Sekretaris Prana, Siscka. Memasuki ruang kantor, untuk memberitahukan jadwal keberangkatan ke Timika. "Bapak kan, mintanya yang langsung dari Jakarta ke Timika tanpa transit. Itu ada, Pak. Tapi perginya tengah malam dan sampainya pagi." kata Siscka menjelaskan. "Boleh, itu ambil. Pesankan tiketnya." jawabnya singkat. "Baik, Pak. Saya akan urus secepatnya." Siscka meninggalkan ruangan.. Prana memang suka bersikap seperlunya. Tidak pernah banyak bicara, to the point, dan sangat disiplin. Dari itu sebagai sekretarisnya, Siscka bekerja dengan patuh tidak ada peluang untuk bersikap lebih. Bahkan tubuhnya yang bohay saja, tidak membuat Prana bergeming. Tetap dingin dan tidak tersentuh.Ganis, Aldy, Bram dan beberapa yang lain, sudah diberitahukan mengenai jadwal keberangkatan mereka. Menjelang tengah malam, mereka harus sudah bersiap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sementara Felix ngotot untuk menjemput Ganis, dua jam sebelum jadwal keberangkatan. Jadilah Ganis di antar Felix
Mereka sudah sampai di pintu gerbang Komplek Kuala Kencana. Ada pemeriksaan yang ketat, oleh petugas keamanan di checkpoint perbatasan Timika Kuala-Kencana. Di depan ada gapura dan taman instalansi ucapan selamat datang, yang di rancang dengan sangat indah. Tampak patung-patung kayu khas etnik Papua, berdiri kokoh menambah jati diri wilayahnya. Jalanan lebar beraspal sempurna, dengan di samping terhampar luas hutan hujan tropis yang memikat pandangan mata. Lingkungan yang sangat bersih terawat dengan baik, dengan tatanan lingkup perumahan yang sangat tertata dengan rapi. Ganis tidak melepaskan pandangannya pada sekitar. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, dalam diam tanpa pertanyaan. Hingga tiba di sebuah rumah elit yang berderet rapi. Tidak berdempetan, tetapi ada halaman di samping kiri-kanan dan di depannya. Dengan model bangunan yang sama, begitupun dengan cat rumahnya. Ketika turun, mereka disambut langsung oleh pak Bob Peter Obie bersama beberapa orang lainnya. Dengan
Dalam ruangan gelap, kedua orang terdiam untuk sesaat. Hanya terdengar detak jantung mereka.Setelah dirasa tubuh Ganis melentur tidak tegang lagi, secara perlahan Prana melepaskan bekapan di mulutnya.Ganis segera membalikkan tubuh. Ingin benar-benar memastikan kalau orang yang dihadapannya ini, adalah Prana.Walau dalam gelap Ganis dapat mengenali, terutama saat mencium aroma tubuhnya."Mengapa kamu ada di sini?" bisiknya."Sepertinya sama denganmu, haus." jawab Prana."Aku mau balik lagi ke kamarku." Ia bermaksud mau pergi lagi, tetapi tangannya segera dicekal oleh Prana."Ke kamarku atau ke kamarmu?" bisik Prana dengan nada menggoda."Jangan mimpi!" semprotnya sewot."Kamu sudah menggodaku di depan semua orang di meja makan tadi siang, mau menyangkalnya?" "Aku sama sekali tidak bermaksud menggodamu." elaknya, "aku hanya terbawa candaan Aldy. Jangan berpikiran lebih.""Sifat penggodamu sudah mendarah daging, ya?" Cengkraman tangan Prana terasa lebih kuat, membuat Ganis ingin melep
"Kita akan ke mana?" tanya Ganis mulai waspada."Nanti kamu akan tahu." jawab Prana. Tidak mau panjang menjelaskan."Aku tidak mau kejadian di Puncak itu terulang. Kamu harus jelaskan ke mana kita akan pergi." desaknya.Tiba-tiba Prana tertawa. "Kejadian yang sangat menyakitkan." ujarnya, masih dalam nada tawa."Katanya menyakitkan, tapi kamu malah tertawa." cibir Ganis."Aku menertawakan kebodohanku, yang dengan mudah dipermainkan oleh mahluk penggoda seperti kamu." Prana menghentikan tawa. "Toh kamu sangat pandai, Nis. Membawa seseorang ke puncak, lalu menerjunkannya tanpa belas kasihan." Prana meliriknya sekilas. Ada kilat api di mata dia."Mempermainkan? Aneh. Kamu yang berlaku seenaknya, jelaslah aku tidak mau diperlakukan seperti itu." balas Ganis ketus.Prana terdiam. Apakah kata-kata barusan, mampu menohok tepat di hatinya?"Kita akan ke Nabire, tidak begitu jauh dari sini. Ada sungai yang sangat indah, dengan aliran air yang jernih. Nama sungainya, Mayon. Aku pernah pergi ke
Ciuman Prana yang semakin panas, disertai dengan guyuran air hujan yang masih menderas. Menciptakan suatu gambaran antara hasrat dan kesedihan.Ia merasakan lagi gairah Prana yang meningkat lebih tinggi. Namun, dirinya masih merasa gamang. Kalau tidak ada pertimbangan dari pihaknya, tentu saja Ganis akan membalas dengan sikap yang sama. Bagaimanapun ia masih mengagumi tubuh yang terpahat sangat sempurna di hadapannya ini. Apalagi dirinya dan Prana pernah merasakan, bagaimana memadu kasih tanpa beban. Hingga percintaan itu begitu indah. Setiap jengkal tubuh Prana adalah jalan bagi sentuhan-sentuhan erotisnya. Ganis sungguh-sungguh mengenali dan tidak mungkin melupakan.Prana menatapnya dengan iris yang menggelap, Ganis sangat paham tatapan itu. Biasanya ia tidak akan segan menyambut isyarat itu dengan antusias.Namun, yang ia lakukan malah memeluk tubuh suaminya. Seakan ingin meredam gejolak dalam dada yang semakin menggelora.Ganis merasakan tubuh menggigil karena kedinginan, padahal
Pagi sekali Ganis sudah terbangun. Badannya agak kurang enak, saat ia duduk dan menggeliatkan tubuh. Namun, bersyukur dalam waktu yang lama kena air hujan kemarin, ia tidak jatuh sakit. Berkat balutan selimut dari Prana dan segelas susu hangat yang diminum sebelum tidur.Ganis memilih pakaian untuk menghadiri acara peletakan batu pertama. Untungnya, ia membawa satu stel baju resmi. Berhubung bukan di tempat tertutup, jadi Ganis memilih celana panjang dibanding rok span.Setelah mandi dan mematut diri, Ganis bergabung dengan tim kerja di meja makan untuk sarapan. Tubuh yang ramping dan wajah yang terlihat segar, membuat semua mata mengaguminya. Yah, karena hanya Ganis satu-satunya perempuan yang ada di tim kerja mereka. Jadi, tentu saja ia yang paling cantik diantara semuanya. "Duh ... yang mau pulang hari ini, terlihat segar sekali" kata Aldy. Memulai paginya dengan mencandai Ganis."Iya, Al. Mungkin nanti aku akan kembali lagi, kalau hotel sudah terbangun dan butuh sentuhan interio
Ganis kembali masuk kantor. Membagikan oleh-oleh baju batik khas Papua, ke teman-teman yang ada di ruang kerja. Felix juga tampak ikut bergabung dengan mereka. "Tadinya aku berharap dapat oleh-oleh Koteka, Nis." candanya sambil tertawa. Ganis ikut tertawa menanggapi. "Tidak terpikirkan untuk membawa barang itu. Takut terkena razia pornografi." balasnya dengan candaan juga."Buat mereka, itu merupakan pakaian adat, yang dikenakan oleh para prianya." sambung Mila, ikut bergabung dalam obrolan."Terima kasih, Nis. Oleh-olehnya." kata Felix. Menatap Ganis dan dapat membaca jelas arti tatapan itu. Felix merindukannya."Maaf. Aku tidak punya banyak waktu untuk memilih barang-barang souvenirnya, karena waktu yang sangat mepet.""Ini juga sudah sangat berterima kasih, Nis. Kamu ingat sama kita." ujar Mila. "Tanpa kamu, ruangan ini terasa sepi." tambahnya. Ganis tersenyum sama sahabat terbaiknya itu. Karena sudah mulai jam kerja, mereka kembali ke meja masing-masing.Sebelum berlalu, Felix
Prana berdiam diri di kantor, dengan banyak kecamuk di hati dan pikiran. Betapa susah membujuk Ganis untuk kembali padanya. Padahal dia sudah berusaha merendahkan diri dengan menyatakan kalau akan melupakan segalanya dan memulai hidup baru.Apa sebenarnya yang jadi keberatan mendasar bagi Ganis? Jelas-jelas kalau soal hubungan fisik, mereka sama-sama memiliki gairah sama tingginya. Menunjukan, kalau mereka masih saling menyukai.Prana masih merasa marah saat Ganis menolak pemberiannya, mutiara itu sengaja dia pesan khusus untuk Ganis. Berarti wanita itu masih menganggapnya orang lain? Itulah, kenapa dia mendiamkan Ganis, supaya mau tidak mau mengambil mutiara pemberiannya itu.Disisi lain, Prana selalu ingin melihat Ganis. Selalu merindukan, meski ada di dekatnya. Apakah dia harus membuka ke semua orang bahwa Ganis adalah istrinya? Supaya Ganis tidak punya alasan lagi untuk mengelak kembali kepadanya? Dan menghentikan usaha Felix yang terus mendekati Ganis, tanpa mau menyerah.Prana