjanya yang berada di samping Aldy, tanpa banyak basa-basi lagi."Perusahaan kita belum bisa dikatakan hebat, Nis. Seperti perusahaan lain yang sudah terlebih dahulu bergerak dalam bidang ini. Namun, proyek yang kita pegang sudah lumayan banyak, jadi siap-siap saja kedepannya kita akan sibuk. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik." Mila kembali melanjutkan penjelasannya yang sempat terjeda tadi, karena kedatangan Bram.Mata Ganis berbinar. Ia merasa senang, karena bisa langsung diberi kepercayaan oleh Mila. Mereka akan melakukan tugas secara bersama-sama."Kamu sudah lebih berpengalaman, Mil. Tolong bantu aku, ya?""Untuk orang sepintar kamu, aku tidak merasa khawatir, Nis. Kamu pasti bisa.""Aku dengar dari Mila, kalau kamu lulus dengan nilai cum laude, ya?" tanya Bram.Ganis meliriknya, "Duh, Pak Bram. Kemakan iklan Mila, jadinya." jawab Ganis sambil tertawa."Tapi itu memang kenyataan, makanya aku berani merekomendasikan nama Ganis ke perusahaan." jawab Mila, sambil memberikan sebundel dokumen kepadanya. "Kamu bisa mempelajari ini dulu, Nis. Sebelum rapat kecil kita nanti" ucap Mila, mengedipkan sebelah matanya.Aldy berdecak, "Katanya temen, tapi baru saja masuk sudah diberi sebundel dokumen gitu. Temen apa temen nih?" Mila mendelikkan matanya ke arah Aldy. "Sudah sebulan ini sejak Reno resign, aku bekerja sendirian. Wajar saja bila pekerjaanku jadi menumpuk. Beruntung Felix mendengarkan keluhanku, untuk mendapatkan penggantinya." Aldy malah terkekeh, senang mengganggu Mila. Setahu Ganis, Mila belum menikah. Dulu semasih kuliah sempat berpacaran dengan seorang laki-laki. Sempat bertemu beberapa kali, tetapi setelah berpisah lama, tidak tahu lagi khabarnya bagaimana. Mila tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal pacarnya itu. Dan mengenai pernikahan Ganis sendiri, tidak pernah diberitahukannya kepada Mila. Entahlah, Ganis merasa pernikahan yang dilakukan karena keluarga itu, tidak perlu digembar-gemborkan.Ganis mulai merasa nyaman di hari pertama ia bekerja, walaupun langsung disuguhi dengan pekerjaan yang cukup penyita perhatiannya. Tidak menjadikannya patah semangat, karena memiliki team yang sangat handal di bidangnya masing-masing.Seminggu berlalu, ia semakin akrab dengan rekan-rekan kerjanya. Mulai mengenal pribadi dari masing-masing orangnya. Seperti Aldy yang tukang bercanda, tapi sangat serius bila sedang bekerja. Bram yang agak pendiam, tapi sangat perhatian bila ia butuh pendapatnya dan Mila cukup andal, sangat terlihat profesional melakukan tugasnya. Begitupun dengan Felix yang sering bergabung dalam rapat-rapat kecil yang diadakan dalam team mereka setiap hari.Karena Felix juga merangkap jadi salah satu arsitek bangunan, bila benar-benar di butuhkan bantuannya. Mereka adalah empat serangkai dalam persahabatan, sejak sama-sama menimba ilmu di bangku kuliah.Felix, Aldy, Bram dan satu lagi, yaitu Direktur Utama di perusahaan itu. Yang belum muncul. (Sengaja author sembunyikan ... biar Ganisnya seneng-seneng dulu.)"Nis, sepertinya Felix agak menaruh perhatian lebih loh sama kamu." bisik Mila setelah rapat. Disaat ruangan kosong, sambil membereskan kertas-kertas kerjanya."Kamu selalu berkhayal dari dulu, seolah laki-laki selalu tertarik padaku, kenyataannya tidak, kan?" ucap Ganis datar. "Kamu yang tidak berubah dari dulu, sikap dingin itu yang membuat laki-laki di sekelilingmu jadi penasaran. Namun, tak seorangpun yang dapat perhatian lebih darimu. Kenapa sih, Nis? Emang kamu tidak pernah merasa tertarik gitu? Jangan-jangan kamu gak normal lagi." Mila menatapnya dengan heran."Ish! Aku normallah, aku 100% perempuan. Hanya waktu itu, aku terlalu fokus sama kuliah, hingga tidak sempat untuk memikirkan hal lainnya." kelit Ganis."Satu tahun kamu sempat cuti kuliah dan akhirnya ketemu aku di kelas. Sebenernya aku ingin tanya dari dulu, kenapa kamu ambil cuti waktu itu? Tapi aku merasa belum berani menanyakannya." Benar saja, Ganis sepertinya enggan untuk menjawabnya.Mila telah berdiri untuk bersiap-siap pergi. Sudah tiba dijam istirahat."Waktu itu, aku lagi ada masalah, Mil. Namun, aku belum bisa menceritakannya padamu." ungkap Ganis serius."Maafkan aku yang kepo ini ya, Nis. Bukan bermaksud untuk mau mencampuri urusan pribadimu, hanya aku agak penasaran sama sikapmu yang agak misterius itu.""Misterius, Kamu bilang?" Ganis malah tertawa."Tanpa kamu sadari, orang-orang yang ada di dekatmu menganggapnya begitu. Kamu penuh misteri." Mila ikut tertawa jadinya."Aku sendiri merasa biasa-biasa saja, Mil." Ganis keluar dari ruangan dan Mila mensejajarkan langkahnya. "Karena kamu cantik, Nis. Hanya tifak ada yang bisa mendekatimu, karena sikapmu itu." "Kamu juga cantik, Mil. Em ... bagaimana hubunganmu dengan cowok yang waktu itu jadi pacarmu? Aku tidak dengar lagi namanya disebut." tanya Ganis, balik bertanya."Tidak berlanjut, Nis. Dia ke luar negri. Tepatnya ke Jepang, untuk mengejar kariernya di sana. Awal-awal masih memberi kabar, tapi kemudian semakin jarang. Hubungan pun jadi semakin dingin dan akhirnya, aku memutuskan untuk berpisah. Tidak ada keberatan dari pihaknya. Jadi, ya, sudah. Berakhir dengan begitu saja.""Dan belum berpacaran lagi sampai sekarang?" tanya Ganis mulai berani mengorek pribadi temannya ini."Nah mulai kepo kan?" Mila menatapnya jenaka, kemudian menyambung kalimatnya lagi. "Kita ini memang cukup aneh, bersahabat tapi tidak pernah mengungkapkan tentang masalah pribadi kita. Aku sendiri merasa takut untuk bertanya padamu, mungkin kamu juga begitu."Itu artinya, kita terlalu menenggang perasaan kita masing-masing, Mil. Yang penting hubungan kita tetap baik.""Bener, Nis. Mulai sekarang kita tidak harus sungkan lagi, karena kita sudah dalam satu team pekerjaan.""Kamu sahabat yang sangat baik, Mil. Aku sangat menghargai persahabatan kita ini." Mereka saling menatap sesaat, kemudian sama-sama tersenyum. "Kita akan makan di mana nih?" tanya Ganis."Seperti biasalah. Biar hanya warung nasi, tapi tempatnya bersih dan gak bikin bolong kantong kita." tawa Mila. Menggandeng tangan Ganis, menuju warung nasi yang tidak begitu jauh dari perusahaan tempat mereka bekerja. Selama makan, mereka terus mengobrol dengan asiknya."Perlu kamu tahu, Nis. Kalau Direktur Utama kita, sedang bertugas di luar kota. Jadi, kamu belum bertemu dengannya. Pasti kamu akan melihatnya nanti. Aku tidak akan menjelaskan sekarang gimana orangnya, kamu nilai aja sendiri nanti.""Wah, emang kenapa orangnya?" Ganis malah jadi penasaran."Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata." ungkapnya tersenyum penuh misteri. "Namun, perlu kujelaskan juga, kalau perusahaan ini terbentuk dari persahabatan antara Derektur Utama dan Felix sebagai CEO-nya. Aldy juga Bram, mereka berempat berteman sejak kuliah.""Oh." Ganis baru tahu."Perusahaan ini baru berjalan kurang lebih tiga tahun, Nis. Perkembangannya cukup pesat, sudah menangani beberapa proyek besar, di antaranya dua proyek yang sedang kita kerjakan itu.""Aku tambah semangat jadinya, desainku sudah hampir jadi. Aku siap mempresentasikannya nanti, yang lainnya baru berupa konsep saja.""Mantap! Aku lihat juga bagus, Nis. Semoga Dirut kita nanti bisa menerima ide-ide brilian kamu.""Kritis juga, ya? penilaian Dirut kita itu.""Kamu siapkan mental aja, sangat tidak mudah untuk meyakinkannya."Ganis hanya termenung, 'Sesulit itukah?' tanyanya, dalam benak yang tak terungkap.Ah! Sendainya Ganis bisa meramal, apa yang terjadi di kemudian hari. Mungkin ia akan lari sejauh mungkin, sebelum terjadi.Siapakah Direktur Utama itu?Ganis tidak begitu memikirkan kata-kata Mila soal Direktur Utama itu. Baginya yang penting, ia bekerja dengan sangat baik. Bisa menuangkan ide kreatifnya, sesuai dengan yang diinginkan oleh kliennya.Sudah beberapa kali ia survey ke lapangan. Kadang di temani Mila, untuk mencari mebel yang sesuai dengan konsep gambarnya."Mil, sepertinya barang-barang mebel di sini lebih tinggi harganya dibanding di Yogya. Aku punya teman di sana, dia pengrajin mebel yang hasil kerjanya bagus dan bisa dipercaya." katanya kepada Mila, setelah keluar dari toko mebel yang cukup besar."Itu pasti, Nis. Aku sudah bekerja sama dengan beberapa pengrajin di daerah, dengan pikiran harganya lebih murah dan kita bisa pesan sesuai konsep kita. Namun, kadang terkendala sama waktu dan modal mereka yang tidak begitu memadai. Sehingga, kadang menghambat pekerjaan kita, karena barang yang kita inginkan belum tersedia tepat pada waktunya. Aku sudah mengalaminya beberapa kali. Jadi, aku lebih memilih ambil dari toko wal
Sepeninggal Felix dan pintu tertutup, Ganis tetap berdiri menunggu dipersilahkan untuk duduk. Wajah cantiknya terlihat datar, tidak ingin menunjukan ekspresi apapun. "Duduklah." Prana mempersilahkannya dengan nada dingin.Ganis duduk, tidak peduli dengan Prana yang tidak mau melepaskan tatapannya sedetikpun. "Kamu bekerja di sini?" tanyanya. Sorot mata Ganis tanpak tajam, menatap orang di hadapannya ini. "Anda lihat sendiri sekarang." jawabnya ketus. Ia bertekad tidak mau terintimidasi lagi oleh sikap dinginnya.Cukup sudah sikap Ganis yang selalu patuh, mengatakan 'ya' dan selalu mengikuti apa maunya tanpa banyak protes.Mata Prana sedikit menyipit, wanita yang empat tahun lalu sepertinya sudah benar-benar menghilang. Pribadinya yang manis, tenggelam di balik matanya yang cukup menusuk jantung. Dia masih terluka karena pengkhianatannya. Rasa sakit, masih bercokol lekat di hatinya.Prana menggeram, terlihat dari kedutan rahangnya yang terlihat kokoh. "Seharusnya kau tidak bekerja d
Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang. Bagaimanapun, pikirnya. Ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini. Yang manja, yang kolokkan dan sangat naif, hingga semua orang dianggapnya baik.Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah tampak segar lagi. Meski kesembaban matanya, tidak begitu dapat ia tutupi."Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" Tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis, begitu melihat wanita itu masuk ke ruangan rapat bersama Mila."Aku memang agak kurang enak badan hari ini, tapi tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pusing tadi, sebelum ke sini." dustanya. Felix menatapnya menyelidik. Wajahnya memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi."Kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat saja. Tidak perlu ikut rapat hari ini. Aku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini." "Kamu mau melewatkanku, untuk menunjukan kemampuanku pada Dir
"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu."Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas."Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu."Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat
Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya."Mami." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka diperlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian."Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanya Ganis, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya."Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya, dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil."Anak Mami yang baik."
Setengah berlari, Ganis memasuki kantornya. Tetap saja telat lima belas menit, ketika ia tiba di meja kerjanya."Tumben telat, Nis." kata Mila."Iya, nih. Aku kesiangan bangunnya, semalam susah tidur.""Mikirin apa, hayo .... " canda Mila."Gak mikirin apa-apa, sih. Lagi susah tidur aja." dustanya."Tadi Felix ke sini. Nyariin kamu, tapi kamunya belum datang." ujar Mila memberitahunya. "Cuma mau bilang, katanya dia ada tugas ke luar kota dan tadi buru-buru, langsung menuju ke bandara.""Oh.""Hanya itu?" tanya Mila, menatapnya dengan jenaka."Maksudnya?" tanya balik Ganis."Kok hanya 'oh' doang.""Yah, aku harus ngomong apalagi, Mil?" balasnya, sambil terkekeh."Sepertinya Felix bermaksud serius, Nis,""Aku belum kepikiran ke situ, Mil. Aku ingin serius dulu di kerjaan.""Tapi kamu bisa mempertimbangkannya, Nis. Felix orangnya baik dan bukan laki-laki yang sembarang juga."Ganis kembali terkekeh. "Kamu dorong-dorong aku untuk dekat dengan cowok, sementara kamu sendiri masih jomblo.""
Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." kelakarnya, sambil memperlihatkan senyumnya."Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.Sebenarnya itu memang terjadi, tetapi ia yakin Mila akan menganggap itu tidak mungkin benar-benar terjadi."Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun berkumanang, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.Aldy tampak lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tidak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.Sementara Bram tetap tidak acuh, diam di meja sebelahnya seperti biasa.Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku sudah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesu
Selama tiga hari, Prana tidak pernah memintanya lagi untuk datang ke ruangannya. Membuat Ganis tersenyum puas. Kapokkah laki-laki itu setelah ditamparnya dengan keras? Mungkin, lebih kemelukai harga dirinya yang membuat dia merasa marah. Siapa coba, yang berani berbuat sekasar itu padanya?Namun, hari ini Ganis harus menelan air liurnya. Saat Prana datang, langsung ke mejanya. "Ikut denganku." ajaknya datar, tanpa basa-basi.Semua mata, tertuju pada tubuh tegap itu. Ada apa dengan Prana? Padahal tinggal mengangkat telepon saja, bila ingin meminta salah satu karyawannya untuk menemani dia pergi."Ada urusan apa, ya? Pak Prana mengajak saya pergi." tanya Ganis, enggan."Tentu saja, urusan pekerjaan." jawabnya, dingin."Ada Mila yang lebih berkompeten, Pak." liriknya pada Mila, yang sedikit terkejut, atas saran yang diajukannya."Kalau kamu menolak pekerjaanmu, jangan terus bekerja di sini." kemudian dia membalikkan badan dan pergi."Nis, jangan mempersulit dirimu sendiri." saran Mila.