POV DETEKTIF JOHAN
Menyelidiki Dark Lantern, membuatku tenggelam dalam sebuah kenyataan yang bertentangan dengan logikaku sendiri. Semakin banyak aku menggali informasi, aku seperti menapaki jalan menuju kegelapan. Kadang merasa kalau saat ini aku terbawa pada sebuah kisah fiksi dan sedang berusaha untuk memahami apa yang terjadi di sekelilingku, semakin aku meragukan keberadaan sekte ini, semakin banyak bukti yang aku dapatkan. Aku membaca sebuah nama yang ada dalam artikel itu. Nama itu mengantarkan aku pada sebuah ingatan dalam kasus tujuh belas tahun yang lalu, Thomas van Bosch. Apa hubungannya dengan William van Bosch, jasad yang dulu kami temukan?
Banyak pertanyaan yang ingin segera terjawab, aku pun menuju ke kantor Inspektur James, rupanya dia sudah menunggu-nunggu kedatanganku.
"Hai Piere. Bagaimana kabarmu?" sapa inspektur James yang menyambutku di kantornya.
"Aku baik-baik saja. Aku bu
POV Detektif Johan Keluar dari kantor kepolisian, aku melajukan mobilku melewati jalan utama menuju rumahku. Hiruk pikuk jalanan masih saja tetap ramai walau hujan mengguyur deras, hingga jalanan macet. Beberapa kendaraan mulai membunyikan klakson dengan tidak sabar, begitu pun denganku. Perhatianku teralihkan saat seorang anak laki-laki berlari ketakutan, dia tak menghiraukan jalanan yang sedang macet, terus berlari dengan menyelip di sela-sela mobil. Aku memperhatikan anak laki-laki itu, di belakang dia, beberapa orang mengejar. Orang-orang yang memakai setelan jas hitam, mirip seragam para agen rahasia. Buat apa mereka mengejar satu orang anak dengan melibatkan beberapa orang personil? Rasa penasaran membuatku langsung membawa mobilku menepi, hingga mobil dibelakangku membunyika klakson. Tapi tak aku pedulikan. Setelah kuparkir mobil dibahu jalan, aku langsung mengejar kelima orang yang berpakaian jas hitam
POV Detektif Johan Setelah terlebih dulu menghubungi Robert dan membuat janji bertemu, aku pun berangkat dengan mengendarai motor. Robert mengajakku bertemu di taman kota, dia sudah menungguku sambil minum kopi dan sepotong roti ditangannya. Dia tampak santai dan tenang, tak ada yang mengira kalau ketenangannya hanyalah kamuflase dari pekerjaannya membunuh. "Halo Detektif Johan, silakan duduk," sambutnya saat melihatku datang dan mempersilakanku duduk di bangku taman bersamanya. "Sorry, kalau kemarin sambutannya tidak menarik. Tapi itulah pekerjaan kami, membunuh orang," lanjutnya sambil tersenyum kecil. "Bagaimana bisa kalian melakukan itu? Sedangkan negara kita dilindungi oleh hukum," tanyaku sambil mengerutkan kening. "Hahaha..., anda belum paham tentang tugas kami," kata Robert lalu kembali meminum kopinya. "Ya, karena menurutku tindakan anda berlebihan," kataku tak menu
POV MARIA Liburan natal dan tahun baru tinggal beberapa waktu lagi, rencana liburan pun sudah kubicarakan dengan ayah dan bundaku. Namun sebelum itu, aku harus melewati ujian UAS yang di mulai hari ini. Aku sudah berusaha mempersiapkannya, tapi entahlah apa aku bisa mengerjakannya dengan baik ata tidak, yang jelas aku berusaha sekuat tenaga untuk UAS ini. Hampir semua peserta ujian di ruanganku terlihat berkonsentrasi untuk bisa mengerjakan soal-soal, mereka terlihat stress, termasuk aku. Hanya Ray, dia terlihat tenang mengerjakan soal ujian itu. maklum sih dia kan selalu jadi juara satu di angkatanku, dasar kutu buku! Kadang aku merasa kesal bila ada orang yang lebih pintar dariku, tapi dengan kepintaran Ray, aku hanya diam-diam berdecak kagum. Waktu ujian baru berlalu 30 menit, disaat aku dan yang lainnya semakin tenggelam dalam soal-soal yang begitu rumit, Ray dengan santai sudah melenggang ke depan kelas dan mengumpulka
POV MARIA Teriknya panas matahari siang ini, membuatku berjalan melewati rute yang berbeda dari biasanya. Aku melewati gang sempit yang jarang bahkan seingatku baru kali ke dua dengan sekarang melaluinya. Sebuah gang yang memisahkan dua buah gedung tinggi, jalan pintas yang lebih cepat untuk sampai ke stasiun monorail. Baru beberapa puluh langkah aku berjalan di gang, aku merasakan hawa dingin yang sangat aneh. awalnya aku sempat berpikir kalau hawa dingin ini mungkin dari pengaruh dari kelembaban udara karena kurangnya sinar matahari yang mampu menembus ke gang kecil ini. Namun perasaanku mulai tak menentu ketika sudah berada di tengah-tengah gang, hawa dingin terasa mulai menusuk-nusuk kulitku. Ada perasaan takut menyelinap ke dalam hatiku, apalagi saat aku merasa ada bayangan yang berkelebat di belakangku. Aku pun mempercepat langkah kakiku, sambil sekali-sekali melihat ke belakang. takut ada orang yang mengikuti dan berniat jah
POV MARIA Kami memasuki gang kecil diantara gedung tinggi itu, sebenarnya rasa takut masih menguasai hatiku, namun aku coba berani karena ada Ray di sampingku, apalagi tangan kami masih saling menggenggam. Langkah demi langkan aku berjalan memasuki gang, tapi aku merasakan suasana yang berbeda dari saat tadi aku sendiri. Hawa dingin tak terasa lagi, balok-balok es itu pun tak terlihat bahkan jalan yang aku injak pun semuanya kering tak ada bekas air ataupun es yang mencair. Ada apa ini? Pikiranku bertanya-tanya tak mungkin jalanan ini bisa kering dalam waktu cepat. "Mana?" Tanya Ray dengan suara pelan. "Tadi ada kok di sekitar sini, aku jelas banget melihat balok-balok es itu " kataku dengan agak kebingungan. Mataku masih terus mencari keberadaan balok-balok es itu, namun tak dapat kutemukan sama sekali, baik itu balok es nya ataupun bekasnya yang berupa tetesan air. Aku tak mungkin salah liha
POV RAY Aku tak menyangka bila hari ini, jadi hari yang mungkin saja terakhir bagiku bila aku tak mengambil tindakan yang sebenarnya tak aku inginkan. kejadiannya berawal saat aku pulang dari sekolah. Selesai menjalani UAS hari ini, aku tidak langsung jalan pulang. Aku mampir dulu ke toko buku untuk membeli dua buah buku yang sudah lama ngantri untuk aku baca. Soal-soal UAS hari ini, aku mampu menyelesaikannya dengan cepat, jadi satu kesempatan bagus untuk membaca buku, sebelum aku bersiap untuk menghadapi pelajaran fisika dan bahasa inggris untuk UAS esok hari. Kedua pelajaran yang paling aku suka, Karena dalam pelajaran fisika aku banyak mempelajari tentang kekuatanku, hingga aku bisa banyak mengembangkan kekuatanku, bagaimana meengendalikan air dan es menjadi salju. Keluar dari toko buku, sepintasan aku melihat beberapa orang dengan pakaian jas hitam membuntuti. Orang-orang berpakaian seperti itu dulu pernah aku
POV Maria Suasana hatiku sudah berganti, perasaan aman mengalir dan memenuhi setiap sudutnya. Keberadaan Ray yang duduk manis di ruang tamu memberi nuansa yang lain hingga kusadari kalau aku harus membersihkan diri terlebih dulu. "Ray, tak apa kan kalau aku tinggal sebentar," kataku sambil menatap Ray. "Loh.., emang kamu mau ke mana Mar?" Tanya Ray balik menatapku. Kedua pasang mata kami saling bertemu, debaran jantungku semakin tak menentu. "A..., aku gak ke mana-mana kok Ray, hanya ingin membersihkan diri dulu, gak enak banget nih habis keringatan," jawabku sambil mengibas pelan telapak tangan kanan ke tubuhku. "Ohh sebentar, aku panggilkan adikku ya?" "Justinn...!" teriakku memanggil Justin, yang baru beberapa menit lalu datang namun langsung masuk ke kamarnya. "Nggak apa-apa kan kamu di temani sama adikku dulu?" tanyaku pada Ray. "Apa sih Kak,
POV Maria Debaran jantungku semakin tak menentu, bahkan aku membayangkan, andai yang ada saat ini adalah Andre pacarku. Suasana hujan, di rumah hanya kami berdua. Ahhh..., Dre pasti kamu sudah memeluk dan mendekap aku dengan hangat lalu kami terhanyut dalam ciuman panjang yang penuh gairah... "Hai Maria..., Kamu nggak apa-apa?" suara Ray menyadarkan aku dari khayalan indah penuh kehangatan dengan Andre. "Ehhh..., Iy.., iya Dre ehh Ray. aku nggak apa-apa," jawabku tergagap dan salah menyebutkan nama. "Kamu kok nggak duduk? Dari adikmu pergi kamu malah berdiri saja di situ, sampai Aku selesai baca satu bab di novel ini kamu masih saja berdiri, ngak pegel tuh?" kata Ray yang sukses membuat pipiku memanas karena rasa malu, kepergok berkhayal depan Ray. "Yee..., gak selama itu kali, aku hanya sedang lihat kamu saja yang asyik banget bacanya," kataku mencoba membantah omongan Ray.