Share

Bab 6 Meletakan Bara di Kepalanya

"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak  aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu.

"Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas.

"Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.

Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu.

"Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat!" katanya, tidak menyerah.

Ganis jadi tergugu dengan sikap sahabatnya ini, melebarkan senyumnya. "Terima kasih, Mil." ungkapnya tulus, yang diangguki oleh Mila.

Selanjutnya, mereka kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Saat jam pulang, Felix masuk ke ruangan, menghampiri meja Ganis.

"Nis, setelah pulang ada acara, tidak?" tanyanya, memperhatikan Ganis yang sedang membereskan meja kerja.

Ganis yang masih duduk, mendongakkan wajahnya untuk melihat Felix. Terkesan seperti sedang melihat tiang listrik, saking tingginya juga tubuh kurusnya. "Ada, Pak. Saya biasanya sepulang kerja selalu bobok cantik karena sudah lelah. Jadi, tidak sempat untuk memikirkan acara lainnya." canda Ganis.

Ia sebenarnya tahu maksud Felix, tetapi untuk menolaknya pun merasa tidak tega. Ia candai saja.

Terdengar kekehan dari meja sebelahnya.

"Belum apa-apa sudah tidak punya peluang, kasian lo, Fe." ledek Aldy.

Disusul gelak tawa dari Mila, yang sama-sama sudah siap pulang. "Jangan menyerah, Fe. Siapa tahu, besok-besok Ganis mau merelakan bobok cantiknya, untuk menemanimu makan malam."

Wajah Felix jadi agak memerah, dicandai seperti itu. "Diam lo, Al! Urus aja istri ma anak lo. Jangan suka ikut campur urusan gue, yang masih bujangan."

"Dih! Bujangan jidat, lo." seloroh Aldy makin jadi.

"Plis! dukung aku, dong." liriknya pada Mila. "ikut bujukin Ganis, Mil. Kan, kamu sahabatnya."

Mila mengedikkan bahunya. "Yee ... siapa juga yang punya urusan." katanya pura-pura cuek.

Kembali pandangan Felix ke Ganis. Wanita itu sudah berdiri, menyampirkan tali tas ke bahunya.

"Aku anter pulang aja ya, Nis?" tanyanya belum menyerah. Ganis hanya tersenyum.

"Iyakan saja, Nis. Toh hanya dianter pulang." kata Mila, sambil menggandeng Ganis menuju pintu keluar ruangan.

"Alot banget tekad lo, Fe. Udah lama gue gak lihat lo pepet cewek, sampai sebegitunya." Aldy kembali bersuara.

Laki-laki itu membulatkan matanya, pada Aldy. "Diem aja, lo!" Lalu mengejar langkah kedua wanita yang sudah agak jauh berjalan di depannya.

Saat sudah di lantai satu, Felix meraih tangannya. "Ikut denganku, Nis. Tidak ada alasan lagi." katanya, setengah memaksa.

Mila hanya mengerutkan dahinya, heran. Melihat tingkah Felix seperti itu.

Sejak mengenal Felix, Mila belum pernah melihatnya seterbuka itu menunjukan ketertarikannya pada seorang perempuan. Biasanya sikapnya tenang dan penuh wibawa. Bisa dibilang, soal pasangan Felix agak pemilih. Namun, ketertarikannya kepada Ganis ini, sudah ditunjukannya sejak awal. 

Felix selalu berusaha menemui Ganis dengan berbagai alasan yang dibuatnya.

Saat tiba di tempat parkir, mereka bertemu dengan Prana. Lelaki itu kembali melihat tangan Ganis yang ada dalam genggaman Felix. Secara refleks Ganis melepaskan tangannya, tetapi terlambat karena bibir Prana sudah membentuk senyuman yang penuh kesinisan. Tatapan dingin sekilas padanya, mampu membekukan seluruh tubuhnya.

Felix terdiam. Ia bingung, kenapa wajah Prana sesuram itu? Sedingin apapun sikapnya, tidak pernah ikut campur urusan orang lain. Akan tetapi kali ini, ia melihat kesinisan di sudut bibirnya, saat melihat keakraban dirinya dan Ganis. Tidak berusaha berbicara padanya, tetapi langsung masuk ke mobil dan tancap gas.

Felix melirik Ganis yang tampak membeku. "Jangan terlalu diambil hati sikapnya yang seperti itu, Nis. Prana memang dari lahirnya sudah begitu." candanya, "Ayo, masuk mobil. Aku antar kamu pulang." katanya sambil tersenyum gembira.

"Tapi Bapak janji gak mampir-mampir dulu, ya?" Ganis berusaha mengingatkan Felix.

"Nis, aku sudah bilang berkali-kali, panggil namaku saja. Kamu tahu, di kantor gak ada formil-formilan dalam pemanggilan nama."

"Baiklah, Fe. Langsung anter aku pulang, ya?" Felix tersenyum sambil mengangguk, lalu menyalakan mesin mobilnya.

Sepanjang perjalanan Ganis terdiam, sementara Felix dengan sabar menghadapi kemacetan yang parah.

Ganis berpikir. Pasti Prana menganggap kedekatannya dengan Felix, semakin menguatkan anggapannya selama ini, kalau dirinya tukang selingkuh. Sudah tanggung dianggapnya begitu, kenapa tidak untuk sekalian saja meletakkan bara di atas kepalanya yang sekeras batu itu?

Ia pun sakit hati, dengan tuduhannya dan sekarang jadi tambah membencinya.

Jadi timbul tekadnya untuk melawan Prana, tanpa rasa takut lagi.

Lamunannya tersadarkan, saat Felix bertanya alamat yang harus ditujunya.

"Aku akan memberi tahumu, saat harus berhenti. Tak jauh, kok." jawabnya.

"Ok, siap!" seru Felix, terkekeh.

"Fe, perusahaan ini benar-benar terbentuk karena persahabatan, ya?" tanya Ganis, untuk mengisi kesunyian di antara mereka.

"Betul, kita bersahabat sangat dekat saat kuliah. Hanya tiba-tiba Prana berbelot, di tahun kedua masa kuliahnya, untuk masuk militer. Jadinya kita hanya betiga yang terus lanjut." Mendengar keterangan dari Felix, kalau Prana pernah kuliah arsitek. Ini hal yang baru diketahui olehnya.

"Kira-kira empat tahun yang lalu, aku bertemu lagi dengan Prana. Aku melihat hidupnya sedikit kacau. Karier militernya agak terancam, karena ketidakdisiplinannya. Entah apa yang sudah dialaminya, aku tidak pernah bisa mengorek penjelasan dari mulutnya. Kemudian aku menceritakan maksudku untuk mendirikan perusahaan kontraktor. Akan tetapi, modal yang aku punya tidak cukup kuat. Sementara aku lihat, Prana secara finansial sangat mampu. Memang, tidak mudah untukku meyakinkannya. Namun, saat aku mengajak Aldy dan Bram untuk ikut bergabung, Prana luluh juga dan menyetujuinya." dengan panjang lebar, Felix menceritakannya.

Ganis jadi terdiam. Hidup Prana kacau? Sepertinya itu saat-saat setelah kepergiannya. Seharusnya Prana merasa puas dan senang karena telah dengan mudah mengusirnya pergi. Artinya, dia sudah dapat menyingkirkan duri dalam dagingnya.

Felix melirik Ganis. "Tidak merasa kaget, saat kuceritakan kalau Prana pernah jadi TNI, Nis?" tanyanya, sedikit heran.

Ganis agak tersentak dengan pertanyaan itu. Ya, kalau orang lain yang mendengarnya pasti kaget. Namun, bagi Ganis bukan masalah Prana jadi TNI-nya, tetapi bagaimana sampai Prana bisa melepaskan jabatannya itu? Karena tidak mudah untuk melepaskan diri dari anggota kemiliteran, seperti mudahnya mengundurkan diri dari perusahaan swasta. 

"Sebenarnya aku agak kaget juga sih, Fe. Tapi kalau melihat dari penampilannya, memang mirip TNI tak berseragam, ya?" Ganis sengaja tertawa, yang sebenarnya untuk mengalihkan Felix ke topik lainnya.

Dan berhasil, Felix ikut tertawa. "Kamu benar, Nis. Aku pun tidak tahu, bagaimana dia bisa melepaskan diri dari anggota kemiliterannya itu."  dia mulai fokus ke jalanan lagi.

Hampir tidak dapat mempercayainya, kalau keterangan itu tidak didengar langsung dari sahabat terdekatnya.

Hati Ganis merasa teriris perih. Kalau tak mengingat ada Felix di dekatnya, mungkin air matanya sudah mengalir dengan deras sedari tadi.

Mengapa Prana dilahirkan jadi manusia sekeras batu? Menurutnya, apa yang dilihat itulah yang dipercayainya. Terbukti dengan asal emosi, telah menuduhnya selingkuh. Dan tidak memberi kesempatan padanya untuk memberi penjelasan, langsung mengusirnya tanpa ampun.

Bagi Ganis yang sudah sangat mengenalnya. Merasa tidak perlu banyak kata-kata lagi, untuk meyakinkan manusia seperti Prana. Percuma! tidak akan mempan, akan sia-sia belaka. Ngomong sampai berbusa pun, tak akan digubrisnya. Baginya yang dianggap salah, akan tetap salah! Kalau otaknya sudah diracuni oleh prasangka buruk, maka makan sendirilah akibatnya.

"Kamu melamunkan apa, Nis?" suara Felix membuyarkan lamunan Ganis.

"Tidak melamun, hanya macetnya ini loh kebangetan. Dari tadi belum nyampai juga." sangkalnya dengan nada kesal.

Felix malah tertawa. "Apalagi bagi yang menyetir kendaraannya, Nis. Aku sudah biasa, jadi tidak terlalu dianggap beban." hiburnya, lebih ke diri sendiri.

Ganis hanya bisa menarik napasnya dengan kasar. Felix menatapnya, saat kendaraan tidak bisa laju. "Sabar, Nis. Sesabar aku, menanti perhatianmu."

"Fe, kamu belum lama mengenalku. Jadi kamu, belum tahu siapa diriku."

"Sejak awal, kamu sudah menarik perhatianku, Nis. Terus terang, aku bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta. Kamu boleh tanya ke rekan-rekanku tentang hal ini. Jadi, ijinkan aku untuk menunjukkan keseriusanku, ya?"

Ganis terdiam. Bingung, harus menjawabnya, bagaimana?

Seandainya Felix tahu. Kalau Prana adalah suaminya, apakah akan terus mengejar dirinya?

Atau, seandainya Felix tahu. Kalau dirinya sudah mempunyai anak berusia tiga tahun, apakah akan mundur?

"Jadilah temanku dulu, Fe." jawabnya.

"Teman tapi mesra?" guraunya, sambil tertawa. Namun, rupanya Ganis tidak begitu menyimaknya, karena perhatiannya sedang ke arah lain.

"Fe, sudah mau sampai. Berhenti di depan kios itu." tunjuknya, pada sebuah kios kecil yang ada di depannya.

"Rumahmu, yang mana?" tanya Felix, celingak-celinguk. Berusaha mengenal lingkungan sekitar rumah Ganis.

"Masuk gang. Lebih ke dalam lagi, jadi aku susah menjelaskannya." Ganis beralasan.

Felix berhenti, di depan kios itu. "Terima kasih, Fe. Atas tumpangannya." ucap Ganis, lalu turun dari mobilnya. Felix hanya membalas dengan anggukan dan senyumannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status