Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya.
"Mami." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.
Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka diperlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian.
"Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanya Ganis, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya.
"Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya, dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil.
"Anak Mami yang baik." Lalu menciumnya bertubi-tubi wajah yang menggemaskan itu, membuat Gagah kewalahan.
Anak itu berteriak. "Udah Mamii ... ! Gagah geli."
"Ayoo bilang ampun." Kembali Ganis menggelitik leher anaknya, dengan ciuman-ciumannya.
"Apun!!" Lehernya bergerak kekiri dan kekanan. Berupaya menghindari ciuman maminya, karena geli yang dirasakannya sambil terus tetap tertawa.
"Apun, Mami ...!" Gagah mengulang permohonannya.
Kalau sudah begitu, Ganis akan memeluk anaknya, mendekapnya erat. Seakan ingin mencurahkan segenap kasih sayangnya.
Matanya berkaca-kaca. Mengingat kalau hari ini, ia bertemu dengan ayah dari anaknya.
Namun, jangan sampai Gagah melihat air matanya. Gagah tidak boleh tahu tentang kesedihan yang muncul kembali di hatinya.
Ibunya Naning, muncul dari arah dapur. "Tumben telat banget pulangnya, Nis. Gagah dari tadi terus bertanya, kenapa mamanya belum pulang juga. Selalu menunggu di teras, tidak mau masuk ke dalam."
"Macet banget, Bu, kebetulan aku numpang mobil temen. Kalau pakai ojek kan, lebih cepet nyampenya." jawabnya sambil duduk, dengan Gagah masih di pangkuannya.
"Gagah ayo turun, biar mami ganti pakaian dulu." pinta Naning, dengan lembut.
Meski enggan, anak itu menuruti perintah neneknya. Turun dari pangkuan ibunya, lalu menatapnya lugu. "Pasti Mami cape, ya? Nanti kaki Mami, Gagah pijitin."
"Iya, Sayang. Sekarang Gagah lanjut lagi nonton film kartunnya, ya? Sebentar Mami akan mandi, sesudah itu kita akan makan bersama."
Gagah hanya mengangguk, lalu duduk. Melanjutkan nonton film kartun yang tadi sempat terjeda, karena kedatangan maminya.
Sepulang kerja, biasanya Ganis menggunakan quality time kebersamaan dengan anak semata wayangnya ini. Meski harus bekerja seharian, tapi momen kebersamaan dengan anaknya tidak mau hilang karena rasa lelahnya.
Ia akan berusaha menemani Gagah bermain, sambil belajar sebelum anak itu terlelap di jam tidur malamnya.
Malam ini, Ganis harus berbicara pada ibunya. Mengenai pertemuannya kembali dengan Prana.
Hal ini tidak harus disembunyikan dari ibunya. Sejak ia terusir dari rumah suaminya, ibunyalah yang terus mendampinginya sampai sekarang. Membantu menjaga dan merawat Gagah, meski karena usianya sudah agak kewalahan menghadapi anak kecil yang sangat aktif semacam Gagah.
"Bu." panggilnya, saat wanita tua itu duduk di sisinya. "Hari ini aku bertemu dengan Prana." Ekspresi wajah ibunya langsung berubah, tetapi tidak langsung bertanya, menunggu Ganis melanjutkan lagi kata-katanya.
"Di kantor." lanjutnya. "Ternyata dia Direktur Utama di kantorku, Bu. Selama ini Ganis tidak tahu, karena ia beberapa minggu sedang tugas ke luar kota dan hari ini dia baru kembali."
"Dia kan TNI, kenapa bisa jadi pengusaha? Bagaimana ceritanya?"
"Tadi aku dianter sama temennya, Bu. Tentu saja dia belum tahu kalau Ganis itu adalah istrinya. Sepertinya Prana pun, tidak pernah menceritakan pada teman-temannya, kalau dirinya sudah menikah. Mereka pernah kuliah bareng, sebelum Prana jadi TNI"
Ibunya terdiam, "Rini, tidak pernah bercerita soal itu, kita pun mengenalnya setelah dia jadi TNI." gumamnya. Rini adalah Tantenya Prana.
"Ganis pun tidak tahu, Bu. Prana sama sekali tidak pernah menceritakan soal teman-teman dekat kuliahnya. Makanya aku terkejut saat tadi Felix menceritakannya."
"Felix, siapa?" selidik ibunya, curiga.
"Dia atasanku juga, Bu."
"Jangan membuat Prana cemburu, Nis. Hati-hati dengan sikapmu. Pikirkan nasib Gagah kedepannya. Kamu sudah dituduh salah, jangan sampai tuduhan itu jadi benar-benar kamu lakukan." peringatan Naning, cukup keras.
Duh, gimana ini? Padahal ia sudah berencana, membuat laki-laki itu kegerahan dengan melihat kedekatannya dengan Felix. Ibunya sudah terlebih dahulu mengingatkannya. Padahal ia sendiri merasa tidak tertarik pada Felix.
Namun, benar juga omongan ibunya. 'Jangan memancing di air keruh' mungkin peribahasa ini yang tepat, untuk menggambarkan peringatan ibunya itu.
"Iya, bu." ucap Ganis, patuh.
"Dan bagaimana reaksinya saat tiba-tiba melihatmu?" tanya ibunya, beralih kembali ke soal Prana.
"Tetap sama Bu, dingin seperti gunung es." jawabnya cemberut, kesal.
"Tapi tidak mengusirmu dari perusahaan, kan?" mata ibunya mulai ada api, meski nyalanya masih kecil.
"Awalnya iya, Bu. Akan tetapi, karena kontrak kerjaku sudah ditandatangani, jadi aku harus tetap bekerja di situ."
"Dia masih terlihat, marah?"
"Sepertinya begitu, Bu."
"Bilang pada ibu, kalau dia berani macam-macam lagi sama kamu. Kali ini, ibu tidak akan tinggal diam lagi." tekad ibunya, terlihat dari mimik wajahnya yang mengeras.
"Tenang saja, Bu. Ganis juga tidak akan tinggal diam lagi seperti dulu. Ganis tidak merasa takut lagi." senyumnya menenangkan hati ibunya.
"Lagian apa salahmu juga? Hingga dia bisa dengan sewenang-wenang, memperlakukanmu seperti itu."
"Sangat jelas, kan, Bu? Di kata-katanya, kalau aku sudah mengkhianatinya. Meski Ganis sendiri tidak tahu, telah berkhianat dengan siapa?"
"Coba kamu ingat-ingat, Nis. Apa yang sudah kamu lakukan, sebelum Prana mengusirmu dari rumahnya? Tidak mungkin dia melakukan itu tanpa sebab, pasti ada alasannya."
"Tidak ada, Bu. Hari itu, aku hanya menemui teman yang lagi ada masalah menjelang pernikahannya. Lalu aku mempertemukan mereka untuk mendamaikannya, selesai. Aku tidak melakukan apa-apa lagi langsung pulang."
"Heran, kalau alasan suamimu seperti itu, hingga gelap mata. Mengapa tidak mencari dulu kebenarannya? Main usir begitu saja. Apa kamu tidak curiga, kalau mungkin ada yang memfitnahmu tanpa kamu sadari?"
Ganis menggelengkan kepalanya, "Tidak pernah terpikirkan, Bu. Selama setahun hidup dengannya, hubungan kita baik-baik saja."
Ibunya terdiam.
"Sebenarnya sikap Prana sangat baik, Bu. Aku sudah sedikitnya mencairkan sikap dinginnya itu. Kehidupan rumah tanggaku bisa dibilang bahagia. Prana sangat memperhatikanku, sekecil apapun tidak pernah luput dari perhatiannya. Ibu sendiri bisa melihatnya, kan? Memang agak posesif dalam hal-hal tertentu, tetapi aku merasa tidak terlalu mengganggu pergaulanku saat kuliah."
"Tapi ini sudah empat tahun lebih, Nis. Sebagai suami, seharusnya sudah berusaha membereskan masalah antara kalian berdua. Ingat, Nis. Statusmu, masih istrinya."
Deg!
Peringatan ibunya seakan menohok ulu hatinya. Ia baru sadar, akan status pernikahan yang seolah dilupakannya.
Matanya membulat menatap Naning, terkejut.
"Ibu, aku belum bercerai dengannya! Bagaimana aku bisa ya, sampai melupakanya?"
Ibunya ikut tertegun, "Kalian kan baru bertemu kembali, kapan mengurus perceraiannya?"
" .... "
"Akupun belum membuat akta kelahiran Gagah, aku bingung, Bu. Prana sendiri belum mengetahui keberadaannya."
"Ingatlah, Nis. Gagah harus sudah mulai sekolah Paud, tentu butuh akta kelahirannya. Jadi pikirkan baik-baik, selanjutnya kamu harus bersikap bagaimana?"
Tiba-tiba tangis Ganis pecah. "Aku bingung, Bu. Prana menuduhku berselingkuh. Kalau aku memberitahukan Gagah sebagai anaknya, pasti dia tidak akan percaya." air matanya terus turun tak terbendung, sambil sesekali diusapnya.
"Jaman sekarang kan sudah canggih, Nis. Kamu bisa menyuruhnya untuk test DNA."
"Ibu tahu sikap Prana seperti apa? Dia selalu menyimpulkan sesuatu menurut pikirannya sendiri. Belum tentu dia mau melakukannya, dengan rasa gengsinya yang tinggi itu. Terbukti selama ini, tidak ada sedikitpun usahanya untuk menemukanku. Aku seperti barang yang sudah dibuangnya ke tempat sampah."
Ibunya menarik napas panjangnya. Merengkuh tubuh anaknya dengan penuh kasih dan rasa prihatin.
"Kalau begitu, hanya tinggal menunggu keajaiban aja, Nis. Teruslah berdoa minta petunjuk dari Tuhan. Siapa tahu, Tuhan membuka jalan atas masalah pelik yang sedang kamu hadapi ini." Ganis semakin terisak di pelukan ibunya. Pikirannya sudah benar-benar buntu.
"Untuk saat ini, Gagah tetap mau aku sembunyikan dulu, Bu. Aku belum siap merasakan sakitnya, bila Gagah pun ditolaknya." ucapnya. Melepaskan pelukan ibunya dan mengusap air mata di pipinya berkali-kali.
"Nis, usahakan jangan membuat kesalahan yang membuatnya semakin yakin, kalau kamu sebagai perempuan yang tidak benar di matanya." nasihat ibunya.
Ganis menganggukan kepalanya. Meski nasihat ibunya telat! Tapi Ganis mengerti, kalau dirinya tidak boleh melibatkan orang lain pada masalahnya. Biarlah Prana yang menaruh bara di kepalanya sendiri, karena sikapnya yang tetap menuduh Ganis sebagai pengkhianat. Ganis yakin, suatu saat kebenaran itu pasti menang. Batinnya.
Malam yang panjang harus dilaluinya dengan pikiran yang penuh. Hingga menjelang subuh, kelopak matanya tidak juga mau terpejam. Ganis terus berputar-putar dengan pikiranya, setelah berbincang dengan ibunya tadi.
Ia mengingat statusnya yang masih istri Prana. Tidak pernah terpikirkan selama ini, bahwa harus ada surat resmi yang harus diurus mereka bila berpisah.
Mereka secara fisik memang sudah berpisah lama, dengan gampang pula bila Prana mau bercerai. Dia toh punya uang, urusan apapun pasti mudah dilakukannya.
Anehnya, kenapa Prana tidak melakukan itu? Atau mungkin sebentar lagi, dia akan menceraikannya juga. Ganis hanya cukup menunggu tindakan dari Prana selanjutnya.
Akhirnya ia terlelap, saat ayam jantan berkokok menyambut pagi yang masih menggelap.
Setengah berlari, Ganis memasuki kantornya. Tetap saja telat lima belas menit, ketika ia tiba di meja kerjanya."Tumben telat, Nis." kata Mila."Iya, nih. Aku kesiangan bangunnya, semalam susah tidur.""Mikirin apa, hayo .... " canda Mila."Gak mikirin apa-apa, sih. Lagi susah tidur aja." dustanya."Tadi Felix ke sini. Nyariin kamu, tapi kamunya belum datang." ujar Mila memberitahunya. "Cuma mau bilang, katanya dia ada tugas ke luar kota dan tadi buru-buru, langsung menuju ke bandara.""Oh.""Hanya itu?" tanya Mila, menatapnya dengan jenaka."Maksudnya?" tanya balik Ganis."Kok hanya 'oh' doang.""Yah, aku harus ngomong apalagi, Mil?" balasnya, sambil terkekeh."Sepertinya Felix bermaksud serius, Nis,""Aku belum kepikiran ke situ, Mil. Aku ingin serius dulu di kerjaan.""Tapi kamu bisa mempertimbangkannya, Nis. Felix orangnya baik dan bukan laki-laki yang sembarang juga."Ganis kembali terkekeh. "Kamu dorong-dorong aku untuk dekat dengan cowok, sementara kamu sendiri masih jomblo.""
Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." kelakarnya, sambil memperlihatkan senyumnya."Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.Sebenarnya itu memang terjadi, tetapi ia yakin Mila akan menganggap itu tidak mungkin benar-benar terjadi."Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun berkumanang, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.Aldy tampak lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tidak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.Sementara Bram tetap tidak acuh, diam di meja sebelahnya seperti biasa.Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku sudah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesu
Selama tiga hari, Prana tidak pernah memintanya lagi untuk datang ke ruangannya. Membuat Ganis tersenyum puas. Kapokkah laki-laki itu setelah ditamparnya dengan keras? Mungkin, lebih kemelukai harga dirinya yang membuat dia merasa marah. Siapa coba, yang berani berbuat sekasar itu padanya?Namun, hari ini Ganis harus menelan air liurnya. Saat Prana datang, langsung ke mejanya. "Ikut denganku." ajaknya datar, tanpa basa-basi.Semua mata, tertuju pada tubuh tegap itu. Ada apa dengan Prana? Padahal tinggal mengangkat telepon saja, bila ingin meminta salah satu karyawannya untuk menemani dia pergi."Ada urusan apa, ya? Pak Prana mengajak saya pergi." tanya Ganis, enggan."Tentu saja, urusan pekerjaan." jawabnya, dingin."Ada Mila yang lebih berkompeten, Pak." liriknya pada Mila, yang sedikit terkejut, atas saran yang diajukannya."Kalau kamu menolak pekerjaanmu, jangan terus bekerja di sini." kemudian dia membalikkan badan dan pergi."Nis, jangan mempersulit dirimu sendiri." saran Mila.
Posisi mereka sangat berbahaya, tetapi kemudian otak jahil Ganis muncul secara spontan.Kedua tangan sudah ada dalam penguasaan Prana. Hanya pinggulnya yang masih bebas, bisa ia manfaatkan.Pinggul Ganis ditekan lalu digoyangkan, membuat mata Prana terbelalak. Ada suatu reaksi yang dia rasakan, sama sekali tidak bisa dia kendalikan.'Perempuan, sialan! Dia harus menerima akibatnya, bila menggoda macan yang sedang tidur.' umpat Prana dalam hati.Dia segera membalikkan posisi tubuh mereka, secara tiba-tiba. Sekarang, Ganis jadi ada di bawahnya. "Wanita penggoda akan tetap jadi wanita penggoda. Mari kita nikmati, di luar konteks kita sebagai atasan dan bawahan." katanya serak, terdengar seksi di telinganya.Dengan mudah, Prana dapat mencium bibirnya. Menggelitik gigi dengan lidah yang panas. Tidak berdaya, Ganis membuka mulutnyaPagutan bibir mereka semakin liar, tangannya masih dalam penguasaan Prana. Ia tahu, Prana sudah dirasuki oleh gairahnya sendiri. Godaan Ganis sudah berhasil mem
Di ruangan kerja divisi site engineer, hanya terdiri dari para ahli arsitektur, drafter dan surveyor. Tidak banyak sekat untuk memiliki ruang pribadi dari masing-masing ahlinya. Di ruangan sebelah, adalah untuk staf pembantu para ahli. Tidak jauh dari situ juga, ada ruangan rapat umum, di lantai dua ini. Sementara di lantai satu dalam ruangan besar, adalah tempat staf administrasi dan divisi lainnya yang berhubungan dengan perusahaan. Ada satu ruangan yang dimiliki oleh Felix sebagai CEO. Sementara paling depannya, adalah ruang tamu dengan dua resepsionis cantik. Siap melayani siapapun yang datang ke perusahan PT. Multi Karya tbk ini.Ganis sedang ada di ruangan sebelah, menemui asistennya saat Felix masuk ke ruangan kerja. Langsung menatap kursi miliknya yang kosong, lalu ia melirik Mila dengan tatapan bertanya."Lagi ada di ruangan sebelah." beritahu Mila. Tersenyum mengerti.Felix duduk di kursi Ganis, menunggu."Aku menghubungi Ganis kemarin, tapi tidak dijawab. Sorenya, malah
Saat jam istirahat Felix dan Ganis baru saja turun dari tangga, untuk sama-sama makan siang seperti yang sudah dijanjikan. Di lantai satu, mereka bertemu dengan Prana yang baru keluar dari Lift. "Hai Pran, mau keluar juga?" sapa Felix, dengan semringah. Begitu melihat sahabatnya itu. Prana hanya menatapnya sekilas, dengan tampang dinginnya. Kemudian kepada Ganis, sudut bibirnya sedikit terangkat sinis."Emang lo aja yang lapar? Gue juga manusia, butuh asupan makanan untuk tetap hidup." cemoohnya, kasar."Biasa aja jawabnya, kenapa lo harus sinis begitu?" ledeknya, "gua mau makan siang dengan Ganis." tangan Felix memeluk bahunya. Sementara Ganis, tidak menunjukkan reaksi apapun."Boleh gue ikut gabung?" tanyanya datar, seolah tanpa dosa. Jelas-jelas kalau Felix hanya ingin berdua saja dengan Ganis. Sepertinya Prana, hanya ingin mengganggu Felix secara iseng."Maaf, kali ini tidak ada orang ketiga. Mau jadi kambing congek, lo?" semprot Felix, tajam.Namun, kata-kata pedas Felix tidak
Felix yang tidak mau terganggu oleh kehadiran Prana, berusaha tidak menutupi rasa keberatannya. "Heran gue, malah lo muncul di sini." ucapnya, dengan menunjukan wajah perangnya.Prana malah menatapnya dengan heran. "Lo tahu, pasti gue nongkrongnya di sini."Tampak Felix terdiam untuk sesaat. Lalu menepuk jidatnya sendiri. "Lupa gue, kalau ini kafe milik lo." menatap Prana, dengan ringisan. "Gue yang salah, kenapa musti ngajak Ganis dimari?" sesalnya. Entahlah, mungkin karena terlalu senang bisa terlaksana jalan bersama Ganis dan ingin membawanya ke tempat makan terbaik. Sampai dia lupa kalau kafe ini milik Prana. Sahabat yang saat ini, sangat ingin dihindarinya. Ia tidak ingin momen kebersamaannya dengan Ganis jadi terganggu, meski oleh sesosok dingin semacam Prana.Pengetahuan baru lagi buat Ganis soal Prana, setelah perpisahannya selama ini.Prana selalu menggunakan bahasa formal ketika bicara dan bahasa Inggris, bila dia ingin melatih Ganis terampil dalam bahasa itu. Namun, ia me
Ganis jadi mengingat awal pertemuannya dengan Prana dilima tahun yang lalu.Flashback onTante Rini adalah tantenya Prana, adik dari ayahnya Edward. Bersahabat baik dengan ibunya Naning, sejak SMP sampai lulus SMA. Orang tua Prana tinggal di Australia. Sementara Prana sejak masuk SMA, ikut tantenya Rini, tinggal di Indonesia.Suatu saat, Naning bercerita tentang sahabatnya Rini ini kepada Ganis. "Nis, seminggu yang lalu, ibu ketemu loh dengan temen ibu yang sudah lama banget gak ketemu." cerita Naning memulai obrolan.Saat itu mereka sedang berada di ruangan keluarga. Ia baru bangun dari tidur siangnya, sedang ibunya baru saja pulang dari toko batiknya yang ada di jl. Malioboro. "Ia masih kelihatan cantik, seperti dulu." sambungnya lagi."Ibu juga masih kelihatan cantik, kok." puji Ganis, melirik ibunya sambil mendaratkan bokong di kursi. "Masih terlihat cantik Rinilah. Wajahnya terawat, sementara ibu, tidak." Ganis menatap ibunya dengan senyum jenakanya. "Tanpa dirawat pun, wajah