LOGINKehidupan di Lembah Awan Berkabut menemukan ritme barunya setelah Ling Yue kembali dari jurang Illusory Yin. Keheningan yang dulu terasa kaku di antara guru dan murid kini telah sedikit mencair, digantikan oleh pemahaman diam-diam yang jauh lebih dalam. Wang Yue tidak lagi hanya melihat seorang murid berbakat; ia melihat seseorang yang telah mengintip ke dalam jiwanya yang hancur dan tidak lari ketakutan. Dan Ling Yue, dengan persepsi barunya, tidak lagi hanya melihat seorang master yang dingin; ia melihat jiwa kesepian yang memikul beban penderitaan yang tak terbayangkan di kedalanan jiwanya.
Pagi hari tidak lagi dimulai dengan perintah yang dingin, melainkan dengan ritual yang tenang. Ling Yue akan menyeduh teh dari daun spiritual yang tumbuh di dekat Mata Air Murni, membawakan secangkir untuk gurunya sebelum mereka memulai latihan. Wang Yue tidak pernah mengucapkan terima kasih, tetapi ia selalu menerima cangkir itu, dan keheningan saat mereka minum teh bersama sudah cukup menjadi sebuah percakapan. “Nirvana Scryer telah memberimu mata untuk melihat kebenaran dunia,” kata Wang Yue pada suatu pagi, memecah keheningan. “Tapi itu tidak ada gunanya jika kau masih dibutakan oleh kekacauan di dalam dirimu sendiri. Tahap selanjutnya adalah Nirvana Cleanser-Pembersihan Nirvana.” Ia menatap Ling Yue, matanya yang dalam seolah menelanjangi setiap keraguan di hati muridnya. “Kamu akan menggunakan penglihatan barumu untuk melihat ke dalam. Kamu akan menemukan setiap ketakutan, setiap keraguan, dan setiap jejak kebencian dari masa lalumu. Dan kamu tidak boleh lari darinya. Kamu harus menghadapinya, memahaminya, dan memurnikannya dengan Qi-mu hingga yang tersisa hanyalah apimu yang murni.” Ini adalah tugas yang menakutkan. Selama bertahun-tahun, Ling Yue telah menggunakan traumanya sebagai bahan bakar. Sekarang, ia diminta untuk memadamkan api itu tanpa kehilangan cahayanya. Selama berminggu-minggu, Ling Yue menghabiskan waktunya dalam meditasi yang dalam. Ia kembali ke malam desanya dihancurkan. Dengan mata batinnya, ia melihat kembali wajah-wajah monster berkulit manusia itu, mendengar kembali jeritan-jeritan putus asa orang-orang di desanya. Awalnya, kebencian dan kemarahan yang ia rasakan begitu kuat hingga hampir membuatnya kehilangan kendali. Qi di sekelilingnya bergejolak hebat, memanaskan udara di dalam gua. Namun, ia teringat pada ajaran Wang Yue. Pahami, jangan lari. Ia memaksa dirinya untuk melihat melampaui kebencian itu. Ia melihat ketakutan di balik amarahnya. Ketakutan akan kehilangan Ling Er. Ketakutan akan menjadi lemah dan tidak berdaya lagi. Ia menyadari bahwa kebenciannya bukanlah sumber kekuatannya; itu hanyalah perisai rapuh yang menutupi ketakutannya yang paling dalam. Dengan pemahaman itu, ia mulai memurnikan emosi itu. Ia tidak menghapusnya, melainkan mengubahnya. Kebencian yang membara ia ubah menjadi tekad yang tenang. Ketakutan yang melumpuhkan ia ubah menjadi kewaspadaan yang tajam. Perlahan-lahan, badai di dalam dirinya mulai mereda, meninggalkan danau jiwa yang jernih dan tenang. Ling Er mengamati kakaknya dengan cemas. Selama beberapa minggu terakhir, Ling Yue menjadi sangat pendiam dan dingin. Ia jarang berbicara, dan senyum hangat yang biasanya menghiasi wajahnya telah lenyap. Terkadang, saat bermeditasi, Ling Er bisa merasakan gelombang Qi yang begitu panas dan penuh amarah memancar darinya, membuatnya takut. Ia tahu ini adalah bagian dari pelatihan kakaknya, tetapi ia merindukan kakaknya yang dulu. Suatu sore, ia melihat Ling Yue duduk sendirian di tepi kolam, tatapannya kosong. Ling Er memberanikan diri mendekat, membawa dua buah persik spiritual yang baru saja matang. “Kakak,” panggilnya lembut. Ling Yue menoleh, dan untuk sesaat, Ling Er melihat kekosongan di matanya. Itu membuatnya takut. “Jangan menatapku seperti itu,” kata Ling Yue, suaranya datar. “Aku hanya sedang berkonsentrasi.” Alih-alih pergi, Ling Er duduk di sampingnya dan menyodorkan buah persik yang ia bawa. “Ibu dulu bilang, tidak ada masalah di dunia ini yang tidak bisa sedikit lebih baik dengan makan persik manis.” Ling Yue menatap buah di tangan adiknya. Tiba-tiba, sebuah ingatan yang tidak ia sadari telah ia murnikan mulai muncul kembali, tetapi kali ini tanpa rasa sakit. Ingatan tentang ibunya yang tersenyum di bawah pohon persik di halaman belakang rumah mereka. Kehangatan. Cinta.Saat mereka sarapan, Xiao Li dengan santai mengambil sepotong kue talas kukus dari piringnya dan meletakkannya di piring Lin Feng. “Cobalah. Ini kue kesukaanku.” Lin Feng menatap kue itu, lalu pada Xiao Li yang makan dengan tenang di depannya seolah tidak terjadi apa-apa. Di masa lalunya, berbagi makanan adalah tanda kelemahan, menunjukkan kamu tidak bisa mendapatkan makananmu sendiri. Di sini… itu hanyalah sebuah isyarat sederhana dari kepedulian. Dengan ragu, ia memakan kue itu. Rasanya manis dan hangat, seperti sarapan yang harusnya ia nikmati saat masih kecil bersama keluarganya, sebelum tragedi. Hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, ada dinamika baru. Lin Feng menjadi pengawasi sekelompok murid yang berlatih kuda-kuda dasar. dan insting lamanya sebagai pemimpin sekte yang kejam masih kuat saat mengajar murid di lembah. “Lebih rendah!” bentaknya pada seorang murid
Lin Feng terbangun secara tiba-tiba. Bukan karena mimpi buruk atau panggilan alam, melainkan karena sensasi yang sama sekali asing, tubuh yang terasa nyeri, kehangatan yang stabil di sisinya dan keheningan total di dalam benaknya. Untuk sesaat yang panik, ia tidak tahu di mana ia berada. Instingnya yang telah ditempa selama bertahun-tahun di dunia yang kejam berteriak waspada. Insting untuk menyerang muncul dalam sekejap di benaknnya. Lalu, ingatannya kembali dalam satu gelombang yang hangat, Puncak bukit. Pengakuan yang membebaskan. Malam di mana sentuhan dan ciuman yang membuatnya tersentak. Saat matanya benar-benar terbuka, yang menyambutnya adalah wajah tampan Xiao Li yang d perbesar di depannya. Cahaya fajar yang lembut menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ruangan dengan warna keemasan. Ia masih berada dalam pelukan Xiao Li yang hangat. Pria itu masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lebih mud
“Aku mengerti,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin Lembah. “Aku mengerti ketakutan bahwa kebahagiaan ini hanya akan diambil darimu lagi. Instingmu adalah untuk membangun tembok. Tapi tembok itu tidak akan bisa melindungimu dari dirimu sendiri.” Ia menepuk lantai di sampingnya. “Kita tidak akan melakukan apa pun sekarang. Duduklah di sini bersamaku. Hanya itu. Anggap saja ini pelajaran lain. Pelajaran tentang keheningan yang aman. Tidak ada tuntutan, tidak ada bahaya. Hanya dua orang yang berbagi ruang.” Tindakan Xiao Li yang tak terduga itu memudarkan seluruh pertahanan Lin Feng. Ia mengharapkan paksaan, atau mungkin kekecewaan dari Xiao Li. Ia tidak mengharapkan kesabaran yang begitu total. Pria ini, yang baru saja ia akui cintanya, kini duduk di lantai yang dingin, menunggunya, tanpa tuntutan. Dengan ragu, Lin Feng mendekat dan duduk di samping Xiao Li. Ia duduk, tetapi menjaga jarak bebera
Beberapa minggu setelah malam yang menentukan di perpustakaan, di mana mereka berbagi beban kesepian Xiao Li, suasana di antara Xiao Li dan Lin Feng berubah secara fundamental. Keheningan di antara mereka tidak lagi canggung atau tegang, melainkan dipenuhi oleh pemahaman yang nyaman dan keintiman yang tumbuh. Mereka masih bekerja bersama menyortir gulungan-gulungan di perpustakaan, tetapi kini sering kali diiringi oleh percakapan-percakapan pelan tentang hal-hal yang tidak penting. Lin Feng mulai bertanya, bukan untuk menguji, tetapi untuk memahami. Ia bertanya tentang teknik penyembuhan kuno Lembah, tentang A-Chen, tentang kisah cinta Ling Yue dan Wang Yue. Xiao Li menjawab setiap pertanyaan dengan sabar, berbagi warisan lembah seolah-olah ia sedang berbagi bagian dari hatinya sendiri. Para murid memperhatikan perubahan itu. Guru Xiao mereka tampak lebih ringan dengan senyumnya yang kini lebih sering mencapai matanya, da
Tangannya berhenti bergerak saat ia membaca sebuah entri, yang tertanggal saat Xiao Li pertama kali tiba di Lembah. [Tanggal: Tahun Ke-33 ] > Hari ini aku menemukan anak itu, Xiao Li. Jiwanya penuh dengan badai dan kebencian. Amarahnya begitu murni dan berapi-api. Begitu mirip dengan kisah Guru Ling Yue yang pernah kudengar, dan rasa sakit Guru Wang Yue. Aku takut. Aku ragu apakah aku, yang hanya seorang pewaris, mampu membimbing jiwa yang begitu terluka. Aku melihatnya setiap hari memanggil Qi kebencian, mencoba mengubahnya menjadi kekuatan brutal. Itu adalah jalan yang ia kenal. > Tapi saat aku menatap matanya, aku tidak hanya melihat amarah. Aku melihat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam kegelapannya, sebuah potensi cahaya yang luar biasa. Aku harus mencoba. Demi dia, dan demi janji yang kuucapkan pada guru-guruku. Jika Lembah ini tidak dapat menyembuhkan kebencian yang mendasarinya, maka Lembah ini tidak memiliki
Pagi setelah malam api unggun terasa canggung dan asing. Saat Lin Feng bangun, ia menemukan jubah luar Xiao Li yang hangat terlipat rapi di kursi di samping tempat tidurnya. Ia menatap jubah itu untuk waktu yang lama, perasaan aneh yang tidak bisa ia beri nama bergejolak di dadanya. Itu adalah kehangatan yang tidak bisa ia tolak, kebaikan yang tidak ia minta. Sebagian dari dirinya ingin melemparkan jubah itu keluar jendela, menolak kebaikan yang tidak ia minta. Bagian lain dari dirinya secara naluriah tahu bahwa kehangatan ini adalah hal yang paling nyata yang pernah ia rasakan dalam dua puluh tahun hidupnya. Dengan gerakan kaku, ia mengambil jubah itu, melipatnya dengan hati-hati dan meletakkannya di atas tas bekalnya. Saat ia bertemu Xiao Li di paviliun makan pagi, ia hanya mengangguk kaku dan menghindari tatapan mata pria itu, wajahnya sedikit memerah. Lin Feng merasakan dirinya kembali menjadi seorang anak yang malu







