LOGINDi ambang pelarutan total, saat kesadarannya hampir lenyap menjadi satu dengan kehampaan, dua hal tersisa. Bukan ingatan, bukan pula kekuatan, melainkan dua konsep murni yang tak bisa dihapus oleh Yin.
Satu adalah kehendak untuk melindungi. Sebuah dorongan yang tak bernama. Yang kedua adalah kepercayaan. Kepercayaan pada sebuah janji yang pernah ia dengar. Dua konsep ini menjadi jangkarnya. Di tengah ketiadaan, ia berpegang pada dua hal itu. Dan dari sana, sesuatu yang baru mulai lahir. Kehampaan di sekitarnya berhenti melarutkannya. Sebaliknya, ia mulai melihat. Bukan dengan mata, tetapi dengan jiwa. Ia melihat alam semesta bukan sebagai objek-objek terpisah, tetapi sebagai jaring tak terbatas dari benang-benang cahaya yang saling terhubung. Ia melihat Qi yang mengalir di bebatuan, lagu sunyi yang dinyanyikan oleh bintang-bintang, dan denyut kehidupan dari setiap makhluk hidup sebagai simpul cahaya dalam jaring raksasa itu. Ini adalah dunia di balik tabir. Ini adalah Nirvana Scryer. Dengan pemahaman baru ini, ia mulai membangun kembali dirinya. Ia menarik benang-benang energi dari jaring kosmik itu, menenunnya kembali menjadi meridian, tulang, dan daging. Ingatannya kembali, bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari polanya dalam jaring itu. Kekuatannya kembali, bukan sebagai miliknya, tetapi sebagai energi yang ia pinjam dari alam semesta. Saat ia membuka matanya, ia tidak lagi berada dalam kegelapan. Ia melayang di tengah jurang, tetapi jurang itu tidak lagi kosong. Jurang itu dipenuhi dengan tarian energi yang indah. Dengan satu pikiran, tubuhnya yang baru terbentuk melayang naik, kembali ke dunia nyata. Wang Yue adalah yang pertama merasakannya. Energi Yin yang melahap di dalam jurang tiba-tiba menjadi tenang. Digantikan oleh aura yang stabil, kuat, dan sangat jernih, seolah-olah sebuah bintang baru telah lahir di kedalaman bumi. Sesosok tubuh perlahan naik dari jurang, mendarat dengan ringan di tepi tanpa menimbulkan suara. Ling Er terkesiap dan berlari ke arahnya. Itu adalah Ling Yue, tetapi juga bukan. Fisiknya sama, tetapi matanya berbeda. Matanya kini tampak lebih dalam, lebih tua, seolah-olah ia telah menyaksikan penciptaan alam semesta. “Kau berhasil,” kata Wang Yue, suaranya mengandung jejak kelegaan yang sangat tipis. “Ini adalah Nirvana Scryer. Kamu tidak hanya melihat ilusi di balik kenyataan, tetapi kamu kini dapat melihat aliran takdir itu sendiri.” Ling Yue tersenyum, senyum yang tenang dan penuh kebijaksanaan. “Saya merasa… saya bisa memegang angin, Tuan. Saya bisa mendengarkan pikiran sungai.” Ia menatap gurunya, dan senyumnya sedikit memudar. “Dan saya… saya bisa melihat.” “Bagus. Kalau begitu, gunakan kemampuan barumu itu,” kata Wang Yue, menantangnya. “Lihatlah melampaui topeng yang semua orang kenakan. Lihatlah diriku yang sebenarnya.” Ling Yue mengangguk. Ia memfokuskan pandangan barunya pada Wang Yue. Ia melihat aura kekuatan yang luar biasa, sedingin dan seagung gletser abadi. Ia melihat lapisan-lapisan Qi pelindung yang begitu tebal hingga tampak tak tertembus. Tapi di baliknya… di baliknya ia melihat sesuatu yang lain. Ia melihat jiwa Wang Yue. Jiwanya tampak seperti inti bintang yang pernah bersinar terang, tetapi kini retak dan penuh dengan bekas luka yang gelap—bekas luka dari pengkhianatan, kehilangan, dan penyesalan yang tak terhingga. Itu adalah jiwa yang hancur dan kesepian. Namun, di tengah-tengah semua keretakan itu, ada dua titik cahaya hangat yang berdenyut lembut, mencoba menyembuhkan luka-luka itu dari dalam. Dua cahaya yang baru muncul di sana. Ling Yue mengenali aura mereka. Salah satunya adalah miliknya swndiri. Dan satunya lagi adalah milik Ling Er. Pemahaman itu menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. Pria dingin ini, gurunya yang kejam, diam-diam telah membiarkan mereka masuk ke dalam hatinya yang hancur. Ling Yue menatap Wang Yue, matanya kini dipenuhi dengan kasih sayang dan empati yang dalam. “Saya melihat… seorang guru yang sangat kuat,” katanya dengan suara lembut. “Dan seorang pria yang sangat kesepian, yang membutuhkan kehangatan, Tuan.” Wang Yue membeku. Selama beratus-ratus tahun, tidak ada yang pernah bisa melihat melampaui perisainya. Kini, murid yang baru saja ia ajari ini telah menelanjangi jiwanya dengan satu tatapan. Ia merasa terekspos, rentan. Dinding es yang telah ia bangun dengan susah payah selama ini seolah retak di bawah tatapan itu. “Cukup,” katanya dengan tajam, suaranya lebih dingin dari biasanya untuk menutupi keterkejutannya. Ia berbalik. “Kembali ke latihan. Kamu masih punya empat tahap lagi untuk dikuasai di Langkah Kedua.” Tapi Ling Yue tahu. Sesuatu dalam hubungan mereka telah mulai berubah untuk selamanya.Beberapa minggu setelah malam yang menentukan di perpustakaan, di mana mereka berbagi beban kesepian Xiao Li, suasana di antara Xiao Li dan Lin Feng berubah secara fundamental. Keheningan di antara mereka tidak lagi canggung atau tegang, melainkan dipenuhi oleh pemahaman yang nyaman dan keintiman yang tumbuh. Mereka masih bekerja bersama menyortir gulungan-gulungan di perpustakaan, tetapi kini sering kali diiringi oleh percakapan-percakapan pelan tentang hal-hal yang tidak penting. Lin Feng mulai bertanya, bukan untuk menguji, tetapi untuk memahami. Ia bertanya tentang teknik penyembuhan kuno Lembah, tentang A-Chen, tentang kisah cinta Ling Yue dan Wang Yue. Xiao Li menjawab setiap pertanyaan dengan sabar, berbagi warisan lembah seolah-olah ia sedang berbagi bagian dari hatinya sendiri. Para murid memperhatikan perubahan itu. Guru Xiao mereka tampak lebih ringan dengan senyumnya yang kini lebih sering mencapai matanya, da
Tangannya berhenti bergerak saat ia membaca sebuah entri, yang tertanggal saat Xiao Li pertama kali tiba di Lembah. [Tanggal: Tahun Ke-33 ] > Hari ini aku menemukan anak itu, Xiao Li. Jiwanya penuh dengan badai dan kebencian. Amarahnya begitu murni dan berapi-api. Begitu mirip dengan kisah Guru Ling Yue yang pernah kudengar, dan rasa sakit Guru Wang Yue. Aku takut. Aku ragu apakah aku, yang hanya seorang pewaris, mampu membimbing jiwa yang begitu terluka. Aku melihatnya setiap hari memanggil Qi kebencian, mencoba mengubahnya menjadi kekuatan brutal. Itu adalah jalan yang ia kenal. > Tapi saat aku menatap matanya, aku tidak hanya melihat amarah. Aku melihat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam kegelapannya, sebuah potensi cahaya yang luar biasa. Aku harus mencoba. Demi dia, dan demi janji yang kuucapkan pada guru-guruku. Jika Lembah ini tidak dapat menyembuhkan kebencian yang mendasarinya, maka Lembah ini tidak memiliki
Pagi setelah malam api unggun terasa canggung dan asing. Saat Lin Feng bangun, ia menemukan jubah luar Xiao Li yang hangat terlipat rapi di kursi di samping tempat tidurnya. Ia menatap jubah itu untuk waktu yang lama, perasaan aneh yang tidak bisa ia beri nama bergejolak di dadanya. Itu adalah kehangatan yang tidak bisa ia tolak, kebaikan yang tidak ia minta. Sebagian dari dirinya ingin melemparkan jubah itu keluar jendela, menolak kebaikan yang tidak ia minta. Bagian lain dari dirinya secara naluriah tahu bahwa kehangatan ini adalah hal yang paling nyata yang pernah ia rasakan dalam dua puluh tahun hidupnya. Dengan gerakan kaku, ia mengambil jubah itu, melipatnya dengan hati-hati dan meletakkannya di atas tas bekalnya. Saat ia bertemu Xiao Li di paviliun makan pagi, ia hanya mengangguk kaku dan menghindari tatapan mata pria itu, wajahnya sedikit memerah. Lin Feng merasakan dirinya kembali menjadi seorang anak yang malu
Lin Feng tersentak, refleks bertarungnya seketika muncul. Ia berbalik, dan mendapati Xiao Li telah berdiri di belakangnya entah kapan tanpa ia sadari. Xiao Li tidak datang untuk memarahinya karena menguping, ia hanya berdiri di sana, juga menatap ke arah api unggun. “Malam ini kami berbagi cerita,” kata Xiao Li. “Tidak ada pelajaran, tidak ada latihan. Hanya kehangatan dan kebersamaan. Maukah kamu bergabung dengan kami?” Insting pertama Lin Feng adalah menolak. Menolak kehangatan. Menolak kelemahan. Ia ingin melarikan diri dari kehangatan yang terasa asing dan mengancam ini. Tapi ia mendapati dirinya tidak bisa bergerak. Ia hanya memberikan anggukan yang nyaris tak terlihat. Mereka tidak bergabung ke tengah kerumunan. Xiao Li menuntunnya ke sebuah bangku batu yang sedikit menjauh, cukup dekat untuk mendengar dan merasakan kehangatan api, tetapi cukup jauh untuk tetap berada dalam bayang-bayang.
Beberapa minggu berlalu dalam rutinitas yang sunyi. Lin Feng, atas instruksi Xiao Li, terus melanjutkan "latihan" sederhananya, merawat kebun di pagi hari, dan bermeditasi di tepi sungai di sore hari. Ia tidak lagi melakukannya dengan amarah yang tertahan, melainkan dengan kekosongan yang membingungkan. Siapakah aku? Pertanyaan itu menghantuinya selama berjam-jam. Tanpa kebencian sebagai kompasnya, ia merasa tersesat. Tanpa pedangnya, tangannya terasa ringan, dan jiwanya terasa mati. Ia akan menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan menatap aliran air, pikirannya melayang kosong, mencoba mencari jejak ambisi lamanya, tetapi hanya menemukan bayangan samar. Namun, dalam kekosongan itu, ia mulai memperhatikan. Suatu pagi, saat ia sedang menggemburkan tanah di taman herbal miliknya, seorang murid muda, Li Xia, yang bertanggung jawab atas irigasi, tersandung dan menjatuhkan ember airnya yang berat, membasahi area kebun milik Lin Feng. Lin Feng secara naluriah menegang. Dalam hid
Xiao Li melangkah lebih dekat. “Aku ingin kamu menemukan kembali Lin Feng, sang manusia yang berduka, sebelum kamu bisa menjadi sesuatu yang baru. Melepaskan pedang itu adalah melepaskan identitas lamamu. Itu adalah pengorbanan yang harus kamu lalui.” Pengorbanan? Pedang ini telah menjadi bagian dari diriku sejak malam tragedi itu. Pedang ini adalah simbol dari sumpahnya, perwujudan dari kekuatannya, satu-satunya teman setianya dalam kesunyian. Melepaskannya terasa seperti pengkhianatan terakhir pada dirinya yang lama. Terasa seperti… mati. Ia menatap Xiao Li, mencari tanda-tanda tipu muslihat. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan yang tenang. Pria ini tidak mencoba melucuti senjatanya. Ia mencoba melucuti kebenciannya. “Jika aku meletakkannya,” kata Lin Feng, suaranya bergetar dengan emosi yang tertahan. “Apa yang tersisa dariku? Aku… aku tidak tahu bagaimana tanpa dia.” “Kamu a







