POV MARIA
Namaku Maria, anak pertama dari seorang detektif ternama bernama Johan Maheswara. Hari ini usiaku genap 17 tahun. Pagi tadi Ayah, Bunda dan adikku Justin memberikan kejutan yang bagiku luar biasa. Ayah memberiku hadiah sebuah arloji kinetik yang memang sudah lama sekali aku ngebet untuk memilikinya, namun harganya selangit bagiku, ibaratnya uang jajanku selama dua tahunpun belum tentu bisa kebeli. Ehh..., siapa sangka ayahku yang membelikanku sebagai hadiah ulang tahun.
Arloji yang sangat cantik, karena ada untaian seperti kristal di angka 12, 3, 6 dan 9. Lagipula jam ini tak memerlukan batteray. Itulah yang aku suka, jadi langsung kupasang manis di pergelangan tangan kiriku.
Berangkat sekolah Aku terbiasa naik monorail dan disambung dengan jalan kaki. Sekolahku tak jauh sih dari pemberhentian monorail portable. Hingga Aku bisa sempatkaan menyapa teman-teman yang juga memang naik monorail.
"Maria!" Panggil seorang temanku.
"Hai, Retno. Pagi!" Jawabku sambil kukembangkan senyum manisku.
"Pagi, eh Mar, boleh dong minta contekkan matematikanya, pliiiiss," kata Retno tanpa basa-basi lagi dengan wajah menghiba.
"Yehh..., kenapa emangnya? Belum ngerjain?" tanyaku.
"Aku lupa! hehehe," katanya sambil nyengir.
"Yaelah, emangnya kemarin ngapain aja?" Kataku setengah meledek dan pura-pura kesal padanya.
"Ayolah Mar, ya ya ya?" Retno melancarkan jurus minta dikasihani olehku.
"Ya udah deh," kataku sambil menahan senyum melihat kelakuan temanku ini.
Setelah mengeluarkan buku matematika dari tas, aku segera masuk ke halaman sekolah dan langsung menuju ruang kelas. Baru saja kaki kananku melewati pintu kelas, seorang siswa laki-laki menghampiriku dan berkata dengan keras, "Maria...., happy birthday!" Yang sukses membuat pandangan seluruh teman-teman sekelasku tertuju hanya padaku.
"Eh.. Andre!" Jawabku sambil agak terkejut, apalagi ketika Andre langsung memberikansebuah kado berukuran kecil yang terbungkus rapi dengan kertas warna pink dengan gambar hati dan simpul pita melilit indah.
"Waduuh..., apa isinya?" Tanyaku penasaran.
"Tenang aja, bukan cincin pertunangan kok," gurau Andre, dengan senyum mengembang diwajahnya.
"Cieeee...ciee....," Retno dan seisi kelas pun menggodaku.
"Ehemm..., yang inget ulang tahun sayangnya!" Ledek Retno pada Andre dengan senyum menggodanya.
"Ya iyalah inget, kalau nggak inget bisa kena bogem mentah nanti aku," jawab Andre tak mau kalah.
Andre ini, pacarku. Kami baru jadian beberapa minggu yang lalu. So sweet banget dia masih ingat ulang tahunku.
"Hihihi, makasih ya," kataku, aku yakin pasti kedua pipiku ini memerah yang menandakan aku malu namun senang.
"Selamat Ulang Tahun Maria!" Suara koor teman- teman sekelas pun serempak mengucapkannya untukku.
"Makasiiiihhh ya semua...," kataku. Ada rasa haru memenuhi hatiku.
Apalagi ternyata tak hanya teman-teman sekelas yang heboh, para guru pun ikut memberiku selaamat. Setiap guru yang mengajar ke kelasku, sebelum memulai pelajaran, mereka ngucapin selamat ulang tahun padaku. Bahkan teman-teman dari kelas lain juga mengucapkan selamat. Hihihihi, "apa pesonaku sebegitu dahsyatnya kah?"
Namun dari semua teman sekelasku, ada satu orang siswa yang tetap diam dan tidak mengucapkan selamat kepadaku. Namanya Ray, anaknya penyendiri, tapi biarpun dia begitu, orangnya baik kok. Hanya saja Ray tak pandai bergaul atau lebih tepatnya tidak ada niat, dia lebih disibukkan dengan dunianya sendiri. Ray selalu menjadi juara umum di sekolahku, dia menguasai seluruh pelajaran di kelas. Sayangnya aku tak bisa akrab dengan dia, aaku sering dibikin kikuk dengan sorot matanya itu tajam, seolah-olah ingin menusuk jantungku. Jadi sebisa mungkin aku berusaha menghindar untuk beradu pandang atau berbicara denganya.
Aku tahu, Ray tak pernah merayakan ulang tahun, bahkan katanya dia sendiri tak tahu tanggal dan bulan apa dilahirkan. Tanggal lahir yang Ray gunakan hanya perkiraan dari pemilik panti asuhan KASIH IBU, dimana dia dibesarkan selama ini, karena dia adalah anak yatim piatu. Jadi wajar saja sih kalau dia tidak mengucapkan selamat kepadaku. Sekilas Ray hanya menoleh ke arahku ketika aku memotong kue ulang tahun pemberian teman-temanku, dia mengangguk tanpa sedikitpun memberikan senyumnya, dan Aku membalas anggukannya itu.
Kalau diperhatikan, Ray termasuk cowok yang ganteng. Beberapa siswi ada yang berusaha untuk bisa dekat dengan dia, namun type seperti dia yang sukanya menyendiri dan tak banyak bicara, membuat para siswi kecewa dengan sikap dinginnya. Ujung-ujungnya tersebar gosip kalau dia itu punya kelainan. Hah... tapi bodo amat deh! Hihihi....
POV RAYAku berlari menghampiri Azazel yang masih berlutut di depan kursi kebesarannya. Tanpa banyak berkata lagi aku menerjang dengan pukuran dan tendangan yang yang bertubi-tubi. Dia sekarang tak lebih dari seorang manusia pengguna elemen, kekuatan yang ada pada tubuh Thomas hanya kekuatan milik Thomas saja.DUESH!Azazel beberapakalu terpelanting, walau begitu dia masih bisa bertahan dengan kekuatan elemen milik Thomas. Azazel pun berusaha untuk balik menyerangku dengan mengeluarkan elemen tanah dan membentuk sebuah palu besar, lalu diayunkan palu itu ke arahku sambil melompat. Aku bersiap menunggunya dengan membentuk palu yang lebih besar dari milik Azazel. Begitu serangan palu Azazel mendekat, dengan kekuatan palu yang aku buat, aku hancurkan dengan sekali hantaman paluku.Azazel bergerak secepat kilat dengan elemen petir, melontarkan panah-panah petir yang dengan mudah aku tangkis. Dia pun berusaha untuk lari, tapi aku tak akan melepas
POV RAY Ruangan sekarang menjadi terang lagi. Dengan susah payah aku berdiri sambil memegangi dadaku yang terluka. Mataku mulai berkunang-kunang. Darah sudah banyak yang keluar sepertinya. Tapi aku masih harus berdiri. "Creator?" kata Thomas. Tidak. Ia bukan Thomas. Dia Azrael yang telah mengambil alih tubuh Thomas. "Azrael?! Kenapa kamu tidak menjadi tubuhmu saja yang besar itu?" tanyaku. "Justru wujud manusia adalah wujud yang paling sempurna menurutku. Aku cukup menjadikan tubuhnya sebagai vesel untuk kebangkitanku. Segar sekali rasanya setelah lama terkurung di kegelapan oleh lima creator terkutuk itu selama ribuan tahun. Dan aku tak perlu membunuh mereka karena mereka sudah mati. Hahahahahah," kata Azrael. "Ugh!" rasa sakit didadaku. Ah...darah. Darah itu elemen air bukan? Aku terpaksa melakukannya. Obati lukaku siapa namamu? Dia tidak bernama. Tolonglah. Ahh...aku tertolong. Lukaku mulai tertutup.
POV ANDRE Pertarunganku dan Puri melawan laki-laki bernama Hund semakin seru, kami berusaha keras mengalahkan dia, walau beberapa kali kami harus berusaha menghindari semua serangan Hund yang tentu saja pengalaman bertarungnya jauh diatas kami berdua. Sering kali aku kewalahan dan hampir terkena sabetan-sabetan pedang besinya yang super tajam. Tapi beruntung aku terlindungi dengan kayu-kayu yang muncul dari penggabungan jolt yang aku pakai. Namun pertarungan kami mendadak terhenti, perlahan tapi pasti suasana menjadi gelap. Aku dan Puri saling pandang. Begitupun Alex dan teman-teman lainnya. Ada rasa panik yang aku rasakan dan mungkin juga Alex dan yang lainnya juga merasakan. "Puri, apa ini sudah saatnya terjadi gerhana?" Tanyaku sambil mendekati Puri. Puri yang terlihat kelelahan hanya menatapku sendu, lalu mengangguk pelan. "Puri, kita masih belum kalah, kita harus terus bertarung" bisikku sambil
POV BALANCER Aku kembali berhadapan dengan Robert. lelaki yang telah membunuh adikku satu-satunya. Aku tak dapat melupakan kejadian itu walau sesaatpun, jasad William yang dilemparkannya ke bawah jembatan. William yang berusaha melindungiku dan anakku dari orang-orang biadab ini. Dia tak dapat mengimbangi serangan-serangan yang diterimanya dari para agen SDI yang mengeroyoknya. Sedangkan aku, Ketika itu baru saja melahirkan. Dalam kondisi yang masih lemah Thomas yang sudah mengetahui keberadaanku, memerintahkan untuk membunuh ku juga William. "Balancer, akhirnya kita selesaikan pertarungan kita yang tertunda," kata Robert. Aku yang malas meladeni ucapannya, lalu memanggil kekuatan elemenku, besi. Seperti biasa, aku dengan kuku-kuku besiku sudah siap mencabik-cabik Robert. Aku langsung menerjangnya, melancarkan serangan-serangan untuk bisa cepat mencabik dan membunuhnya. Robert dengan memakai kekuatan joltnya, dia pun m
POV RAY Aku mengakui kekuatan Thomas, dia sangat kuat. Walaunsejauh ini aku dapat mengimbangi kekuatannya. Aku yang seorang Creator dapat mengimbangi cara bertarung Thomas, yang tak beda jauh dengan cara bertarungku. Aku berdiri di atas platform yang terbuat dari es, ketika aku mengimbangi dia membentuk golem raksasa bersenjatakan tombak bertarung dengan golem raksasa yang dia buat dengan bersenjatakan pedang. Pertarungan kami cukup aneh sekali, kami tidak melakukan pertarungan langsung. Kami saling melemparkan elemen dan menciptakan berbagai bentuk makhluk yang kamu gerakkan dari jauh. Seandainya ada yang melihat pasti mereka seperti melihat dua orang yang bermain mainan remote control untuk saling mengalahkan. Aku bisa mengimbangi cara bertarung seperti itu. Kalau ada kesempatan baru aku menyerangnya secara langsung dengan melemparkan sesuatu untuk melukainya, begitupun dengan Thomas. Dan Sial. Dia Kuat sekali, tak ada satup
POV ANDREAku, Puri, Alek, Tobi, dan para elemental lainnya, kini berhadapan dengan tiga anggota SDI. Mereka yang masing-masing menggunakan sarung tangan jolt, menyeringai ke arah kami. Senyum merendahkan pun tersungging di wajah mereka. Dengan sangat angkuh mereka mendekat ke arah kami."Halo kalian tikus-tikus elemen, kenalkan namaku John. Ada baiknya bukan, jika sebelum mati kalian mengetahui nama siapa yang sudah membunuh kalian, hahaha..." kata orang pertama sambil tertawa mengejek."Aku Scarlet," kata orang kedua, seorang cewek dengan dandanan layaknya laki-laki."Hahaha..., dan Hund, bersiaplah kalian untuk mati," katanya."Kalian tak lihat apa, jumlah kami banyak. Apa sanggup kalian melawan kami?" tanya Alex dengan lagaknya seperti biasa."Hahaha..., lihat teman-teman. Dia meragukan kita!" Kata John sambil melirik kedua temannya."Hahaha...., mereka memang cari mati John! Hai bocah sebanyak apapu