Share

4. Secret

#4. Secret

šŸ‹Selamat MembacašŸ‹

Canggung, itulah yang cocok untuk suasana saat ini. Beby tidak tahu kenapa Rehan bisa datang ke kontrakan dengan keadaan cukup mengenaskan. Wajah penuh lebam dan pakaian kusut.

Rehan tengah mengompres lukanya sendiri dengan air es yang sudah Beby siapkan di tambah handuk kecil. Sesekali terdengar ringisan dari mulut Rehan.

   "Jadi, kenapa kau datang kesini dengan luka?"

   "Maaf," ucap Rehan.

Bukan itu yang ingin Beby dengar. Kata maaf tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Masih dalam keadaan diam.

   "Aku baru saja putus," ucap Rehan.

   "Umm.... Kenapa? Kalian kan udah pacaran hampir 5 tahun deh,"

   "Selingkuhan."

   "Oh, Rena selingkuh."

   "Kok responnya biasa aja sih? Kaya udah tau gitu?"

   "Emang udah tau!"

   "Kalo udah tau kenapa nggak cerita?!"

   "Kenapa harus cerita?"

   "Ah iya, kenapa juga kau harus cerita."

Rehan terdiam. Ia tidak bisa membalas perkataan Beby, karena pada akhirnya tetap ia yang akan kalah.

   "Kau juga nggak cerita apa-apa kan? Bahkan mengatakan alasan datang juga nggak cerita sama sekali," ucap Beby.

   "Aku hanya teringat Rio, terus nggak sadar udah ada di depan kontarakanmu."

   "Itu nggak jadi alasan yang bagus."

   "Iya, kau benar."

   "Padahal baru sore tadi kau pergi tanpa menjelaskan apapun, dan kenapa datang kesini?"

   "Iya yah? Kenapa aku datang kesini?"

Beby menghela napas berat. Ia tidak habis pikir dengan apa yang Rehan pikiran. Entah ia memang membencinya atau pura-pura membeci? Jika membenci kenapa sekarang ada disini? Itu sangat aneh.

   "Aku nggak tahu apa pun yang kau sembunyikan, kebenaran tentang kematian Rio dan hal lainnya."

   "Apa kau akan ke makamnya?" tanya Rehan tiba-tiba.

   "Ingin, tapi bukankah aku hanya akan merusah suasana? Orang tua Rio pasti masih sangat membenciku."

   "Maaf."

   "Haha.... selalu saja kata itu yang keluar dari mulutmu, dan akhirnya kau tetap diam menyembunyikan segalanya."

Rehan benar-benar merasa sangat bersalah. Ia mengigit bibir bawahnya untuk tidak mengatakan apa pun. Ia belum bisa menerima kenyataan pahit. Ia juga tidak ingin melukai Beby lebih dari ini.

Rehan menatap halaman kontrakan Beby. Tertata rapi dengan pot bunga mawar. Kemudian ia lirik wajah Beby.

   "Apa?" tanya Beby yang merasa ditatap.

   "Apa itu bunga yang sama tiga tahun lalu?" tanya Rehan.

   "Iya, kenapa?"

   "Engga nyangka, masih ada sampai sekarang."

   "Iya, tanmannya tumbuh subur walau pemilik aslinya sudah tiada."

   "Itu terdengar menyeramkan, Beby!"

   "Hahaha, masih jadi penakut?"

   "Sudahlah, jangan dibahas lagi!"

Beby sedikit tertawa karena terhibur. Ia tidak menyangka bahwa Rehan masih jadi pria penakut yang takut dengan hal gaib.

   "Beby."

   "Hm?" Beby menoleh.

   "Maaf, aku belum siap untuk mengatakan kebenarannya, tapi aku cuma ingin bilang jangan salahlan dirimu sendiri, kematian Rio bukan salahmu, itu tindakan bodohnya saja!"

   "Aku enggak ngerti, dulu kau selalu menekan bahwa aku penyebab kematian Rio, kenapa setelah sekian lama kau malah mengatakan itu bukan salahku?"

   "Maaf, saat itu aku belum bisa menerima kenyataan, Rio adalah sahabatku, kau mengerti itu kan?"

   "Iya aku tahu itu, tapi mau kau katakan bagaimana pun tetap, aku memiliki peran sebagai penyebab kematiannya."

Rehan menghela napas berat. Ia sudah mengatakan berkali-kali, tetapi tetap saja Beby merasa dia penyebabnya.

   "Ah sudahlah, intinya aku sudah mengatakannya!"

   "Tapi kau belum menjelaskannya!"

   "Iya, sorry!"

Rehan dibuat uring-uringan karena perkataannya selalu dikembalikan. Ia tidak pernah akan menang saat ini jika berargumen dengan Beby.

   "Rehan."

   "Apa?"

   "Aku bertemu dengan seseorang."

   "Iya terus?"

   "Udah, cuma mau bilang itu."

Beby tertawa kala melihat ekspresi Rehan yang kesal. Sudah sangat lama sekali ia bisa bercanda dengan Rehan. Mungkin dulu ia bisa merasakan moment ini dengan Rio, tapi semua hilang ketika Rio memilih mengakhiri hidupnya. Di waktu itu pun semua moment yang indah menjadi pudar dan terasa menyakitkan.

   "Ah, sudahlah! ini sudah malam, aku pulang."

   "Silakan!"

   "Sialan!"

Beby membereskan baskom isi air es itu dan Rehan pergi menjauhi kontrakan Beby. Sekali lagi ia menoleh ke arah pot itu dan menghela napas berat.

   "Kok ada orang bego kaya Rio?" gumamnya sendiri.

***

Di sebuah kamar dengan interior monochrome, Dewa berdiri di dekat jendela. Menatap langit malam yang selalu tak berbintang. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, menemani malam yang selalu terasa dingin. Sesekali ia tersenyum seakan mengejek dirinya sendiri. Menatap tangan yang baru saja mengulurkan tangan untuk saling mengenal.

   "Benar-benar beda," gumamnya sendiri.

Ceklek.

Pintu terbuka tanpa ada permisi. Disana sudah ada Angel dengan wajah kesal. Dewa yang bersandar dengan santai langsung merubah posisinya lebih tegak.

   "Harusnya sebagai wanita terpelajar tahu etika," ujar Dewa, sinis.

   "Dan harusnya sebagai pria terhormat bisa menghargai wanita!" balas Angel.

   "Tentu, aku sangat menghormati wanita."

   "Menghormati bagaimana? Dengan membuang hadiah yang sudah disiapkan dan membiarkan pasangannya pergi sendirian ke pusat kota?"

   "Aku tidak pernah merasa punya pasangan." 

   "What?! Lalu kau anggap aku ap?!!"

   "Pengganggu."

   "Acara pertunangan sudah ada di depan mata dan kau anggap aku pengganggu? Dasar gila! Akan aku adukan ini pada Mom!!"

   "Silakan," jawab Dewa, tegas.

Angel tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Dewa dengan santai menanggapi amarahnya. Wajahnya merah karena marah. Ia keluar dengan menahan tangis.

BRAK!

Pintu dibanting. Dewa hanya menghela napas jengah dengan tingkah Angel. Ia tidak tahu siapa yang memulai dan mengeklaim pertunangan begitu saja. Bahkan ia masih ingat dengan jelas satu tahun yang lalu, cintanya kandas oleh pengkhianatan. Dewa menikmati secangkir kopinya yang mulai dingin. Dengan tangan kanannya ia langsung teringat kembali betapa itu pertama kalinya lagi ia menggenggam tangan seorang gadis. Rasanya sangat aneh mengingat ia sendiri yang mengawalinya.

TRING!

Sebuah email masuk, Dewa meliriknya sekilas. Bisa ia lihat pengirim email tersebut, KL Corporation. Baru kali ini email perusahaan itu mengirim secara pribadi. Ia buka email itu, namun bukan hal penting, itu hanya ajakan pribadi dari pemilik perusahaan.

***

Di sebuah Bar, seorang wanita dengan gaun merah berkerah rendah duduk sendirian dekat bartender. Segelas wine belum habis lebih dari setengahnya. Pakaian yang super sexy itu tentu menarik perhatian banyak pria. Tidak jarang pria-pria mengajaknya berdansa, menikmati alunan musik DJ yang keras namun mengasikkan.

Hingga sosok pria berpakian casual dan santai datang. Wajahnya begitu tegas dan tetap menunjukkan wibawa yang besar.

   "Hai, baru datang? Biasanya aku yang selalu buatmu menunggu," ucapnya dengan suara cukup menggoda.

   "Ada apa?" tanya Dewa tanpa basa basi.

Wanita itu tertawa, ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dingin seperti ini padanya.

   "Aku dengar kau tidak akan datang di acara perusahaanku."

   "Memang."

   "Kenapa? Takut sakit hati melihat aku dengan Dio?"

   "Tidak."

   "Lalu? Kenapa tidak datang?"

   "Kau tidak perlu tahu."

   "Kenapa aku tidak perlu tahu?"

   "Tentu saja tidak ada hubungannya denganmu."

Sekali lagi wanita itu tertawa.

   "Kau memintaku datang kesini hanya untuk pertanyaan bodoh ini?"

   "Kenapa? Tidak suka?"

   "Dasar bodoh!"

Dewa langsung pergi tanpa memesan apapun.

   "Aku mencintaimu Dewa! Aku masih mencintaimu!" Ucapnya dengan lantang.

   "Dasar wanita murahan," ucap Dewa dengan wajah dinginnya.

Wanita itu langsung menghabiskan sisa wine itu sekali minum. Ia langsung mengejar Dewa yang sudah keluar dari Bar.

   "Dewa! Dewa!" panggilnya berkali-kali.

Dewa berjalan entah kemana. Dengan langkah besar dan cepat. Sedangkan wanita itu susah payah mengejar dengan heels merah yang cukup tinggi.

***

Beby menatap pot bunga yang sudah ia rawat selama tiga tahun penuh. Semakin lama ia rawat, luka di hatinya semakin terasa perih dan bernanah. Besok adalah hari kematian Rio yang ke tiga tahun. Semua keluarga Rio akan pergi ke makamnya, sedangkan ia tidak mungkin bisa. Ia hanya akan merusak suasana ziarah.

Beby memetik tiga tangkai bunga itu, sebelum memilih pergi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dengan keberaniannya, ia berjalan sendiri menelusuri trotoar. Hingga tepat diatas jembatan berdiri. Sungai besar ada di bawah sangat menakutkan.

   "Bagaimana bisa kamu berani melompat di tempat ini," gumam Beby sembari menatap bunga mawar itu. Jaket ia rekatkan karena udaranya sangat dingin.

   "Dewa! Tunggu!! Jangan pergi dulu! Dewa!" teriak seorang wanita.

   "Jangan ikuti aku jalang!" maki Dewa.

   "Aku serius Dewa!" teriaknya lagi.

Beby yang berada di tengah jembatan, menyipitkan mata untuk melihat wajah orang-orang yang tengah berjalan cepat kearahnya. Namun berhenti sejauh lima meter di depannya.

   "Aku akan menjadi pria bodoh jika mempercayai perkataan jalang seperti mu!"

   "Haruskan aku mati demi kamu?! Aku rela melompat dari jembatan ini de-PLAK!

Sebuah tamparan mendarat begitu keras dipipi wanita itu. Bukan Dewa pelakunya melainkan Beby.

   "Jangan pernah mengatakan kematian dengan begitu mudah!"

   "Siapa kau?! Beraninya menaparku!!"

   "Anda tidak akan pernah tahu bagaimana perasaan orang-orang yang akan kehilangan anda dan sosok yang akan disalahkan atas kematian anda!! Kalaupun Anda ingin bunuh diri jangan pernah bunuh diri di tempat ini!" Beby sudah hilang akal.

Tubuhnya bergetar, tangisannya pecah begitu saja. Bunga mawar yang ia pegang melukai tangannya karena duri yang tidak dibersihkan.

   "Hei kenapa kau yang menangis disini?!" wanita itu kebingungan.

Amarah wanita itu mereda, digantikan oleh rasa bingung. Ia pun mendekati Beby, namun sebuah tangan menepisnya.

   "Biar saya yang urus, anda silakan pergi!" ucap Dewa.

Dengan ragu wanita itu pergi, ia ingin mengatakan sesuatu namun pikirannya melayang pada kata-kata Beby. Mau tidak mau pun ia pergi tanpa berkata apa pun.

Dewa mengusap bahu Beby, menenangkan tangisannya yang terdengar begitu pilu.

Tidak begitu lama Beby menghentikan tangisannya, perasaannya pun sedikit tenang.

   "Anda tunggu disini sebentar!" pinta Dewa, pergi.

Beby sendiri hanya mengangguk dan berdiri menatap sungai gelap dibawah. Ia tidak ingin membayangkan kasus yang sama terjadi lagi disini. Cukup ia yang mengalami hal mengerikan itu. Tidak lama kemudian Dewa datang dengan beberapa perban dan obat merah.

   "Ya ampun, anda tidak perlu membeli ini, cukup di beri ludah nanti juga sembuh," ujar Beby.

   "Anda pelawak? Mana ada luka yang sembuh dengan ludah?"

   "Tidak percaya? Coba aja sendiri."

Cara bicara yang formal dengan pembahasan absurd memang aneh. Namun ketidak akraban masih berdiri kokoh. Layaknya pegawai dan pelanggan masih terasa.

   "Seorang gadis berdiri di jembatan tengah malam, sangat menyeramkan," ujar Dewa.

   "Lebih menyeramkan lagi pertengkaran antara pria dan wanita di pinggir jembatan, takut dari salah satunya lompat," balas Beby.

   "Rasanya sangat aneh, membahas hal absurd dengan panggilan formal."

   "Anda bisa memanggil saya Beby."

   "Oke, Beby yah...."

   "Yaps, itu panggilan saya."

   "Kalau begitu panggil aku Dewa."

   "Dewa, nama yang terkesan agung yah."

   "Itu masih lebih baik dibanding nama yang ambigu."

   "Apa maksudnya?"

   "Nama kamu sangat ambigu."

   "Dari sisi?"

   "Siapapun pasti akan salah paham ketika seorang pria memanggil dengan panggilan Beby."

Beby yang mendengar itu langsung tertawa. Bukan hal aneh baginya mengenai itu. Karen kesalahpahaman itu sering ia alami.

   "Oh, itu? Sudah biasa, lagian kalaupun dipanggil Mayang, sama saja! Pasti orang juga manggilnya 'Yang' kaya panggilan 'Sayang' iya kan?"

   "Sekarang sudah membaik?" Dewa menahan senyumnya.

Beby yang mengerti maksud pertanyaan itu, langsung tersenyum dan mengangguk.

   "Terima kasih, sekarang aku merasa lebih baik."

   "Baguslah."

   "Kayanya yang tidak baik-baik saja anda, ah bukan maksudnya Kak Dewa,"

   "Kok aku?"

   "Pacar Kak Dewa masih marah kan tadi."

   "Bukan pacar, cuma jalang!"

   "Haaahh, tetap aja kan? Kak Dewa yang masih ada masalah dan nggak baik-baik aja?"

   "Aku baik-baik aja Beb."

Dewa masih merasa sedikit aneh kala memanggil nama Beby. Baru kali ini ia memiliki kenalan dengan nama yang seambigu itu.

Beby membelakangi sungai dan menatap jalanan yang kosong. Hanya sesekali mobil lewat dengan kecepatan tinggi.

   "Lagian apa sih masalahnya? Sampe cewek tadi mau bunuh diri segala?"

   "Secret."

   "Oke, aku tidak akan menanyakan apapun."

Beby menghela napas dan mentap bunga mawar yang masih digenggamnya. Sesekali ia menatap jam tangan.

Tepat tengah malam ia langsung membalikkan tubuhnya. Ia menatap sungai dibawah yang bahkan tidak terlihat karena gelap.

   "Selamat tinggal," gumamnya.

Bunga mawar itu ia lempar setelah mengucapkan kalimat perpisahan. Wajah Beby begitu sendu. Dewa menatap wajah itu dengan intens. Begitu terlihat sebuah perasaan kelam di wajah itu.

   "Apa yang terjadi?"

   "Hah?" Beby terkejut.

   "Apa yang terjadi, sampai harus menampakkan wajah seperti itu?"

Beby mengerti maksud Dewa. Ia langsung menghela napas berat dan tersenyum seakan tidak ada apa-apa.

   "Bukan apa-apa," jawabnya.

   "Setelah ini, kamu mau apa?"

   "Pulang, besok juga harus bekerja pagi-pagi."

   "Aku antar."

   "Nggak perlu, aku akan pulang sendiri."

   "Aku akan menjadi pria cupu kalau membiarkan gadis muda sepertimu pulang sendiri."

   "Bukannya wanita tadi juga pulang sendiri?"

   "Kehidupan malam adalah dunianya, jadi dia akan baik-baik aja."

   "Sepertinya Kak Dewa sangat membencinya."

   "Amat sangat."

   "Ah sudahlah, terserah Kak Dewa," ucap Beby mulai berjalan untuk pulang.

Dewa mengikuti dari belakang. Menatap punggung kecil itu. Di ujung jembatan ia menoleh ke arah jembatan itu.

   'Apa yang buat kamu terasa begitu pilu?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status