"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu.
"Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas.
"Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.
Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu.
"Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat!" katanya, tidak menyerah.
Ganis jadi tergugu dengan sikap sahabatnya ini, melebarkan senyumnya. "Terima kasih, Mil." ungkapnya tulus, yang diangguki oleh Mila.
Selanjutnya, mereka kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Saat jam pulang, Felix masuk ke ruangan, menghampiri meja Ganis.
"Nis, setelah pulang ada acara, tidak?" tanyanya, memperhatikan Ganis yang sedang membereskan meja kerja.
Ganis yang masih duduk, mendongakkan wajahnya untuk melihat Felix. Terkesan seperti sedang melihat tiang listrik, saking tingginya juga tubuh kurusnya. "Ada, Pak. Saya biasanya sepulang kerja selalu bobok cantik karena sudah lelah. Jadi, tidak sempat untuk memikirkan acara lainnya." canda Ganis.
Ia sebenarnya tahu maksud Felix, tetapi untuk menolaknya pun merasa tidak tega. Ia candai saja.
Terdengar kekehan dari meja sebelahnya.
"Belum apa-apa sudah tidak punya peluang, kasian lo, Fe." ledek Aldy.
Disusul gelak tawa dari Mila, yang sama-sama sudah siap pulang. "Jangan menyerah, Fe. Siapa tahu, besok-besok Ganis mau merelakan bobok cantiknya, untuk menemanimu makan malam."
Wajah Felix jadi agak memerah, dicandai seperti itu. "Diam lo, Al! Urus aja istri ma anak lo. Jangan suka ikut campur urusan gue, yang masih bujangan."
"Dih! Bujangan jidat, lo." seloroh Aldy makin jadi.
"Plis! dukung aku, dong." liriknya pada Mila. "ikut bujukin Ganis, Mil. Kan, kamu sahabatnya."
Mila mengedikkan bahunya. "Yee ... siapa juga yang punya urusan." katanya pura-pura cuek.
Kembali pandangan Felix ke Ganis. Wanita itu sudah berdiri, menyampirkan tali tas ke bahunya.
"Aku anter pulang aja ya, Nis?" tanyanya belum menyerah. Ganis hanya tersenyum.
"Iyakan saja, Nis. Toh hanya dianter pulang." kata Mila, sambil menggandeng Ganis menuju pintu keluar ruangan.
"Alot banget tekad lo, Fe. Udah lama gue gak lihat lo pepet cewek, sampai sebegitunya." Aldy kembali bersuara.
Laki-laki itu membulatkan matanya, pada Aldy. "Diem aja, lo!" Lalu mengejar langkah kedua wanita yang sudah agak jauh berjalan di depannya.
Saat sudah di lantai satu, Felix meraih tangannya. "Ikut denganku, Nis. Tidak ada alasan lagi." katanya, setengah memaksa.
Mila hanya mengerutkan dahinya, heran. Melihat tingkah Felix seperti itu.
Sejak mengenal Felix, Mila belum pernah melihatnya seterbuka itu menunjukan ketertarikannya pada seorang perempuan. Biasanya sikapnya tenang dan penuh wibawa. Bisa dibilang, soal pasangan Felix agak pemilih. Namun, ketertarikannya kepada Ganis ini, sudah ditunjukannya sejak awal.
Felix selalu berusaha menemui Ganis dengan berbagai alasan yang dibuatnya.
Saat tiba di tempat parkir, mereka bertemu dengan Prana. Lelaki itu kembali melihat tangan Ganis yang ada dalam genggaman Felix. Secara refleks Ganis melepaskan tangannya, tetapi terlambat karena bibir Prana sudah membentuk senyuman yang penuh kesinisan. Tatapan dingin sekilas padanya, mampu membekukan seluruh tubuhnya.
Felix terdiam. Ia bingung, kenapa wajah Prana sesuram itu? Sedingin apapun sikapnya, tidak pernah ikut campur urusan orang lain. Akan tetapi kali ini, ia melihat kesinisan di sudut bibirnya, saat melihat keakraban dirinya dan Ganis. Tidak berusaha berbicara padanya, tetapi langsung masuk ke mobil dan tancap gas.
Felix melirik Ganis yang tampak membeku. "Jangan terlalu diambil hati sikapnya yang seperti itu, Nis. Prana memang dari lahirnya sudah begitu." candanya, "Ayo, masuk mobil. Aku antar kamu pulang." katanya sambil tersenyum gembira.
"Tapi Bapak janji gak mampir-mampir dulu, ya?" Ganis berusaha mengingatkan Felix.
"Nis, aku sudah bilang berkali-kali, panggil namaku saja. Kamu tahu, di kantor gak ada formil-formilan dalam pemanggilan nama."
"Baiklah, Fe. Langsung anter aku pulang, ya?" Felix tersenyum sambil mengangguk, lalu menyalakan mesin mobilnya.
Sepanjang perjalanan Ganis terdiam, sementara Felix dengan sabar menghadapi kemacetan yang parah.
Ganis berpikir. Pasti Prana menganggap kedekatannya dengan Felix, semakin menguatkan anggapannya selama ini, kalau dirinya tukang selingkuh. Sudah tanggung dianggapnya begitu, kenapa tidak untuk sekalian saja meletakkan bara di atas kepalanya yang sekeras batu itu?
Ia pun sakit hati, dengan tuduhannya dan sekarang jadi tambah membencinya.
Jadi timbul tekadnya untuk melawan Prana, tanpa rasa takut lagi.
Lamunannya tersadarkan, saat Felix bertanya alamat yang harus ditujunya.
"Aku akan memberi tahumu, saat harus berhenti. Tak jauh, kok." jawabnya.
"Ok, siap!" seru Felix, terkekeh.
"Fe, perusahaan ini benar-benar terbentuk karena persahabatan, ya?" tanya Ganis, untuk mengisi kesunyian di antara mereka.
"Betul, kita bersahabat sangat dekat saat kuliah. Hanya tiba-tiba Prana berbelot, di tahun kedua masa kuliahnya, untuk masuk militer. Jadinya kita hanya betiga yang terus lanjut." Mendengar keterangan dari Felix, kalau Prana pernah kuliah arsitek. Ini hal yang baru diketahui olehnya.
"Kira-kira empat tahun yang lalu, aku bertemu lagi dengan Prana. Aku melihat hidupnya sedikit kacau. Karier militernya agak terancam, karena ketidakdisiplinannya. Entah apa yang sudah dialaminya, aku tidak pernah bisa mengorek penjelasan dari mulutnya. Kemudian aku menceritakan maksudku untuk mendirikan perusahaan kontraktor. Akan tetapi, modal yang aku punya tidak cukup kuat. Sementara aku lihat, Prana secara finansial sangat mampu. Memang, tidak mudah untukku meyakinkannya. Namun, saat aku mengajak Aldy dan Bram untuk ikut bergabung, Prana luluh juga dan menyetujuinya." dengan panjang lebar, Felix menceritakannya.
Ganis jadi terdiam. Hidup Prana kacau? Sepertinya itu saat-saat setelah kepergiannya. Seharusnya Prana merasa puas dan senang karena telah dengan mudah mengusirnya pergi. Artinya, dia sudah dapat menyingkirkan duri dalam dagingnya.
Felix melirik Ganis. "Tidak merasa kaget, saat kuceritakan kalau Prana pernah jadi TNI, Nis?" tanyanya, sedikit heran.
Ganis agak tersentak dengan pertanyaan itu. Ya, kalau orang lain yang mendengarnya pasti kaget. Namun, bagi Ganis bukan masalah Prana jadi TNI-nya, tetapi bagaimana sampai Prana bisa melepaskan jabatannya itu? Karena tidak mudah untuk melepaskan diri dari anggota kemiliteran, seperti mudahnya mengundurkan diri dari perusahaan swasta.
"Sebenarnya aku agak kaget juga sih, Fe. Tapi kalau melihat dari penampilannya, memang mirip TNI tak berseragam, ya?" Ganis sengaja tertawa, yang sebenarnya untuk mengalihkan Felix ke topik lainnya.
Dan berhasil, Felix ikut tertawa. "Kamu benar, Nis. Aku pun tidak tahu, bagaimana dia bisa melepaskan diri dari anggota kemiliterannya itu." dia mulai fokus ke jalanan lagi.
Hampir tidak dapat mempercayainya, kalau keterangan itu tidak didengar langsung dari sahabat terdekatnya.
Hati Ganis merasa teriris perih. Kalau tak mengingat ada Felix di dekatnya, mungkin air matanya sudah mengalir dengan deras sedari tadi.
Mengapa Prana dilahirkan jadi manusia sekeras batu? Menurutnya, apa yang dilihat itulah yang dipercayainya. Terbukti dengan asal emosi, telah menuduhnya selingkuh. Dan tidak memberi kesempatan padanya untuk memberi penjelasan, langsung mengusirnya tanpa ampun.
Bagi Ganis yang sudah sangat mengenalnya. Merasa tidak perlu banyak kata-kata lagi, untuk meyakinkan manusia seperti Prana. Percuma! tidak akan mempan, akan sia-sia belaka. Ngomong sampai berbusa pun, tak akan digubrisnya. Baginya yang dianggap salah, akan tetap salah! Kalau otaknya sudah diracuni oleh prasangka buruk, maka makan sendirilah akibatnya.
"Kamu melamunkan apa, Nis?" suara Felix membuyarkan lamunan Ganis.
"Tidak melamun, hanya macetnya ini loh kebangetan. Dari tadi belum nyampai juga." sangkalnya dengan nada kesal.
Felix malah tertawa. "Apalagi bagi yang menyetir kendaraannya, Nis. Aku sudah biasa, jadi tidak terlalu dianggap beban." hiburnya, lebih ke diri sendiri.
Ganis hanya bisa menarik napasnya dengan kasar. Felix menatapnya, saat kendaraan tidak bisa laju. "Sabar, Nis. Sesabar aku, menanti perhatianmu."
"Fe, kamu belum lama mengenalku. Jadi kamu, belum tahu siapa diriku."
"Sejak awal, kamu sudah menarik perhatianku, Nis. Terus terang, aku bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta. Kamu boleh tanya ke rekan-rekanku tentang hal ini. Jadi, ijinkan aku untuk menunjukkan keseriusanku, ya?"
Ganis terdiam. Bingung, harus menjawabnya, bagaimana?
Seandainya Felix tahu. Kalau Prana adalah suaminya, apakah akan terus mengejar dirinya?
Atau, seandainya Felix tahu. Kalau dirinya sudah mempunyai anak berusia tiga tahun, apakah akan mundur?
"Jadilah temanku dulu, Fe." jawabnya.
"Teman tapi mesra?" guraunya, sambil tertawa. Namun, rupanya Ganis tidak begitu menyimaknya, karena perhatiannya sedang ke arah lain.
"Fe, sudah mau sampai. Berhenti di depan kios itu." tunjuknya, pada sebuah kios kecil yang ada di depannya.
"Rumahmu, yang mana?" tanya Felix, celingak-celinguk. Berusaha mengenal lingkungan sekitar rumah Ganis.
"Masuk gang. Lebih ke dalam lagi, jadi aku susah menjelaskannya." Ganis beralasan.
Felix berhenti, di depan kios itu. "Terima kasih, Fe. Atas tumpangannya." ucap Ganis, lalu turun dari mobilnya. Felix hanya membalas dengan anggukan dan senyumannya.
Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b