MasukKeesokan paginya, Ling Yue menemukan Ling Er sedang bermeditasi di tepi Mata Air Spiritual. Adiknya tampak begitu damai, auranya sebagai seorang Ascendant memancar seperti cahaya bulan yang lembut, kuat namun tidak menyilaukan. Hatinya dipenuhi oleh gelombang kasih sayang yang begitu besar. Keputusan yang ia buat semalam, yang terasa begitu gila dan menakutkan, kini terasa benar.
Wang Yue mengorbankan nyawanya agar Ling Yue bisa hidup. Ling Yue mengorbankan hatinya agar ia bisa menjadi kuat. Kini, Ling Yue juga harus melakukan pengorbanan yang paling sulit, mengorbankan kekuatan yang telah ia perjuangkan agar ia bisa benar-benar hidup. Ling Yue tidak ingin lagi menjadi pahlawan yang kesepian. Ia ingin kembali menjadi seorang kakak untuk Ling Er. Ia menunggu dengan sabar hingga Ling Er menyelesaikan sesinya, menghormati konsentrasi adiknya. Saat Ling Er membuka mata, ia langsung merasakan perubahan pada diri kakaknya. Kelelahan kosmik yang sIa menundukkan kepalanya dalam-dalam, bukan lagi dengan rasa bersalah atas niatnya yang segelap dulu, tetapi dengan rasa syukur yang meluap yang melunakkan setiap sudut hatinya. “Kepada Tuan Wang Yue, Tuan Ling Yue, Nona Ling Er, dan Tuan A-Chen,” bisiknya, suaranya dipenuhi emosi yang tulus. “Terima kasih telah menciptakan tempat seindah ini. Terima kasih telah menunjukkan jalan bahwa kekuatan tidak harus berarti kehancuran. Dan terima kasih…” ia berhenti, melirik ke samping pada Xiao Li yang menatapnya dengan penuh cinta dan bangga. “...terima kasih telah meninggalkan dia untukku. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk memperbaiki lukaku dan menjadi layak untuknya, untuk menjadi bagian dari tempat ini.” Xiao Li membantunya berdiri. Mereka berdiri di depan batu memorial para pendiri dan pewaris lembah dengan hormat. “Mereka pasti bangga padamu, Lin Fen
Tahun-tahun mulai berlalu menjadi dekade yang tenang. Di Lembah Awan Berkabut, waktu tidak lagi diukur dengan musim, melainkan dengan generasi-generasi murid yang datang dan pergi, masing-masing dari mereka membawa pulang benih filosofi yang mereka tanam di hati mereka. Di bawah kepemimpinan bersama dari Grandmaster Xiao Li dan Grandmaster Lin Feng, akademi itu telah menjadi mercusuar harapan yang cahayanya semakin bersinar dan tak pernah redup, bersinar di tengah dunia kultivasi yang sering kali gelap. Dunia kultivasi mengenal mereka sebagai dua sisi dari koin yang sama, sepasang Pemimpin yang setara dengan legenda Grandmaster Wang Yue dan Grandmaster Ling Yue. Grandmaster Xiao Li, dengan kebijaksanaannya yang tenang dan hatinya yang penuh dengan welas asih, adalah Jiwa dari lembah itu sendiri. Ia mengajarkan para murid-muridnya cara untuk berdamai dengan bayangan mereka sendiri, mengubah luka mereka menjadi empati, dan
Saat mereka sarapan, Xiao Li dengan santai mengambil sepotong kue talas kukus dari piringnya dan meletakkannya di piring Lin Feng. “Cobalah. Ini kue kesukaanku.” Lin Feng menatap kue itu, lalu pada Xiao Li yang makan dengan tenang di depannya seolah tidak terjadi apa-apa. Di masa lalunya, berbagi makanan adalah tanda kelemahan, menunjukkan kamu tidak bisa mendapatkan makananmu sendiri. Di sini… itu hanyalah sebuah isyarat sederhana dari kepedulian. Dengan ragu, ia memakan kue itu. Rasanya manis dan hangat, seperti sarapan yang harusnya ia nikmati saat masih kecil bersama keluarganya, sebelum tragedi. Hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, ada dinamika baru. Lin Feng menjadi pengawasi sekelompok murid yang berlatih kuda-kuda dasar. dan insting lamanya sebagai pemimpin sekte yang kejam masih kuat saat mengajar murid di lembah. “Lebih rendah!” bentaknya pada seorang murid
Lin Feng terbangun secara tiba-tiba. Bukan karena mimpi buruk atau panggilan alam, melainkan karena sensasi yang sama sekali asing, tubuh yang terasa nyeri, kehangatan yang stabil di sisinya dan keheningan total di dalam benaknya. Untuk sesaat yang panik, ia tidak tahu di mana ia berada. Instingnya yang telah ditempa selama bertahun-tahun di dunia yang kejam berteriak waspada. Insting untuk menyerang muncul dalam sekejap di benaknnya. Lalu, ingatannya kembali dalam satu gelombang yang hangat, Puncak bukit. Pengakuan yang membebaskan. Malam di mana sentuhan dan ciuman yang membuatnya tersentak. Saat matanya benar-benar terbuka, yang menyambutnya adalah wajah tampan Xiao Li yang d perbesar di depannya. Cahaya fajar yang lembut menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ruangan dengan warna keemasan. Ia masih berada dalam pelukan Xiao Li yang hangat. Pria itu masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lebih mud
“Aku mengerti,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin Lembah. “Aku mengerti ketakutan bahwa kebahagiaan ini hanya akan diambil darimu lagi. Instingmu adalah untuk membangun tembok. Tapi tembok itu tidak akan bisa melindungimu dari dirimu sendiri.” Ia menepuk lantai di sampingnya. “Kita tidak akan melakukan apa pun sekarang. Duduklah di sini bersamaku. Hanya itu. Anggap saja ini pelajaran lain. Pelajaran tentang keheningan yang aman. Tidak ada tuntutan, tidak ada bahaya. Hanya dua orang yang berbagi ruang.” Tindakan Xiao Li yang tak terduga itu memudarkan seluruh pertahanan Lin Feng. Ia mengharapkan paksaan, atau mungkin kekecewaan dari Xiao Li. Ia tidak mengharapkan kesabaran yang begitu total. Pria ini, yang baru saja ia akui cintanya, kini duduk di lantai yang dingin, menunggunya, tanpa tuntutan. Dengan ragu, Lin Feng mendekat dan duduk di samping Xiao Li. Ia duduk, tetapi menjaga jarak bebera
Beberapa minggu setelah malam yang menentukan di perpustakaan, di mana mereka berbagi beban kesepian Xiao Li, suasana di antara Xiao Li dan Lin Feng berubah secara fundamental. Keheningan di antara mereka tidak lagi canggung atau tegang, melainkan dipenuhi oleh pemahaman yang nyaman dan keintiman yang tumbuh. Mereka masih bekerja bersama menyortir gulungan-gulungan di perpustakaan, tetapi kini sering kali diiringi oleh percakapan-percakapan pelan tentang hal-hal yang tidak penting. Lin Feng mulai bertanya, bukan untuk menguji, tetapi untuk memahami. Ia bertanya tentang teknik penyembuhan kuno Lembah, tentang A-Chen, tentang kisah cinta Ling Yue dan Wang Yue. Xiao Li menjawab setiap pertanyaan dengan sabar, berbagi warisan lembah seolah-olah ia sedang berbagi bagian dari hatinya sendiri. Para murid memperhatikan perubahan itu. Guru Xiao mereka tampak lebih ringan dengan senyumnya yang kini lebih sering mencapai matanya, da







